Sirah Nabawiyah

Kisah Nabi Ismail: Ujian, Kesabaran, dan Lahirnya Bangsa Arab

NU Online  ·  Rabu, 11 Juni 2025 | 15:00 WIB

Kisah Nabi Ismail: Ujian, Kesabaran, dan Lahirnya Bangsa Arab

Ilustrasi Nabi Ismail. (Foto: NU Online/Canva)

Nabi Ismail dikenal sebagai salah satu utusan Allah yang memiliki peran besar dalam sejarah Islam dan bangsa Arab. Kehadiran Nabi Ismail di wilayah Hijaz melahirkan rumpun bangsa Arab baru yang disebut dengan Arab Musta’ribah.  (Shafiyurahman Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum, [Qatar: Kementrian Wakaf dan Urusan Agama, 1468 H/2007 M], hal.16).

 

Menurut Ibnu Hisyam, rumpun ini menjadi mata rantai wasilah Nur Muhammad untuk menemui wujud basyar-nya sebagai seorang lelaki yang berasal dari suku Quraisy. (Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, [Dar al-Kutub al-‘Arab, 1990] juz 1, hal. 11-16).

 

Perjalanan Nabi Ismail untuk sampai di titik ini tidaklah mudah karena harus menghadapi takdir yang berliku. Mulai dari pengasingan ke lembah tandus yang hampir membuatnya mati kelaparan, menghadapi perintah Allah kepadanya sebagai sembelihan, hingga bahtera keluarganya yang karam karena dilanda perceraian.

 

Dalam sejarahnya, Nabi Ismail lahir di Bersyeba, Palestina. Ia mendapat darah Koptik dari ibunya, Siti Hajar, dan gen Mesopotamia dari ayahnya, Nabi Ibrahim. Ismail lahir dari istri kedua Nabi Ibrahim dan hal ini memicu kecemburuan istri pertama Nabi Ibrahim, Siti Sarah, yang saat itu belum juga memiliki keturunan. Akhirnya, Ismail yang masih bayi, beserta Siti Hajar, diasingkan ke sebuah lembah tandus di Hijaz yang jauhnya sekitar 1.500 km dari tanah kelahiran. (al-Rahiq al-Makhtum, hal.18).

 

Seperti halnya bom waktu, kehabisan perbekalan adalah ujian yang pasti akan datang karena Ismail dan Hajar ditempatkan di padang pasir yang tandus. Allah menolong keduanya dengan memunculkan mata air Zamzam setelah Hajar bersusah payah berlalu-lalang dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah. Secara alami mata air Zamzam mengundang suku Jurhum, salah satu suku Arab dari Yaman, untuk tinggal di wilayah tersebut. Setelah mendapat izin dari Siti Hajar, mereka pun menetap di sana. (al-Rahiq al-Makhtum, hal.17-18).

 

Kendala yang dialami Nabi Ismail tak hanya soal pemenuhan kebutuhan air, tetapi juga dalam hal interaksi sosial. Nabi Ismail yang berasal dari tanah yang jauh dari jazirah Arab, tak menguasai bahasa Arab. Menurut para sejarawan, Nabi Ismail belia kemungkinan besar menuturkan bahasa Ibrani, Kasdim, atau Aram. (Abu al-Hasan ‘Ali bin al-Hasan, Muruj al-Dzahab wa Ma’adin al-Jawhar, [Beirut: Dar al-Andalus], hal. 262).

 

Meski demikian, Nabi Ismail tak menyerah dan tetap berinteraksi dengan orang-orang dan mempelajari bahasa Arab dari orang-orang Jurhum. Tak hanya itu, ia juga menikahi dua wanita dari suku yang berasal dari daratan Yaman itu. Dari perkawinan campur ini, keturunan Nabi Ismail kelak akan disebut sebagai bangsa Arab Musta’ribah. (al-Rahiq al-Makhtum, hal.17-18).

 

Hal yang menarik dari penyebutan ini adalah kata ‘musta’ribah’. Secara etimologis, musta’ribah adalah bangsa non-Arab yang menjadikan diri sebagai bangsa Arab. Dengan kata lain, bangsa keturunan Nabi Ismail ini adalah bangsa yang telah melakukan proses naturalisasi menjadi bangsa Arab.

 

Perintah penyembelihan yang legendaris

Setelah kehidupan di dunia baru mulai stabil, Nabi Ismail diuji dengan cobaan lain. Allah memerintahkan ayahnya, Nabi Ibrahim, untuk menyembelih Nabi Ismail sebagai bukti dan tanda ketaatan kepada-Nya. Ketika mendapat perintah tersebut Nabi Ismail tak menolak, bahkan ia berjanji akan sabar menjalani semuanya.

 

Keteguhan hati Nabi Ismail tetap terjaga ketika proses penyembelihan berlangsung. Ia tak gentar di hadapan belati yang dipegang oleh ayahnya sendiri. Sebaliknya, ia justru memberi beberapa tips agar prosesi penyembelihan dirinya berjalan lancar dan kedua orang tuanya tak terlalu bersedih karena kepergiannya. (Syaikh Muhammad Sayyid al-Thanthawi, Tafsir al-Wasith, [Beirut, Dar al-Fikr: 2005,] hal.3582)

 

Pada akhirnya, Allah menyelamatkan Nabi Ismail dan mengganti posisinya dengan domba persembahan Habil putera Nabi Adam kepada Allah yang telah dipelihara di surga. (Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan ‘Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalayn, [Kairo: Dar al-Hadits], hal. 594).

 

Ujian saat berkeluarga

Setelah dewasa, Nabi Ismail menikahi seorang wanita suku Jurhum. Suatu hari, Nabi Ibrahim mengunjungi rumah anaknya itu namun hanya mendapati istrinya. Ketika ditanya mengenai kehidupan rumah tangga mereka, si istri menjawab bahwa kehidupan rumah tangganya bersama Ismail dipenuhi kekurangan dan kesusahan. Nabi Ibrahim kemudian menitipkan sebuah pesan penuh kiasan untuk Ismail agar mengganti palang pintu rumahnya.

 

Nabi Ismail mengerti dengan maksud yang dikatakan ayahnya dan ia pun menceraikan istrinya itu. Beberapa waktu kemudian Nabi Ismail kembali menikahi seorang wanita Jurhum, kali ini puteri Madladl bin ‘Amr, salah seorang pemuka suku pendatang tersebut.

 

Suatu hari, Nabi Ibrahim kembali berkunjung. Kali ini, istri Nabi Ismail mengatakan bahwa kehidupan rumah tangganya diliputi kegembiraan dan kecukupan. Nabi Ibrahim kembali menitipkan pesan kiasan agar Nabi Ismail mempertahankan palang pintunya. Hal ini berarti perintah agar Nabi Ismail mempertahankan istrinya itu. (Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, [Beirut: Dar al-Ma’arif], Juz 1, hal-155-156).

 

Dari perkawinannya yang kedua ini, Nabi Ismail dikaruniai 12 anak, yakni: Nabit, Qaidar, Adba’il, Mibsyam, Misyma’, Duma, Misya, Hidad, Yutma, Yathur, Nafis, dan Qaidaman. Dari keturunan Qaidar bin Isma’il inilah nantinya lahir ‘Adnan, kakek ke-21 Nabi Muhammad saw. (al-Rahiq al-Makhtum, hal.20).

 

Leluhur suku Quraisy

Ketabahan Nabi Ismail dalam menjalankan titah-Nya diganjar setimpal, ketaatan Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim ini kemudian dijadikan sebuah syariat Islam. Kurban disyariatkan Allah menjadi peribadatan agung yang dijalankan umat Islam di seluruh dunia setiap tanggal 10-13 Dzulhijjah.

 

Tak hanya itu, sulbinya Nabi Ismail menjadi hulu dari lahirnya penghulu makhluk semesta alam. Ia menjadi perantara Nur Muhammad menemukan wujudnya dan menjadi leluhur suku Quraisy. Dari keturunannya kelak lahir Nabi Akhir Zaman, Nabi Muhammad saw. Berikut rangkaian nasab Nabi Ismail menuju Nabi Muhammad,

 

Ini adalah kitab Sirah Rasulullah ﷺ, dia adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib — nama asli Abdul Muttalib adalah Syaibah bin Hasyim — nama asli Hasyim adalah Umar bin Abdu Manaf — nama asli Abdu Manaf adalah Mughirah bin Qusayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin al-Nadlr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah — nama asli Mudrikah adalah ‘Amr bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’add bin ‘Adnan bin Udda — dilafalkan juga Udada bin Muqawwim bin Nahur bin Tayrah bin Ya’ruba bin Yasyjuba bin Nabat bin Ismail bin Ibrahim — khalil al-rahman …” (al-Sirah al-Nabawiyyah, [Dar al-Kutub al-‘Arab, 1990] juz 1, hal. 11-16)

 

Itulah sosok Nabi Ismail yang menjadi leluhur Nabi Muhammad dan bapaknya bangsa Arab. Kesabaran, kepasrahan, dan keteguhan hati yang dimiliki Nabi Ismail dalam menjalankan perintah Allah dan menghadapi ujian hidup diberi ganjaran dengan lahirnya manusia-manusia terpilih, khususnya Nabi Muhammad yang menjadi penutup para nabi dan rasul. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Rifqi Iman Salafi, Alumnus Sastra Inggris UIN Jakarta, Pesantren Al-Hikmah 2 Brebes, dan Pesantren Darus-Sunnah Ciputat.