Sirah Nabawiyah

Gubernur Baik yang Tidak Diinginkan Rakyatnya

Jum, 25 Desember 2020 | 05:00 WIB

Gubernur Baik yang Tidak Diinginkan Rakyatnya

Ilustrasi khalifah. (NU Online)

Abdullah Al-Ma'mun bin Harun ar-Rasyid (813-833 M) mulai memerintah Dinasti Abbasiyah pada 198-218 H/813-833 M. Ia adalah khalifah ketujuh Dinasti Abbasiyah yang melanjutkan kepemimpinan saudaranya, Al-Amin.


Untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, Khalifah Al-Ma'mun memperluas Baitul Hikmah (Darul Hikmah) yang didirikan ayahnya, Harun Ar-Rasyid, sebagai Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia.


Baitul Hikmah diperluas menjadi lembaga perguruan tinggi, perpustakaan, dan tempat penelitian. Lembaga ini memiliki ribuan buku ilmu pengetahuan.


Al-Ma'mun juga tidak tertutup untuk menerima aspirasi rakyatnya. Suatu hari Khalifah Al-Ma'mun didatangi serombongan warga yang bermaksud mengadukan gubernur yang memimpin mereka.

 


"Kalian jangan macam-macam kepadanya. Aku tahu persis beliau gubernur yang baik dan berlaku adil pada kalian," kata Khalifah.

 

Sesepuh warga yang ditunjuk sebagai pemimpin maju ke depan dan berkata:


"Wahai khalifah, apa arti kebaikan itu bagi kami jika tidak dinikmati juga oleh rakyat yang lain? Selama lima tahun ia telah memimpin kami dengan baik dan adil. Karena itu, mutasikan ke wilayah lain agar keadilannya bisa dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat."


Mendengar perkataan itu, Khalifah Al-Ma'mun tertawa sambil meninggalkan mereka.


Al-Ma’mun lahir di malam Khalifah Musa al-Hadi wafat, atau saat ayahnya, Harun ar-Rasyid, dibaiat menjadi Khalifah. Maka, pada malam 14 September 786 Masehi itu terdapat tiga peristiwa: wafatnya seorang khalifah, diangkatnya khalifah baru, dan lahirnya calon khalifah. Al-Ma’mun berusia sekitar 27 tahun saat menjadi khalifah.

 


Imam Suyuthi mendeskripsikan Al-Ma’mun sebagai orang yang belajar hadits, fiqih, sejarah dan filsafat kepada banyak ulama dan ilmuwan. Dia seorang yang istimewa dalam hal kemauan yang kuat, kecerdasan, kewibawaan, dan kecerdikan. Dia bicara dengan fasih, dan seorang orator yang ulung.


Sulit mencari tandingannya di antara para khalifah Dinasti Abbasiyah lainnya dalam hal kepintaran. Diriwayatkan dalam al-Bidayah wan Nihayah bahwa saat bulan Ramadhan dia sanggup mengkhatamkan Al-Qur’an 33 kali.


Kemauan Al-Makmun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tidak mengenal lelah. Ia ingin menunjukkan kemauan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat tradisi Yunani. Ia menyediakan biaya dan dorongan yang kuat untuk mencapai kemajuan besar di bidang ilmu. Salah satunya adalah gerakan penerjemahan karya-karya kuno dari Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti ilmu kedokteran, astronomi, matematika, dan filsafat alam secara umum.


Ahli-ahli penerjemah yang diberi tugas Khalifah Al-Makmun diberi imbalan yang layak. Para penerjemah tersebut antara lain Yahya bin Abi Manshur, Qusta bin Luqa, Sabian bin Tsabit bin Qura, dan Hunain bin Ishaq yang digelari Abu Zaid Al-Ibadi.


Bekal kepintaran dan kecintaan pada ilmu itulah yang membuat periode kekhilafahan di masa Al-Ma’mun tercatat sebagai masa keemasan Abbasiyah, melanjutkan kisah gemilang ayahnya, Harun ar-Rasyid, khalifah kelima. Kalau pada masa ayahnya, Bait al-Hikmah didirikan sebagai perpustakaan pribadi, pada masa Al-Ma'mun Bait al-Hikmah dikembangkan menjadi semacam perpustakaan negara dan pusat kajian.

 


Khalifah Al-Ma’mun mengundang para fisikawan, matematikawan, astronom, penyair, ahli hukum, ahli hadis dan mufasir dari berbagai penjuru untuk menyemarakkan panggung intelektual dunia Islam. Mereka diberi fasilitas dan perlindungan negara agar dapat mencurahkan seluruh perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan ilmuwan Kristen dan Yahudi pun diajak turut serta.


Sejarah mencatat bahwa Hunain Ibn Ashaq, seorang Nasrani, telah menerjemahkan karya-karya Aristoteles dan Plato dari karya-karya Hippocrates dan Galen di bidang fisika. Karya itu beberapa tahun kemudian menyebar sampai ke Eropa Barat melalui Sisilia dan Spanyol. Setelah menjamurnya karya-karya terjemahan itu, semakin lengkaplah koleksi buku di perpustakaan akademi Bait al-Hikmah.


Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (775-835), matematikawan terkemuka dan penemu al-Jabar (Algebra), pernah bekerja di perpustakaan ini. Selama masa tugasnya di perpustakaan itu, ia menulis karya monumental, Kitab al-Jabr wa al-Muqabillah.


Dana riset yang diberikan Khalifah Al-Ma’mun kepada Bait al-Hikmah sangat tinggi. Begitu juga gaji para ilmuwan seperti Hunain dan Khawarizmi sehingga dapat mewujudkan peradaban dan ilmu pengetahuan secara maksimal.


Al-Ma’mun wafat karena sakit saat berusia 47 tahun. Dia berkuasa sekitar 20 tahun. Dia tidak menunjuk anaknya, al-Abbas, sebagai penggantinya. Dia menunjuk saudaranya, Abu Ishaq Muhammad bin ar-Rasyid, sebagai khalifah selanjutnya. Pada periode Al-Ma’mun ini sejarah mencatat Imam Syafi’i wafat (820 M) dan juga guru Imam Syafi’i, yaitu Sayyidah Nafisah (824 M), seorang perempuan suci di Mesir.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon