Sirah Nabawiyah

Kisah Nabi Muhammad Menindak Tegas Pelaku Zina

Sab, 18 Desember 2021 | 14:00 WIB

Kisah Nabi Muhammad Menindak Tegas Pelaku Zina

Ilustrasi Nabi Muhammad saw. (Foto: NU Online)

Kita tidak bisa menafikan bahwa Rasulullah saw adalah sosok pemimpin yang lemah lembut terhadap umatnya. Namun di sisi lain ia juga merupakan pribadi yang tegas dan objektif dalam mengambil keputusan. Banyak catatan sejarah yang berbicara soal ini, salah satunya adalah saat Rasulullah merajam pelaku zina yang bernama Ma’iz bin Malik, dengan tanpa mengurangi belas kasih dalam dirinya.


Sebelum mengisahkan seperti apa detail kisah Rasulullah bersikap tegas menindak Ma’iz bin Malik, terlebih dahulu penulis singgung bahwa zina merupakan dosa yang sangat besar. Banyak sekali ayat Al-Qur’an maupun hadits yang secara tegas mengharamkan perbuatan zina. Salah satunya adalah firman Allah swt berikut,

 

وَلُوطًا آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ تَعْمَلُ الْخَبَائِثَ ۗ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمَ سَوْءٍ فَاسِقِينَ


Artinya: “Dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik.” (QS. Al-Anbiya [21]: 74)


Penggunaan kata al-khaba’its untuk menyebut perbuatan zina merupakan bukti yang jelas bahwa zina adalah perbuatan keji. Secara bahasa, kata al-khaba’its sendiri berarti kotoran atau najis. Hukuman bagi pelaku zina dalam Islam pun sangat berat. Jika pelakunya sudah memiliki istri (muhshan), hukumannya dirajam sampai meninggal. Sementara jika pelakunya belum menikah (ghairu muhshan), hukumannya dicambuk sebanyak 100 kali.


Berkaitan ayat di atas, Ibnul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan, alasan mengapa perbuatan zina (termasuk praktik sodomi) pada ayat di atas menggunakan kata al-khaba’its adalah karena perbuatan tersebut dinilai sebagai dosa yang paling besar di bawah level dosa syirik atau menyekutukan Allah (dosa syirik merupakan dosa yang tidak terampuni).


Ibnul Qayyim melanjutkan, alasan zina mendapat predikat dosa paling besar di bawah perbuatan syirik adalah karena zina dapat merusak hati dan melemahkan keimanan seorang Muslim. Jika najis zahir (yang tampak) dapat mengotori tubuh, maka perbuatan zina sebagai najis ma’nawai dapat merusak hati. (Muhammad Hamdun Abdullah, Al-Manjahul Akhlaqi fil Qur’anil Karim, h. 249-250)


Kisah Ma’iz bin Malik

Sebagai seorang Nabi yang amanah, beliau akan menegakkan hukum seadil-adilnya. Kendati hal itu terjadi pada orang yang beliau sendiri mengasihinya. Seperti kisah Ma’iz bin Malik yang berbuat zina. Rasulullah sebenarnya tidak begitu tega merajam sahabat yang satu ini, belum lagi karena keberanian dan kejujurannya dengan menyerahkan diri ke Rasulullah atas dosa yang telah dilakukannya. Tapi bagaimana pun, hukum harus ditegakkan.


Diriwayatkan dari Buraidah, M’aiz bin Malik datang menemui Rasulullah saw dan berkata, “Sucikanlah aku wahai Rasulullah!” Rasulullah menjawab, “Apa-apan kamu ini! Pulang dan mintalah ampun serta bertaubat kepada Allah!” Ma’iz pun pergi, belum lama kemudian dia kembali dan berkata, “Sucikanlah aku wahai Rasulullah!” Rasulullah menjawab sebagaimana jawaban yang pertama. 


Hal itu terjadi berulang-ulang, sampai pada keempat kalinya Rasulullah bertanya, “Dari apa kamu harus aku sucikan?” Ma’iz menjawab, “Dari dosa zina.”


Rasulullah pun bertanya kepada sahabat lain yang ada di situ, “Apakah Ma’iz ini mengindap penyakit gila?” Lalu dijawab bahwa Ma’iz tidak gila. Beliau bertanya lagi, “Apakah Ma’iz meminum khamr?” Salah seorang kemudian berdiri untuk mencium bau mulutnya, namun tidak ada bau khamr. Beliau kemudian bertanya kepada Ma’iz, “Betulkah telah berbuat zina?” Ma’iz menjawab, “Ya, benar.”


Kemudian, Rasulullah menyuruh para sahabat untuk ditegakkan hukum rajam terhadap Ma’iz hingga akhirnya ia meninggal. Pasca kewafatannya, orang-orang terpecah dalam dua pendapat mengenai kesan terhadap Ma’iz. Sebagian orang mengatakan bahwa Ma’iz telah celaka akibat dosa yang telah diperbuatnya. 


Sementara sebagian yang lain memiliki kesan positif bahwa Ma’iz merupakan orang yang beruntung karena telah bertaubat dengan taubat yang sangat baik, yaitu dengan mendatangi Rasulullah, mengakui kesalahannya dan ikhlas untuk menjalani hukuman rajam.


Sampai selang tiga hari pasca kematian Ma’iz, kedua kubu itu masih dalam pendapatnya masing-masing. Hingga akhirnya Rasulullah meminta mereka untuk memohon ampunan kepada Ma’iz. Lalu beliau bersabda, “Sungguh Ma’iz telah bertaubat dengan sempurna, dan seandainya taubatnya dapat dibagi untuk satu kaum, pasti taubatnya akan mencukupi seluruh kaum tersebut.”


Hikmah kisah

Dari kisah Ma’iz di atas, kita bisa mengambil banyak pelajaran atas ketegasan Rasulullah terhadap pelaku zina. Pertama, meskipun hati beliau begitu lembut, apalagi kepada seorang Muslim yang mau secara terang-terangan mengakui kesalahannya seperti yang dilakukan Ma’iz, tetapi Rasulullah tetap berkomitmen untuk memberlakukan hukum seadil-adilnya. 


Kedua, dalam menjatuhi hukuman, tetaplah mengedepankan sikap kasih sayang. Sebelum Rasulullah menegakkan hukum rajam pada Ma’iz, terlebih dulu beliau bertanya kepada para sahabat untuk memastikan bahwa Ma’iz benar atas pengakuannya. Ini membuktikan bahwa Rasulullah tetap mengedepankan belas kasihan, sekalipun terhadap seorang pelaku zina.


Ketiga, sebesar apapun kesalahan orang lain, tetap harus kita maafkan jika si pelaku sudah meminta maaf. Jangan sampai karena dendam, membuat kita enggan memaafkan. Sikap Nabi dalam memaafkan Ma’iz yang telah melakukan dosa besar memiliki pesan moral bahwa sebesar apapun kesalahan seseorang, tetap harus kita maafkan. Bahkan Nabi sendiri menegaskan bahwa taubat Ma’iz merupakan pertaubatan yang sangat baik.


Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta