Sirah Nabawiyah

Kisah di Balik Dakwah Terang-terangan Rasulullah

Sen, 7 Juni 2021 | 02:00 WIB

Kisah di Balik Dakwah Terang-terangan Rasulullah

Ilustrasi Nabi Muhammad. (Foto: NU Online)

Setelah Rasulullah saw berhasil membimbing para sahabat di fase dakwah sembunyi-sembunyi dan membangun masyarakat Muslim generasi awal yang sudah memiliki basis akidah cukup kuat, turunlah ayat yang menyerukan agar beliau berdakwah secara terang-terangan,  


وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ  


Artinya, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. As-Syu’ara [26]: 214-215)


Sesuai perintah Allah Swt, Rasulullah kemudian mengumpulkan kabilah dan kerabat sendiri terlebih dahulu, Bani Hasyim. Mengajak mereaka secara terbuka untuk beriman kepada Allah, memberi peringatan akan pedihnya siksa neraka bagi yang bermaksiat, mengajak untuk menyelamatkan diri mereka dari api neraka dan menjelaskan tanggung jawab diri masing-masing sebagai seorang hamba. (lihat as-Shlallabi, Sirah an-Nabawiyah, hal. 120)


Dari ajakannya itu, beberapa orang menyambut dengan baik dan mengikuti ajakan Nabi Muhammad saw. Mereka adalah dari Bani al-Muthalib bin Abdi Manaf. Jumlah mereka sekitar 45 orang laki-laki.


Di tengah-tengah penyampaian dakwah itu, Abu Lahab-lah orang yang pertama kali menentang. Namun Abu Thalib melindungi Rasulullah dan meminta untuk melanjutkan misinya. Abu Thalib setuju dengan apa yang Nabi serukan. Hanya saja, ia tidak ikut beriman; masih bersikukuh dengan agama warisan nenek moyangnya.


Bangsa Arab terkenal dengan ruh kesukuannya. Sehingga wajar target pertama dalam dakwah terang-terangan adalah kerabat dan kabilahnya Nabi saw sendiri. Dengan demikian, memudahkan Nabi dalam membangun loyalitas dan solidaritas akidah berbasis kesukuan. (lihat as-Shlallabi, Sirah an-Nabawiyah, hal. 121)


Setelah Rasulullah yakin dengan perlindungan pamannya, beliau memberanikan diri untuk menaiki bukit Shafa dan berseru dengan lantang untuk mengumpulkan orang-orang Makkah. “Wahai Bani Fihr! Wahai bani ‘Adi!” seru Muhammad lantang. Mendengar seruan amat penting ini, marga-marga Quraisy pun berkumpul.


Rasulullah sampaikan kepada mereka tentang pedihnya api neraka bagi orang-orang yang bermaksiat. Tiba-tiba, Abu Lahab datang dan mengancam Rasulullah saw. Kelakuan Abu Lahab ini diabadikan dalam al-Qur’an,


تَبَّتۡ يَدَآ أَبِي لَهَبٖ وَتَبَّ


“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS. Al-Lahab [111]: 1)


Pada tahap berikutnya, kemudian turun ayat yang menyerukan agar Rasulullah melebarkan sayap dakwah lebih luas lagi.


فَٱصۡدَعۡ بِمَا تُؤۡمَرُ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡمُشۡرِكِينَ

  
Artinya, “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr [15]: 94)


Setelah ayat ini turun, Rasulullah saw menyampaikan dakwah secara terang-terangan dengan jangkauan lebih luas lagi. Beliau datangi kabilah-kabilah, tempat-tempat berkumpul dan pertemuan kaum musyrikin.


Dakwah beliau disambut dengan baik. Namun masih banyak juga mereka yang belum menerima ajakannya. Sehingga terjadi ‘gap’; saling membenci dan menjauhi antara dua pihak; pihak yang menerima dakwah dengan yang menolak. Melihat kondisi ini, orang-orang Quraisy merasa terganggu.


Hikmah dan Pelajaran


1) Mulailah dari diri sendiri


Seruan dakwah secara terang-terangan ini dimulai dari kerabat Rasulullah sendiri, yaitu Bani Hasyim. Dengan demikian, sebelum menyampaikan kepada orang lain, wahyu yang turun betul-betul tertanam dalam diri sendiri terlebih dahulu. Sehingga lebih siap menerima dasar-dasar, aturan, dan hukum-hukum Allah. (lihat Said Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, hal. 76) 


Ini merupakan pesan penting. Bahwa sebelum mengajak orang lain, terlebih dahulu diri kita yang diperbaiki. Mulailah dengan diri sendiri. 


Rasulullah saw sendiri pernah bersabda,


ابْدَأْ بِنَفْسِكَ ثُمَّ بِمَنْ تَعُول


“Mulailah dengan dirimu sendiri dan kemudian keluargamu.” (HR Muslim)


Seorang bapak bahasa Arab dari Bani Kinanah, Abul Aswad Ad-Dua’liy (w. 688 M.) berkata dalam syairnya:


يَا أَيُّهَا الرَّجُلُ الْمُعَلِّمُ غيره *** هَلاَّ لِنَفْسِكَ كَانَ ذَا التَّعْلِيْمِ


أَتَرَاكَ تُلَقِّحُ بِالرَّشَادِ عُقُوْلَنَا *** صِفَةً وَأَنْتَ مِنَ الرَّشَادِ عَدِيْمُ


لاَ تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وَتَأْتِي مِثْلَهُ *** عَارٌ عَلَيْكَ إِذَا فَعَلْتَ عَظِيْمُ


اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ فَانْهَهَا عَنْ غَيِّهَا *** فَإِذَا انْتَهَتْ عَنْهُ فَأَنْتَ حَكِيْمُ


فَهُنَاكَ يَنْفَعُ إِنْ وَعَظْتَ وَيُقْتَدَى *** بِالْقَوْلِ مِنْكَ وَيَنْفَعُ التَّعْلِيْمُ


“Wahai orang yang mengajari orang lain. Tidakkah kau mengajari dirimu dulu (sebelum orang lain).”


“Pantaskah kau tanamkan pada akal kami “sifat mulia”. Tapi ternyata, engkau kosong dari sifat mulia itu.”


“Janganlah engkau melarang akhlak (yang buruk), tapi kau sendiri melakukannya. Sungguh sangat tercela, jika kau seperti itu.”


“Mulailah dari dirimu, dan lepaskanlah dosanya. Karena engkaulah sang bijaksana, jika kau telah lepas darinya.”


“Saat itulah, nasihat dan didikanmu kan berguna. Begitu pula ucapanmu, akan menjadi panutan.”

 

Ini juga mempengaruhi persepsi dan kepercayaan kaum Quraisy nantinya. Jika Nabi Muhammad berhasil menyampaikan dakwah di lingkungan keluarganya, tentu akan menjadi penilaian baik bagi orang Quraisy. Sebaliknya, jika Nabi saw gagal di keluarga sendiri, orang Quraisy pasti meragukan; dakwah di keluarga sendiri saja gagal, bagaimana mungkin mau mengajak orang lain?


Namun terbukti, Rasulullah berhasil mengajak orang-orang terdekatnya, baik saat fase dakwah sembunyi-sembunyi ataupun fase awal dakwah terang-terangan.


2) Mengemban amanah publik


Setelah Rasulullah saw mengajak kalangan kerabat sendiri, kemudian beliau melebarkan sayap dakwah lebih luas lagi ke lintas kabilah dan ke banyak tempat perkumpulan umat musyrikin (QS. Al-Hijr [15]: 94).

 

Ini adalah pesan penting untuk para dai dan ulama, bahwa di samping memiliki tanggung jawab akidah pada diri dan keluarga sendiri, tanggung jawab berikutnya adalah menjaga akidah masyarakat secara luas. Bagaimanapun, ulama adalah para pewaris Nabi.


3) Islam adalah agama rasionalis


Orang-orang Quraisy Mekah yang kafir adalah mereka yang taklid buta pada nenek moyang mereka untuk memuja berhala. Padahal, secara rasional tidak bisa diterima. Mereka menyembah benda mati yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak bisa memberi manfaat dan mudharat. Mereka ciptakan sendiri, lalu mereka pula yang menyembah. Ini merupakan bentuk taklid buta yang nyata.


Islam datang untuk menyudahi taklid buta yang tidak masuk akal itu. Islam mengajak untuk menyembah pada Allah swt. Tuhan yang telah menciptakan mereka sendiri. Tuhan yang memberikan pahala bagi hamba yang taat dan siksa neraka bagi hamba yang bermaksiat. Tuhan yang mampu memberi manfaat dan kemudharatan.


Ini bukti bahwa Islam adalah agama rasionalis. Aturan-aturan syariat yang di bawah oleh Islam bersifat rasional. Memiliki tujuan logis yang sesuai dengan akal sehat manusia. Hanya saja, kadang akal manusia belum sampai untuk menangkap hikmah di baliknya, sehingga sekilas terkesan tidak rasional dalam beberapa aturan agama. (lihat Said Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, hal. 76)


Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon