Sirah Nabawiyah

Peran Rasulullah dalam Pemugaran Ka’bah dan Hikmah di Dalamnya

Sen, 14 Juni 2021 | 14:12 WIB

Peran Rasulullah dalam Pemugaran Ka’bah dan Hikmah di Dalamnya

Banyak orang yang tak tahu, Ka'bah pernah diruntuhkan fondasinya lalu dibangun kembali pada masa Nabi Muhammad, bahkan sebelum beliau diangkat menjadi utusan Allah.(Ilustrasi: kissclipart.com)

Pada saat Rasulullah berumur 35 tahun (belum diangkat menjadi Nabi, red), orang-orang Quraisy sepakat untuk memperbaharui pembangunan Ka'bah. Mereka ingin memberi atap pada Ka’bah. Namun, rasa takut dan khawatir menyeliputi keinginannya. Perasaan itu disebabkan kekhawatiran ada dampak yang kurang baik kepadanya kaumnya jika Ka’bah direnovasi. Awalnya, Ka'bah dibangun di atas ketinggian orang pada umumnya. Oleh sebab itulah, mereka berkeinginan untuk meninggikannya dan memberi atap di atasnya.

 

Ka`bah adalah bangunan pertama yang didirikan atas nama Allah dan untuk menyembah Allah serta mengesakan-Nya. Orang yang pertama membangunnya adalah bapak para nabi, yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, setelah dia menghabisi berhala-berhala dan menghancurkan kuil-kuil yang didirikan di sana. Nabi Ibrahim membangunnya mengikuti perintah Allah . Dalam Al-Qur’an, Allah mengabadikan kisah tersebut, yaitu:

 

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

 

Artinya, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (QS Al-Baqarah: 127).

 

Ketika Rasulullah memasuki usianya yang ke-35, kaum Quraisy sepakat untuk merehabilitasi Ka’bah yang bangunannya sudah lapuk karena termakan usia. Melihat kedudukan Ka’bah yang sangat agung bagi mereka, masyarakat Quraisy sepakat agar biaya pembangunannya diambil dari harta yang halal. Mereka menolak biaya yang berasal dari pelacuran, judi, dan uang yang diambil dari manusia dengan cara menzalimi.

 

Pada awalnya, ketika bangsa Quraisy ingin memulai pekerjaannya untuk merenovasi Ka’bah, mereka membagi tugasnya masing-masing. Pintu menjadi jatah Bani Abdu Manaf dan Zuhrah. Antara rukun Aswad dan rukun Yamani menjadi jatah Bani Makhzum dan kabilah-kabilah yang bergabung kepada mereka. Punggung Ka'bah menjadi jatah Jumah dan Sahm bin Amr bin Hushaish bin Ka'ab bin Luay. Hajar Aswad menjadi jatah Bani Abduddar bin Qushay, Bani Asad bin al-Uzza, dan Bani Adi bin Ka'ab bin Luay.

 

Menurut Imam Ibnu Ishaq, orang Quraisy saat itu dilanda kekhawatiran untuk melakukan renovasi terhadap Ka'bah. Al-Walid bin al-Mughirah berkata, "Akulah yang akan memulai meruntuhkan Ka'bah." Kemudian ia mengambil kapak, dan berdiri di depan Ka'bah, sambil berkata: "Ya Allah, kami tidak keluar dari agama-Mu, kami hanya menginginkan kebaikan." Ia runtuhkan Ka'bah dari arah dua tiang Ka'bah. Malam itu, dengan cemas orang-orang menunggu apa yang akan terjadi pada mereka. Mereka berkata: "Kita tunggu saja apa yang akan terjadi. Jika al-Walid terkena sesuatu, kita tidak akan meruntuhkan sedikit pun dari Ka'bah kemudian kita kembalikan ia sebagaimana bentuknya semula. Jika tidak terjadi apa-apa pada dirinya, berarti Allah meridhai dan kita lanjutkan meruntuhkannya." Keesokan harinya, al-Walid berangkat kembali untuk meneruskan pekerjaannya. Ia meruntuhkan Ka’bah dengan diikuti orang-orang Quraisy hingga pemugaran Ka'bah memasuki tahap peruntuhan fondasi Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Fondasi tersebut terbuat dari batu hijau berbentuk seperti punuk unta yang saling menempel lengket antara satu dengan yang lain.

 

 

Ketika pemabangunan sampai pada posisi Hajar Aswad, terjadilah pertikaian antarmereka tentang siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad pada posisi semula. Semua berkeinginan melakukannya karena kemuliaan Hajar Aswad bagi mereka. Pertentangan terus terjadi dan semakin membesar hingga nyaris terjadi pertumpahan darah di Masjidil Haram. Namun akhirnya, Abu Umayyah bin al-Mughirah menawarkan susulan agar keputusannya diserahkan kepada orang pertama yang masuk masjid dari pintunya. Mereka pun menyetujui usulan itu. Siapakah sosok pertama itu? Dalam kitab Rahiqul Makhtum dijelaskan:

 

وشاء الله أن يكون ذلك رسول الله فلما رأوه هتفوا هذا الأمين رضيناه هذا محمد.

 

Artinya, “Atas kehendak Allah, ternyata orang yang pertama masuk adalah Rasulullah . Mereka segara berseru, itu al-amin, kami rela dia yang memutuskan, dia adalah Muhammad.” (Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Rahiqul Makhtum, [Wazaratul Auqaf: Qatar, 2007], h. 62).

 

Ketika Rasulullah bertemu dengan mereka, maka diceritakan kepadanya, perihal kesepakatan yang telah mereka sepakati untuk meletakkan Hajar Aswad, kemudian Rasulullah berkata, "Kalau demikian serahkan kain kepadaku." Kain diserahkan kepadanya. Rasulullah mengambil Hajar Aswad yang diperebutkan, kemudian meletakkannya ke dalam kain dengan tangannya sendiri. Seraya mengajak kepada semua kepala kabilah memegang ujung kain ini, lalu mengangkatnya bersama-sama. Mereka mengikuti perintah Rasulullah . Ketika mereka tiba di tempat Hajar Aswad, Rasulullah mengambilnya dari kain tersebut lalu meletakkannya di tempatnya semula, dan membangun di atasnya.

 

Sebelum diutus menjadi nabi, Rasulullah banyak berperan dan melibatkan diri dalam pembangunan dan rekonstruksi Ka`bah. Ia ikut mengangkut batu di atas pundaknya dengan hanya dialasi selembar kain. Rasulullah memberikan andil besar ketika memberi jalan keluar dalam perselisihan antarsuku untuk menentukan suku mana yang paling berhak dan mendapat kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya semula. Mereka semua tunduk dan mengikuti usulannya yang menjadi solusi bagi masalah itu, karena mereka tahu bahwa Rasulullah adalah orang yang dipercaya (al-amin) sekaligus disukai (al-mahbub) semua kalangan.

 

 

Syekh Said Ramadhan al-Buthi menyebutkan dalam kitab, Fiqhus Sirah Nabawiyah, [Beirut: Dar al-Fikr 2019], halaman 70-71, bahwa ada 3 hikmah yang bisa di ambil dari peristiwa ini, yaitu:

 

Pertama, keagungan dan kesucian Ka’bah.

Ada banyak dalil yang menegaskan bahwa yang mendirikan dan membangun Ka`bah dengan tangannya sendiri adalah Nabi Ibrahim Khalilullah (kekasih Allah), dengan perintah dari Allah untuk memelihara bangunan pertama yang dibangun untuk menyembah Allah , sebagai tempat berkumpul umat manusia, dan juga menjadi tempat yang aman.

 

Hanya saja, ini bukan berarti Ka`bah secara otomatis berpengaruh terhadap orang yang tawaf mengelilinginya atau orang yang i’tikaf di dalamnya. Sebab, kendati memiliki nilai kesucian dan kedudukan yang agung di sisi Allah, Ka`bah hanyalah tumpukan batu yang tidak bisa memberi manfaat atau menimpakan mudarat. Namun, tatkala Allah mengutus Ibrahim ‘alaihissalam untuk menghancurkan patung-patung dan berhala, merobohkan kuil-kuil tempat ritual kaum pagan, melenyapkan simbol-simbolnya, dan menghapuskan penyembahannya, kebijaksanaan Allah menuntut adanya suatu bangunan yang didirikan di bumi sebagai simbol pengesaan dan penyembahan kepada Allah semata. Seiring perkembangan waktu, Ka`bah senantiasa memberi pelajaran kepada manusia tentang pengertian agama dan ibadah yang benar, juga tentang sesatnya segala syirik dan paganisme. Umat manusia telah mengalami suatu masa ketika mereka menyembah batu, patung, dan berhala, serta membangun kuil-kuil.

