Sirah Nabawiyah

Rangkaian Isra’ Mi’raj yang Membentuk Karakter Nabi Muhammad

Sen, 8 Maret 2021 | 05:30 WIB

Rangkaian Isra’ Mi’raj yang Membentuk Karakter Nabi Muhammad

Ilustrasi isra' mi'raj Nabi Muhammad saw. (NU Online)

Sebagai Nabi terakhir (khatamun nabiyyin), Rasulullah Muhammad saw mengemban misi yang tidak ringan. Rintangan demi rintangan beliau alami dalam mendakwahkan ajaran Islam. Namun, beliau sudah di-backing langsung oleh Allah Swt. dalam menjalankan misi dakwahnya. Nabi pernah bersabda,


أدبني ربي فأحسن تأديبي


“Allah telah membimbingku dengan bimbingan yang sempurna.”


Salah satu skenario cantik Allah Swt. dalam membimbing Nabi adalah ketika menjelang hijrah ke Madinah. Sebelum hijrah ke kota kaum Anshar itu, Allah telah menempa Nabi melalui perjalanan Isra’ Mi’raj. Perjalanan malam agung yang penuh hikmah.

 

Tidak hanya itu, sebelum Nabi melakukan Isra Mi’raj, Allah telah menempa Nabi dengan cobaan demi cobaan yang berperan penting dalam membentuk karakter tangguh Nabi Muhammad.


Nabi sebelum Di-isra’-kan


Dalam berbagai kitab yang menjelaskan sejarah Nabi saw, seperti Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, Rahiq al-Makhtum karya Safyurrahman al-Mubarakfuri, dan Sirah Nabawiyah Durus wa ‘Ibar karya Musthafa as-Siba’i, kehidupan Nabi fase Mekah diwarnai dengan penuh tekanan dan penindasan. Tidak hanya itu, Nabi juga kehilangan orang-orang tercinta tempat beliau mengadu dan melepas lelah.


Sejak masih di kandungan, ayah tercinta wafat. Baru usia enam tahun ibunda tercinta pergi. Usia delapan tahun sang kakek yang merawatnya dengan penuh kasih sayang juga meninggalkannya. Setelah itu disusul paman yang juga merawatnya penuh cinta. Lalu berikutnya kepergian Khadijah, istri tercinta, istri yang selalu menguatkan jika Nabi dalam keresahan, termasuk saat Nabi goncang didekap Jibril untuk menerima wahyu pertama.

 

 

Para sejarawan kemudian menamai tahun kewafatan orang-orang tersayang yang silih berganti itu dengan nama tahun kesedihan (‘amul huzni).


Beban Nabi Muhammad di Makkah bukan hanya dengan meninggalnya orang-orang tersayang, tapi juga penindasan demi penindasan oleh orang-orang Quraisy yang merasa terusik dengan agama baru yang dibawanya. Bahkan, beberapa kali nyawa nabi terancam. Rasanya tak sampai hati menceritakan detail kisah-kisah pilu itu.


Safsyurrahman al-Mubarakfuri, Sejarawan yang meraih juara satu penulisan sirah nabawiyah terbaik, sampai menuliskan judul khusus untuk model-model yang digunakan orang Quraisy dalam rangka melumpuhkan misi dakwah Nabi saw.

 

Tidak hanya itu, dalam karya monumentalnya yang berjudul Rahiq al-Maktum, Safyurrahman juga membuat judul yang membahas beragam ekspresi penganiayaan yang dialami Nabi dan umatnya saat di kota Makkah.


Sebagai contoh saja, dalam Rahiq al-Maktum dijelaskan bagaimana Abu Lahab, salah satu dedengkot musuh Islam paling kejam, ia selalu menguntit di belakang Rasulullah saat musim haji dan di pasar-pasar sebagai upaya mendustakannya. Lebih dari itu, Abu Lahab juga memukuli Rasulullah dengan batu sampai kedua tumit beliau berdarah. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, cetakan Muntada at-Tsaqafah, hlm. 103)


Tidak mau kalah dengan suaminya, Ummu Jamil, istri yang juga tidak jauh beda ‘nakalnya’, ia gemar mencaci, menyebar hoaks, menyulut api fitnah serta mengobarkan perang membabibuta terhadap Nabi. Ia juga pernah membawa duri dan memasangnya di jalan yang biasa dilalui oleh Rasulullah. Al-Quran kemudian menjulukinya dengan Hammalah al-Hatab (wanita pembawa kayu bakar). (Safyurrahman al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, cetakan Muntada at-Tsaqafah, hlm. 103)


Isra’ Mi’raj untuk Menghibur Nabi


Setelah masa-masa penuh cobaan Nabi lalui dan kesedihan demi kesedihan Nabi alami, Allah swt memberikan nabi waktu untuk refleksi dan rekreasi dengan adanya peristiwa Isra Mi’raj. Pada peristiwa itu, Nabi dipertemukan nabi-nabi terdahulu, diperlihatkan hal-hal gaib, sampai pada puncaknya, Nabi bertemu langsung dengan Rabb-nya, tanpa ada penghalang (hijab). 

 

Dr Ali Muhammad as-Shallabi menjelaskan,


فجائته حادثة الإسراء والمعراج، على قدر من رب العالمين، فيعرج به من دون الخلائق جميعا، ويكرمه على صبره وجهاده، ويلتقي به مباشرة دون رسول ولاحجاب، ويطلعه على عوالم الغيب دون الخلق كافة، ويجمعه مع إخوانه من الرسل في صعيد واحد، فيكون الإمام والقدوة لهم، وهو خاتمهم وآخرهم.


“Setelah cobaan demi cobaan Nabi lalui, tibalah peristiwa Isra' Mi’raj sesuai rencana Allah Swt. Allah memi’rajkan Nabi. Memuliakannya atas kesabaran dan perjuangan yang telah ditempuhnya. Bertemu dengan Rabb-nya tanpa ada penghalang, melihat hal-hal gaib yang tidak bisa dilihat makhluk-makhluk selainnya, berkumpul dengan nabi-nabi yang lain dan menjadi imam shalat bagi mereka. Ia lah pemungkas para nabi-nabi.” (Dr Ali Muhammad as-Shallabi, as-Sirah an-Nabawiyah ‘Ardlu Waqa’i wa Tahlil Ahdats, Cetakan Dar al-Fikr, Beirut, hlm. 226-227)


Hijrah ke Madinah


Setelah fase dakwah di Mekah selama 13 tahun dengan segala dinamikanya disertai peristiwa Isra' Mi’raj, kiranya cukup waktu selama itu untuk membentuk karakter Nabi yang tangguh dalam mengemban misi risalah berikutnya di Kota Madinah.


Dr Ali Muhammad as-Shallabi menjelaskan bahwa, selama fase dakwah di Mekah dengan penuh rintangan dan cobaan, kiranya semua itu telah membentuk karakter Nabi yang tangguh. Begitu pula orang-orang yang sudah menyatakan masuk Islam, waktu selama itu sudah membuat keimanan mereka kuat. Jumlah muslim yang semakin banyak membuat mereka kuat dan siap untuk melanjutkan dakwah di lingkungan baru, Madinah. (Dr Ali Muhammad as-Shallabi, as-Sirah an-Nabawiyah ‘Ardlu Waqa’i wa Tahlil Ahdats, Cetakan Dar al-Fikr, Beirut, hlm. 227)

 

 

Dengan bekal pengalaman dakwah selama di Makkah, Nabi bersama orang-orang Muslim lebih memiliki konsep yang matang. Meski, tentu saja, fase awal di Madinah pun banyak rintangan dan tantangan.


Safyurrahman al-Mubarakfuri mengklasifikasikan tiga tahapan selama dakwah di Madinah. Pertama, tahapan yang warnai dengan suasana instabilitas, problem-problem internal dan serangan dari penduduk Makkah.


Kedua, tahapan gencatan senjata bersama para pemimpin Kaum Paganis yang diakhiri dengan peristiwa Fathu Makkah (penaklukkan kota Mekah) pada bulan Ramadhan tahun 8 H.


Ketiga, tahapan berbondong-bondongnya orang masuk Islam sampai Nabi wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun ke-11 H. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, cetakan Muntada at-Tsaqafah, hlm. 159)


Muhammad Abror, Mahasantri Ma'had Aly Sa'idusshiddiqiyah Jakarta, Alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon