Sirah Nabawiyah

Sayyidina Abu Bakar dan Putranya Kompak Tolak Dinasti Politik

Sab, 21 Oktober 2023 | 22:00 WIB

Sayyidina Abu Bakar dan Putranya Kompak Tolak Dinasti Politik

Ilustrasi Sayyidina Abu Bakar. (Foto: NU Online)

Dinasti politik yang dibiarkan terus berkembang tanpa regulasi yang ideal akan mengancam keberlangsungan demokrasi. Impian demokrasi ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’ akan sulit tercapai, tapi justru tragedi ‘dari dinasti, oleh dinasti, dan untuk dinasti’, yang akan terjadi. Rakyat pun hanya akan menjadi alat dinasti politik mengguritakan pengaruhnya.

 

Dalam sejarah pemerintahan Islam, Sayyidina Abu Bakar sebagai khalifah atau pengganti Rasulullah saw telah menekankan pentingnya memilih orang-orang yang punya kredibilitas untuk menjalankan pemerintahan, sekaligus menolak dinasti politik secara tegas.

 

Jelang wafatnya, Sayyidina Abu Bakar memanggil beberapa orang untuk diajak diskusi tentang sosok yang akan menggantikan perannya di pemerintahan.

 

Pertama, Abdurrahman bin Auf yang langsung disergah dengan pertanyaan:

 

“Bagaimana pendapatmu tentang Umar (bin Khattab)?” kata Sayyidina Abu Bakar.

 

“Ia adalah sosok yang lebih utama daripada yang engkau bayangkan, hanya saja dalam dirinya ada sikap keras”, jawab Abdurrahman jujur.

 

“Kerasnya itu karena ia melihatku sebagai orang yang lembut. Andaikan urusan pemerintahan dipegangnya, maka ia akan meninggalkan banyak dari sikap kerasnya. Aku sudah mengamatinya. Ketika aku marah pada seseorang, ia memberitahuku agar merelakannya; dan ketika aku halus pada seseorang, maka ia memberitahuku agar bersikap keras kepadanya.”

 

Menarik dicatat dalam hal ini, Sayyidina Abu Bakar sangat mengapresiasi peran Umar bin Khattab dalam pemerintahannya sebagai penyeimbang dirinya. Perbedaan karakter tidak menghalanginya untuk bekerjasama dalam satu pemerintahan.

 

Kedua, Utsman bin Affan yang oleh Sayyidina Abu Bakar juga langsung ditanya perihal Umar.

 

“Batinnya lebih baik daripada (kesan) lahiriahnya. Tak ada orang seperti dia di antara kita”, jawab Utsman.

 

Ketiga, Abu Thalhah bin Ubaidillah juga datang dan masuk ke tempat peristirahatan Sayyidina Abu Bakar.

 

“Engkau menunjuk Umar sebagai penggantimu? Sungguh Engkau sudah melihat apa yang dialami masyarakat darinya saat Engkau bersamanya, lalu bagaimana bila ia sendiri yang memimpin mereka, sementara Engkau telah bertemu Tuhanmu, lalu ditanya tentang rakyatmu?”, kata Thalhah memberikan alasan.

 

“Tolong dudukkan aku … Demi Allah apakah kalian mengkhawatirkan aku? Ketika aku bertemu Tuhanku dan Ia menanyaiku, maka akan aku jawab: “Aku telah menunjuk orang terbaik untuk umatmu.”

 

Kemudian Sayyidina Abu Bakar memerintahkan Utsman agar menuliskan ucapannya untuk mengangkat Umar sebagai penggantinya.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ، هَذَا مَا عَهِدَ أَبُو بَكْرِ بْنِ أَبِي قُحَافَةَ إِلَى الْمُسْلِمِينَ، أَمَّا بَعْدُ. فَإِنِّي قَدِ اسْتَخْلَفْتُ عَلَيْكُمْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ وَلَمْ آلُكُمْ خَيْرًا

 

Artinya: “Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah maklumat Abu Bakar bin Abi Quhafah kepada kaum Muslimin. Amma ba’du. Sungguh aku benar-benar telah menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantiku memimpin kalian, dan Aku tidak hanya memilihkan yang baik untuk kalian (tapi yang terbaik)."

 

Sampai waktu catatan pergantian kepemimpinan pemerintahan dideklarasikan, rakyat pun sam’an wa tha’tan, kompak mengikuti petunjuk Sayyidina Abu Bakar. Di detik-detik inilah, Abu Bakar kemudian mendekat kepada massa dan sekali lagi berkata:

 

أترضون بمن استخلفت عليكم؟ فإني ما استخلفت عليكم ذا قرابة، وإني قد استخلفت عليكم عمر فاسمعوا له وأطيعوا، فإني والله ما ألوت من جهد الرأي

 

Artinya: “Apakah kalian rela dengan orang yang telah aku tunjuk sebagai penggantiku untuk memimpin kalian? Karena sungguh aku tidak menunjuk orang yang punya hubungan kekerabatan denganku. Sungguh aku telah menunjuk Umar sebagai penggantiku memimpin kalian, maka dengarkan dan taatilah dia. Sungguh demi Allah aku tidak membiarkan semampu pikiranku.”

 

Di sini tampak jelas, untuk urusan pemimpin pemerintahan Abu Bakar menolak dinasti politik dan menggelar karpet merah untuk keluarganya. Kalau mau, bisa saja Abu Bakar menunjuk anak-anaknya semisal Abdurrahman, Abdullah, Asma, atau bahkan Aisyah istri Rasulullah saw. Tapi hal itu tidak ia lakukan. Karena ini bukan masalah kebanggaan dan nama besar, tapi amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Umar dipilih waktu itu karena ketegasannya sangat dibutuhkan sepeninggalan Abu Bakar. (Ibnul Atsir, Al-Kamil fit Tarikh, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 1987],juz II, halaman 272-274).

 

Penolakan terhadap dinasti politik Abu Bakar ini diwarisi oleh Abdurrahman bin Abu Bakar yang di kemudian hari menolak berbaiat kepada Yazid yang ditunjuk oleh Mu’awiyah sebagai penguasa setelahnya.

 

Saat Marwan, Gubernur Muawiyah di wilayah Hijaz, membacakan maklumat pengangkatan Yazid di Masjid Madinah, Abdurahman bangkit berdiri menentangnya:

 

سنة هرقل و قيصر، إن أبا بكر و الله ما جعلها في أحد من ولده و لا أحد من أهل بيته و لا جعلها معاوية إلا رحمة و كرامة لولده

 

Artinya, “Itu perilaku Heraklius (penguasa Bizantimum) dan perilaku Kaisar (Romawi). Sungguh Abu Bakar demi Allah tidak menaruh kekuasaan itu pada seorang pun dari anak dan keluarganya. Tidaklah Mu’awiyah menjadikan kekuasaan itu kecuali karena mengasihi dan memberi previllage bagi anaknya.” (As-Suyuthi, Tarikhul Khulafa, [Mesir, Mathba’atus Sa’dah: 1952], halaman 175).

 

Ketegasan Abu Bakar dan anaknya, Abdurrahman, dalam menolak dinasti politik ini layak dijadikan teladan oleh para politisi dan seluruh anak bangsa dalam upaya mengembangkan demokrasi Indonesia ke arah yang lebih sehat, agar semakin mendekati impian ‘dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat’. Bukan ‘dari dinasti, oleh dinasti, dan untuk dinasti’, sementara rakyat terus-menerus diperalat saja. Wallahu a’lam.

 

Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online.