 

Tiba waktunya bagi mereka untuk menyadari kebatilan dan kesesatan semua itu. Juga, sudah tiba waktunya untuk mengganti kuil-kuil itu dengan bangunan baru ini. Rumah ibadah yang didirikan untuk menyembah Allah semata ini dimasuki manusia untuk berdiri tegap, tidak tunduk atau merendah kecuali kepada Sang Pencipta seluruh alam semesta. Tidak hanya itu, Ka`bah merupakan lambang yang menjelmakan kesatuan kaum Muslim dari seluruh penjuru bumi dan mengungkapkan pengesaan Allah serta penyembahan hanya kepada-Nya meskipun seiring dengan pergantian zaman ada saja tuhan-tuhan palsu yang dibuat, dan sembahan sesat yang didirikan. Inilah makna firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:

 

وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَأَمْناً وَاتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى

 

Artinya, “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah maqam Ibrahim itu tempat shalat.” (QS Al-Baqarah: 125)

 

Inilah makna yang disadari oleh orang yang tawaf mengelilingi Baitul Haram setelah hati mereka dipenuhi penghambaan kepada Allah serta hasrat untuk memenuhi segala titah-Nya. Mereka menyadari kedudukan mereka sebagai hamba yang seharusnya mengikuti dan menjalankan semua perintah Tuhan yang menciptakan mereka. Dari sinilah kesucian bangunan itu hadir dan kedudukannya di sisi Allah semakin agung. Karena alasan itu pula, ibadah haji di sana dan tawaf di sekelilingnya memiliki kedudukan yang sangat penting bagi kaum beriman.

 

Kedua, kecerdasan dan kebijaksanaan Nabi Muhammad dalam mengelola urusan, mengendalikan masalah, dan menghentikan perselisihan.

Rasulullah terbukti memiliki kecerdasan dan kemampuan besar untuk menengahi kaum-kaum yang berselisih, mereka yang tidak pernah bisa tidur nyenyak ketika bermusuhan dengan kaum lain, kecuali setelah bisa menumpahkan darah musuh. Sebagaimana diketahui, setelah renovasi Ka`bah, terjadi perselisihan yang terus memanas hingga nyaris mereka saling baku hantam dan saling bunuh. Saat itu, Bani Abdu Dar telah mengeluarkan mangkuk berisi darah, lalu mereka mengucapkan sumpah rela mati bersama Bani Adiy, yang bersama-sama mencelupkan tangan mereka ke dalam mangkuk itu. Kaum Quraisy bertahan dalam ketegangan selama empat atau lima hari tanpa satu pun keputusan yang diambil hingga akhirnya api perselisihan itu dipadamkan Rasulullah . Tentu saja, semua itu berkat pertolongan dan taufik Allah yang telah menjadikan Nabi Muhammad sebagai pengemban risalah dan kenabian. Itu juga menunjukkan kecerdasan, kebijaksanaan, dan kemampuan Rasulullah untuk menganalisis masalah kemudian memikirkan solusi yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah itu.

 

Bagaimanapun, dasar pertama pembentukan diri Nabi Muhammad adalah kedudukannya sebagai nabi dan rasul. Kemudian barulah segala keistimewaan lain hadir melalui kejeniusan, kepandaian, dan kecerdasan yang dilandasi dasar pertama itu dan bersesuaian dengannya.

 

Ketiga, tingginya kedudukan Nabi Muhammad di tengah para tokoh Quraisy.

Hanya Nabi Muhammad di masa itu yang dijuluki al-amin (sang tepercaya) oleh seluruh komunitas. Rasulullah juga disukai (al-mahbub) oleh mereka semua. Mereka tidak meragukan kejujuran ucapannya, kemuliaan akhlak dan tindakannya, serta ketulusannya ketika dimintai pertolongan.

 

Semua ini menyingkapkan kepada kita betapa besar sentimen dan kebencian kaum Quraisy kepada Nabi Muhammad setelah diutus sebagai nabi pengemban risalah. Mereka yang dulu mempercayai, menyukai, dan memuliakannya, tiba-tiba berbalik 95 derajat menjadi musuhnya yang paling sengit. Ketika Nabi Muhammad diberi wahyu dan mendapat perintah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada manusia, mereka menyambut seruannya dengan penolakan, pendustaan, permusuhan, dan penindasan.

 

Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.