Sirah Nabawiyah

Ramadhan Bersama Khalifah Umar bin Khattab di Palestina

Sen, 10 April 2023 | 18:00 WIB

Ramadhan Bersama Khalifah Umar bin Khattab di Palestina

Khalifah Umar bin Khattab (Ilustrasi: NU Online)

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia mencatat banyaknya gangguan yang dialami oleh umat Islam di Palestina saat menjalankan ibadah Ramadhan. Baru-baru ini penyerangan di dalam Masjidil Aqsha saat umat Islam menjalankan ibadah Ramadhan mengejutkan banyak pihak. Bahkan tidak lama kemudian terjadi pengusiran dan pelarangan shalat di halaman Masjidil Aqsha telah dilakukan oleh tentara Israel dengan brutal. 


Di tengah keprihatinan kaum muslimin Palestina, ada sejarah menarik tentang kebebasan beragama saat Ramadhan di pada masa Umar bin Khattab, khususnya di Masjidil Aqsha yang perlu diketahui oleh dunia. Palestina dahulu merupakan bagian dari wilayah negeri Syam. Pada masa Amirul Mu’minin Umar bin Khattab, Yerusalem pernah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Saat itulah kedamaian tercipta di antara tiga penganut agama di sekitar Masjidil Aqsa atau Baitul Maqdis. Umat Islam, Nasrani, dan Yahudi dapat menggunakan tempat ibadahnya dengan leluasa tanpa gangguan. Uniknya lagi, masuknya Khalifah Umar ke Yerusalem ternyata diawali dengan negosiasi damai antara penduduknya dan tentara muslimin.


Perluasan wilayah Islam pada masa itu dimotivasi untuk membebaskan manusia dari kezaliman penguasa. Secara umum, Syam termasuk Palestina dan Yerusalem merupakan daerah yang dihuni oleh berbagai umat dengan agama yang berbeda. Saat itu, penguasa Syam adalah Kerajaan Romawi yang berpusat di Byzantium. Namun, kekuasaan Romawi di Syam dirasakan oleh penduduknya sebagai bentuk penjajahan yang zalim terhadap kemanusiaan.


Oleh karena itu, tidak mengherankan bila kekuatan penguasa Islam menjadi pilihan untuk diikuti atas kesepakatan penduduk Palestina dan Yerusalem sendiri. Di samping telah banyak membebaskan daerah di sekitar Syam dari penjajahan Romawi, rakyat menaruh harapan besar terhadap kebijaksanaan agama Islam yang melindungi semua umat beragama. Pembesar di Baitul Maqdis telah mengenali konsep ajaran Islam yang dibawa oleh sahabat Nabi untuk melindungi kaum dzimmi. Hal ini terungkap ketika pemuka masyarakat di Baitul Maqdis menyampaikan aspirasi komunitasnya kepada Sahabat Umar berikut ini:


“Ketika pemuka Baitul Maqdis memandang Umar, dia mengenalnya. Dia mengatakan kepada orang-orang Baitul Maqdis dan orang-orang memasrahkan urusan mereka agar pemuka itu bersepakat dengannya atas dasar perlindungan terhadap dzimmi. Dia (Umar), aku bersumpah demi Allah, pendamping Muhammad bin Abdullah. Mereka membuka gerbang dan pergi ke Umar meminta perlindungan, keamanan, dan persetujuannya. Ketika Umar melihat mereka dalam keadaan itu, dia bersujud kepada Allah di punggung untanya. Kemudian, dia turun dan memberi tahu mereka untuk kembali ke tempatnya. Mereka mendapat perlindungan dan keamanan serta kesepakatan jika mereka mau dan jika mereka membayar jizyah. Orang-orang kembali ke tempat mereka dan mereka tidak menutup gerbang. Omar kembali ke perkemahan pasukan dan bermalam di sana.” (Redha, 1999, Al-Farouq Omar ibn al-Khattab The Second Caliph, Lebanon, Darul Kutub al-Ilmiyah: halaman 163)


Umar memasuki Baitul Maqdis keesokan harinya dan bertepatan dengan sepuluh hari kedua di bulan Ramadhan tahun ke-15 Hijriah. Beliau masuk pada hari Senin dan tinggal di sana sampai hari Jumat. Pada hari Jumat, Beliau memberikan khutbah dan melaksanakan shalat Jumat di bagian timur kota yang merupakan tempat masjidnya. Dalam satu riwayat, Khalifah Umar tinggal di Baitul Maqdis selama sepuluh hari. Uniknya, pada awal-awal kedatangannya yang dicari adalah batu yang pernah dipijak Nabi.


Setibanya di sana, Umar bin Khattab mencari seorang pendeta Yahudi terkemuka yang masuk Islam untuk membimbingnya menuju lokasi batu tempat pijakan kaki Nabi dan Masjidil Aqsa. Kepeduliannya kepada lokasi batu yang unik itu membuktikan bahwa ajaran Islam sangat menghormati situs sejarah. Selain menghormati sejarah, tindakan Umar adalah amanat ilmiah ajaran Islam untuk melestarikan peninggalan nabinya.


Umar bin Khattab menemukan lokasi batu (tempat Nabi naik ke surga pada malam Isra' dan Mi'raj) dan memerintahkannya untuk dibersihkan. Dikatakan juga bahwa dia membersihkannya dengan pakaiannya sendiri bersama para pengikutnya. Mereka melakukan sholat Subuh di makam Nabi Dawud dan itu adalah pertama kalinya adzan terdengar di Yerusalem. Dia kemudian memerintahkan agar Masjidil Aqsa dibangun di lokasi tersebut karena waktu itu hanya berupa tembok di dalam area yang luas.


Pencapaian gemilang Khalifah Umar adalah ketika menyampaikan janji tertulis yang menjamin kebebasan beragama bagi kaum Nasrani dan Yahudi di sekitar Baitul Maqdis. Berikut adalah janji yang diberikan kepada orang-orang Baitul Maqdis yang tertulis dan disaksikan oleh para sahabat lainnya.


“Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Ini adalah ikrar keselamatan dari Abdullah (hamba Allah), Umar Ibnul Khattab, Pemimpinnya orang beriman yang memberikan kepada orang-orang Elia’a. Janji keselamatan untuk diri mereka sendiri, untuk harta mereka, gereja, salib, dan semua orang mereka. Ini adalah janji bahwa gereja-gereja mereka tidak akan dihuni, dihancurkan atau diambil alih. Dan bahwa mereka tidak akan dipaksa untuk mengubah agama mereka dan tidak ada yang akan dirugikan atau siapapun dari orang Yahudi yang tinggal bersama mereka di Elia’a.” (Redha, 1999, Al-Farouq Omar ibn al-Khattab The Second Caliph, Lebanon, Darul Kutub al-Ilmiyah: halaman 164)


Berkat ikrar jaminan keselamatan itulah, penduduk di Baitul Maqdis dapat hidup dengan penuh kedamaian. Ikrar serupa juga dikeluarkan oleh Umar di daerah Ludd, yaitu suatu desa di Palestina yang juga berdekatan dengan Baitul Maqdis. Setelah itu, Umar kembali ke Damaskus untuk menemui pasukannya yang bermarkas di sana.


Damaskus merupakan daerah di Syam yang sekarang menjadi wilayah Syria. Saat belum memeluk Islam, Umar pernah berdagang hingga ke Damaskus. Saat itu, Beliau bolak-balik dari Yaman, Mekah dan Syam untuk berdagang parfum, bukhur, dan kemenyan Arab. Karena kepiawaiannya dalam mencermati dan mendiskusikan fenomena sosial di berbagai tempat yang dikunjunginya saat berdagang, Umar mampu menerapkan strategi perluasan wilayah Islam yang jitu saat beliau telah menjadi Amirul Mu’minin. 


Ramadhan pada masa Umar mengunjungi Baitul Maqdis menjadi saksi bahwa Islam tidak pernah mengganggu umat agama lain. Tidak hanya umat Islam yang mengakui hal ini, tetapi semua yang memahami sejarah akan mengerti terhadap bukti toleransi kaum muslimin. Selayaknya saat ini kaum muslimin di seluruh dunia memberikan dukungan nyata dan doa agar saudara-saudara muslim di Palestina dapat menjalankan akhir Bulan Ramadhan dengan ketenangan. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, pakar farmasi, pemerhati sejarah kedokteran dan sejarah peradaban Islam.