Sirah Nabawiyah

Meneladani Reaksi Abu Bakar Setelah Mendengar Kabar Isra Mi’raj

Jum, 17 Februari 2023 | 15:00 WIB

Meneladani Reaksi Abu Bakar Setelah Mendengar Kabar Isra Mi’raj

Abu Bakar As-Shiddiq (Ilustrasi: NU Online)

Salah satu sahabat nabi yang paling setia dalam menemani Rasulullah dalam menyebarkan ajaran Islam adalah sahabat Abu Bakar. Kemana pun Rasulullah pergi, ia adalah sahabat yang paling siap untuk mendampinginya, tak peduli bagaimana keadaannya. Salah satu contohnya adalah ketika nabi hijrah ke Madinah, ia adalah satu-satunya sahabat yang menjadi teman perjalanannya.


Loyalitasnya pada ajaran yang dibawa oleh nabi tidak diragukan kembali, bahkan ketika Islam membutuhkan bantuan, ia langsung membagikan semua hartanya untuk disumbangkan. Ia tidak berpikir bagaimana nasibnya setelah semua itu. Keimanan yang kuat dalam dirinya telah mengalahkan segalanya. Ia rela kehilangan semua hartanya demi kemajuan dan perkembangan Islam.


Ia juga sahabat nabi yang paling kuat keimanannya. Apa saja yang disampaikan oleh nabi, ia langsung iman dan percaya tanpa harus bertanya dan protes kepadanya. Salah satunya adalah ketika kabar Isra Mi’raj menyebar semenanjung Arab.


Saat itu, orang-orang Quraisy yang tahu bahwa Abu Bakar belum mendengar kabar tentang hal itu, mereka langsung mendatanginya untuk mencemooh dan menghina nabi di hadapannya. Harapannya, Abu Bakar bisa ragu dan tidak percaya pada peristiwa luar biasa yang Rasulullah tempuh dengan tempo waktu yang sangat singkat itu.


Sesampainya di rumah Abu Bakar, mereka menceritakan semua kejadian tidak masuk akal itu, dan mereka beranggapan bahwa peristiwa Isra Mi’raj hanyalah dongeng belaka yang dibuat-buat oleh nabi untuk mengelabui umatnya.


Setelah mereka bercerita panjang lebar tentang Isra Mi’raj kepada Abu Bakar, dengan tenang ia bertanya, “Apakah Rasulullah benar berkata demikian?”


“Iya,” jawab orang-orang kafir Quraisy. Tidak hanya itu, mereka terus mendebat, membantah, dan mengatakan bahwa Abu Bakar tidak waras jika percaya pada Isra Mi’raj yang tidak masuk akal. Akan tetapi, dengan tegas dan penuh keyakinan, ia langsung mengatakan kepada mereka,


أَنَا صَدَقْتُهُ فِي خَبَرِ السَّمَاءِ فَكَيْفَ أُكَذِّبُهُ فِي ذَلِكَ، مَادَامَ قَالَ فَقَدْ صَدَقَ


Artinya, “Sungguh saya telah membenarkannya perihal khabar langit (Mi’raj), maka bagaimana mungkin saya mengingkarinya dalam peristiwa itu (Isra). Selama (Rasulullah) berkata, maka sungguh dia benar.”


Demikian jawaban singkat Abu Bakar ketika mendengar kabar tentang Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Jawaban ini dijadikan gambaran oleh para ulama tafsir, bahwa iman yang benar adalah iman yang tidak mempertanyakan apa yang dilakukan oleh pembawa risalah, semua percaya dan iman padanya, sekalipun tidak masuk akal. (Syekh Mutawalli, Tafsir wa Khawathirul Umam lis Sya’rawi, [Darul Imam, 1997), juz I, halaman 2707).


Dalam beberapa catatan sejarah yang lain, ketika kabar Isra Nabi Muhammad mulai tersebar semenanjung Arab, banyak umat Islam yang murtad dan mengingkarinya. Di saat yang bersamaan, orang-orang musyrik mencoba untuk mengambil kesempatan guna melemahkan keimanan Abu Bakar dengan cara memfitnah nabi perihal perjalanannya dari Makkah ke Masjidil Aqsha yang singkat tersebut. Mereka berkata kepada Abu Bakar,


“Bagaimana pendapatmu tentang sahabatmu (Rasulullah) yang mengaku telah diperjalankan dari Makkah ke Baitul Maqdis?”


Mendengar pertanyaan tersebut, ia tidak lantas langsung menjawabnya, namun masih bertanya balik, “Apakah Rasulullah sendiri yang mengatakan demikian?”


“Iya,” jawab mereka dengan singkat. Kemudian dengan tegas Abu Bakar mengatakan, “Jika benar Rasulullah mengatakan demikian, sungguh semua itu adalah kebenaran dan saya percaya dengannya.”


Dengan penuh jengkel, orang-orang Quraisy mencoba mengejar jawaban tersebut guna melemahkan kepercayaannya. Mereka berkata, “Masak iya, kamu percaya pada kabar bahwa Muhammad telah pergi ke Syam di malam hari, dan datang kembali ke sini (Makkah) sebelum waktu Subuh?”


Sayyidina Abu Bakar yang sudah yakin akan kebenaran Rasulullah kembali menegaskan bahwa ia sangat percaya pada semua itu, bahkan ia juga percaya pada kabar-kabar yang lebih mengherankan dari semua itu, yaitu Mi’raj,


نَعَمْ، اِنِّي لَأُصَدِّقُهُ فَيْمَا هُوَ أَبْعَدُ مِنْ ذَلِكَ أُصَدِّقُهُ فِي خَبَرِ السَّمَاءِ فِي غَدْوَةٍ وَرَوْحَةٍ


Artinya, “Iya aku membenarkannya, bahkan kabar yang lebih dari pada itu (Mi’raj), aku akan membenarkannya perihal wahyu yang ia terima dari langit di pagi atau pun sore hari.” (Abul Hasan an-Naisaburi, Al-Wasith fi Tafsiril Qur’anil Majid, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], juz III, halaman 96).


Demikian reaksi Sayyidina Abu Bakar ketika mendengar kabar perihal Isra dan Mi’raj. Ia langsung iman dan percaya pada semuanya, bahkan tidak mendengar langsung dari nabi juga tidak menjadi alasan untuk tidak iman padanya. Kualitas keimanannya sangat tinggi. Ketika para sahabat yang lain banyak yang ingkar, justru ia adalah orang pertama yang membenarkan nabi.


Dari sinilah kemudian ia mendapatkan gelar "as-Siddiq" (orang yang paling benar), karena tingkat kepercayaan dan pembenarannya kepada Rasulullah tidak memerlukan bukti apa-apa. Dengan mengetahui kisah ini, semoga kita semua bisa meneladani keimanan Abu Bakar. Wallahu a’lam.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur