Sejarah Lempar Jumrah: Antara Warisan Ibrahim dan Jejak Arab Jahiliah
NU Online · Selasa, 10 Juni 2025 | 09:00 WIB
Muhamad Abror
Kolomnis
Lempar jumrah merupakan salah satu ritual dalam ibadah haji. Pelaksanaannya dilakukan dengan melemparkan batu kecil ke tiga tiang atau pilar (jumrah) di Mina, yaitu Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah. Lempar jumrah wajib dilakukan oleh jamaah haji pada hari-hari Tasyrik (11–13 Dzulhijjah), setelah melempar Jumrah Aqabah pada 10 Dzulhijjah.
Pada dasarnya, dalam Islam praktik lempar jumrah termasuk dalam ibadah ta'abbudiyah, yaitu bentuk penghambaan yang tidak selalu dijelaskan makna rasionalnya. Melempar batu dilakukan semata karena dicontohkan Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk ketaatan. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, setiap ritual dalam haji berkaitan erat dengan sejarah Nabi Ibrahim AS dan tradisi bangsa Arab masa Jahiliah, termasuk lempar jumrah.
Warisan Ibrahim
Sejumlah rangkaian ibadah haji memiliki kemiripan dengan kisah hidup Nabi Ibrahim, terutama peristiwa pengorbanan putranya, Isma'il. Maka tak heran jika ibadah haji sering dipahami sebagai bentuk napak tilas spiritual keluarga Ibrahim. Di antara ritual penting tersebut adalah pelaksanaan lempar jumrah. Secara simbolis, ritual ini menggambarkan penolakan terhadap godaan setan dan keteguhan dalam menaati perintah Allah.
Dikisahkan bahwa ketika malaikat Jibril membawa Nabi Ibrahim menuju lokasi Jumrah 'Aqabah, yaitu bagian paling barat dari kawasan Mina, tiba-tiba setan muncul menghadang mereka. Ibrahim pun segera melemparnya dengan tujuh batu kerikil, setan kemudian menghilang. Setelah itu, malaikat membawanya ke lokasi jumrah kedua. Lagi-lagi setan muncul untuk menggoda. Ibrahim kembali melemparnya hingga lenyap.
Peristiwa ini menggambarkan upaya setan dalam menggagalkan ketaatan seorang nabi. Namun, dengan iman yang teguh, Ibrahim tetap melangkah menjalankan perintah Allah. Ketika hendak menyembelih putranya, sang anak bahkan meminta agar tubuhnya diikat agar tidak bergerak. Namun sebelum pisau menyentuh leher, Allah memanggil dari belakang, "Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu."
Kisah ini disebutkan dalam satu hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ جِبْرِيلَ ذَهَبَ بِإِبْرَاهِيمَ إِلَى جَمْرَةِ الْعَقَبَةِ، فَعَرَضَ لَهُ الشَّيْطَانُ، فَرَمَاهُ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ فَسَاخَ، ثُمَّ أَتَى بِهِ الْجَمْرَةَ الْقُصْوَى، فَعَرَضَ لَهُ الشَّيْطَانُ، فَرَمَاهُ بِسَبْعٍ فَسَاخَ، فَلَمَّا أَرَادَ إِبْرَاهِيمُ أَنْ يَذْبَحَ إِسْحَاقَ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ، قَالَ لِأَبِيهِ: يَا أَبَتِ، أَوْثِقْنِي لَا أَضْطَرِبُ، فَيَنْتَضِحَ عَلَيْكَ دَمِي إِذَا ذَبَحْتَنِي، فَشَدَّهُ، فَلَمَّا أَخَذَ الشَّفْرَةَ فَأَرَادَ أَنْ يَذْبَحَهُ، نُودِيَ مِنْ خَلْفِهِ: أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا"
Baca Juga
Hukum Membadalkan Pelemparan Jumrah
Artinya, "Dari Ibnu 'Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Jibril pernah membawa Nabi Ibrahim ke tempat jumrah 'Aqabah. Di sana setan menghadangnya, lalu Ibrahim melemparnya dengan tujuh batu kerikil hingga ia menghilang. Kemudian Jibril membawanya ke jumrah yang paling jauh, setan pun muncul kembali, lalu Ibrahim melemparnya lagi dengan tujuh batu hingga ia lenyap."
"Ketika Ibrahim hendak menyembelih putranya, Ishaq AS, berkata: 'Wahai Ayah, ikatlah aku agar aku tidak bergerak, sehingga darahku tidak memercikimu ketika engkau menyembelihku.' Maka Ibrahim mengikatnya. Ketika ia mengambil pisau dan hendak menyembelih, terdengarlah suara dari belakangnya: 'Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.'" (QS Ash-Shaffat: 104–105)." (HR Ahmad)
Riwayat di atas tidak hanya menggambarkan keteguhan Nabi Ibrahim dalam menjalankan perintah Allah serta latar belakang ibadah kurban, tetapi juga memunculkan pandangan yang debatable mengenai identitas putra yang hendak dikurbankan, apakah Ismail atau Ishaq. Meskipun riwayat ini menyebut Ishaq, sebagian ulama berpendapat bahwa Ismail lah yang dimaksud berdasarkan sumber lain. Namun, artikel ini tidak bertujuan untuk membahas secara mendalam perbedaan pendapat tersebut.
Jejak Arab Jahiliah
Selain dikenal sebagai warisan Nabi Ibrahim, ritual lempar jumrah juga diyakini memiliki akar dalam tradisi Arab Jahiliah. Sejarawan Islam klasik, Jawwad 'Ali, mencatat bahwa pelaksanaan lempar jumrah pernah dipraktikkan oleh 'Amr bin Luhayy bin Qama'ah bin Khindif, tokoh yang pertama kali membawa berhala ke Makkah dan mengajak masyarakat menyembahnya. Ia menjadi figur penting dalam transformasi kepercayaan bangsa Arab pra-Islam menuju politeisme.
Menurut catatan tersebut, 'Amr bin Luhayy membawa tujuh berhala ke Mina dan menempatkannya di sejumlah titik sekitar lembah. Ia membagi dua puluh satu kerikil untuk dilemparkan kepada tiga berhala, masing-masing berhala dilempari tujuh batu. Saat melontarkan kerikil, ia berseru, "Engkau lebih agung dari yang sebelumnya," sebagai bentuk penghormatan. Praktik ini menjadi salah satu akar historis ritual lempar jumrah. ('Ali, 2001: juz 11, h. 385)
Berkaitan dengan 'Amr bin Luhayy, Ibnu Hisyam dalam As-Sirah An-Nabawiyah (kitab sirah tertua yang masih dapat diakses hingga kini) memberikan laporan yang lebih rinci. Disebutkan bahwa 'Amr membawa berhala-berhala ke Makkah setelah melakukan perjalanan ke wilayah Syam. Ketika singgah di Ma'ab, kawasan Balqa', ia menyaksikan penduduk 'Amaliq sedang menyembah berhala.
Didorong rasa ingin tahu, 'Amr bertanya, "Apa yang kalian sembah?" Mereka menjawab, "Berhala-berhala ini, kami memohon hujan dan kemenangan perang kepada mereka." Terpikat dengan praktik tersebut, 'Amr meminta salah satu berhala untuk dibawa ke Makkah. Ia pun memperkenalkan penyembahan berhala kepada masyarakat setempat, dimulai dengan berhala bernama Hubal, yang diletakkan di dalam Ka'bah.
Seiring waktu, 'Amr terus menambah jumlah berhala hingga mencapai 360, dan Hubal menjadi berhala paling diagungkan di antara semuanya. (Ibnu Hisyam, 1955: juz 1, h. 77)
Agaknya penulis kurang sependapat dengan pandangan Jawwad 'Ali yang menyatakan praktik lempar jumrah berasal dari tradisi pagan pelemparan kerikil kepada berhala. Sebab, klaim tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa salah satu ritual utama dalam ibadah haji umat Islam justru berakar dari praktik ibadah para penganut politeisme Arab Jahiliah. Padahal, lempar jumrah sejak awal merupakan simbol penolakan terhadap godaan setan dalam kisah Ibrahim AS.
Ritual lempar jumrah, hemat penulis, tetap bersumber dari keteladanan Ibrahim sebagai manifestasi perlawanan terhadap bisikan setan. Tradisi ini diwarisi oleh keturunannya, termasuk masyarakat Arab pra-Islam (Arab Musta'rabah) yang dikenal sangat menghormati ajaran Nabi Ibrahim. Atas dasar ini, kaum Arab Jahiliah berusaha melestarikan ritual tersebut sebagai bagian dari warisan keagamaan Ibrahim yang mereka anggap penting untuk memperkuat posisi religius mereka di tengah komunitas Arab.
Sebagaimana diketahui, masyarakat Quraisy meyakini bahwa Ibrahim adalah nenek moyang mereka. Mereka menjulukinya Abul 'Arab (Bapak Bangsa Arab). Untuk menjaga hubungan genealogis tersebut, mereka mempertahankan berbagai ritual yang diyakini berasal dari ajaran Ibrahim. Namun, seiring berjalannya waktu, praktik-praktik ini mengalami pergeseran makna, terutama karena pengaruh penyimpangan akidah dan masuknya doktrin-doktrin paganisme ke dalam tata ibadah mereka.
Salah satu bentuk distorsi tersebut terjadi ketika 'Amr bin Luhayy membawa pengaruh ritual kaum 'Amaliq ke Makkah, termasuk penggunaan berhala dalam konteks peribadatan. Meski ritual lempar jumrah tetap dilakukan, ia mulai tercemar oleh praktik dan niat pagan yang menyimpang. Ketika Islam datang, Nabi Muhammad memurnikan kembali ritual-ritual tersebut dengan menjadikannya ibadah yang bersih dari syirik, dan selaras dengan nilai-nilai tauhid yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim.
Ritual lempar jumrah melampaui sekadar rutinitas haji. Ia merekam keteguhan Nabi Ibrahim melawan godaan setan dan simbol ketaatan penuh makna umat Islam. Meskipun sempat tercemar praktik pagan Arab Jahiliah, Islam memurnikannya menjadi ibadah ta'abbudiyah suci. Setiap pelemparan batu di Mina hari ini mengingatkan warisan Ibrahim dan pentingnya tauhid. Semoga makna ritual itu terus menginspirasi jiwa haji dalam perjalanan spiritual yang mendalam dan penuh khusyuk sempurna.
Ustadz Muhamad Abror, dosen filologi dan sejarah Islam Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
3
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
4
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
5
Cerpen: Tirakat yang Gagal
6
Jamaah Haji Indonesia Diimbau Tak Buru-buru Thawaf Ifadhah, Kecuali Jamaah Kloter Awal
Terkini
Lihat Semua