Sejarah Penanganan Orang-orang Terlantar di Masa Umar
NU Online · Selasa, 29 April 2025 | 11:00 WIB
M Ryan Romadhon
Kolomnis
Agama Islam adalah agama yang mengajarkan penganutnya untuk bersikap saleh, baik saleh ritual (berhubungan dengan Tuhan) maupun saleh sosial (berhubungan dengan sesama manusia). Oleh karena itu, banyak ajaran Islam yang tidak hanya berkaitan dengan ritual ibadah, tetapi juga dengan aspek sosial kemasyarakatan.
Salah satu ajaran Islam yang berkaitan dengan saleh sosial adalah perhatian besar terhadap kelompok-kelompok rentan dan termarginalkan, termasuk anak-anak yang tidak diketahui asal-usulnya atau terlantar, yang dalam literatur fikih dikenal dengan istilah laqith.
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana Islam melalui para sahabatnya menyikapi keberadaan orang-orang terlantar, berikut ini dipaparkan beberapa riwayat sahabat, khususnya Umar bin Khattab, yang berhubungan dengan persoalan ini.
Baca Juga
Miliaran Meter Lahan Wakaf Terlantar
Dalam kitab Nashbur Rayyah, Syekh Jamaluddin Az-Zayla'i memaparkan riwayat tentang bagaimana sahabat Umar bin Khattab menangani orang-orang terlantar pada masa kepemimpinannya. Berikut adalah paparan riwayatnya:
رُوِيَ عَنْ عُمَرَ، وَعَلِيٍّ رضي الله عنهما أَنَّ نَفَقَةَ اللَّقِيطِ فِي بَيْتِ الْمَالِ، قُلْت: أَمَّا الرِّوَايَةُ عَنْ عُمَرَ، فَأَخْرَجَهَا مَالِكٌ فِي «الْمُوَطَّأِ» - فِي كِتَابِ الْأَقْضِيَةِ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ الزُّهْرِيِّ عَنْ سُنَيْنٍ أَبِي جَمِيلَةَ - رَجُلٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ - أَنَّهُ وَجَدَ مَنْبُوذًا فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، قَالَ: فَجِئْتُ بِهِ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ: مَا حَمَلَكَ عَلَى أَخْذِ هَذِهِ النَّسَمَةِ؟ فَقَالَ: وَجَدْتُهَا ضَائِعَةً، فَأَخَذْتُهَا، فَقَالَ لَهُ عَرِيفُهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إنَّهُ رَجُلٌ صَالِحٌ، قَالَ: كَذَلِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ عُمَرُ: اذْهَبْ بِهِ فَهُوَ حُرٌّ، وَعَلَيْنَا نَفَقَتُهُ، انْتَهَى
Artinya: “Diriwayatkan dari Umar ra. dan Ali ra. bahwa nafkah anak terlantar ditanggung oleh Baitul Mal. Aku (Syekh Jamaluddin) berkata, ‘Adapun riwayat dari Umar, dikeluarkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwatta’ dalam pembahasan Kitab al-Aqdhiyyah, dari Ibnu Syihab Az-Zuhri, dari Sunain Abu Jamilah (seorang dari Bani Sulaim), bahwa ia menemukan seorang anak yang dibuang (manbudz) pada zaman kepemimpinan Umar bin Khattab.
Kemudian ia berkata, ‘Aku membawanya kepada Umar.’ Umar pun bertanya kepadanya, ‘Apa yang mendorongmu membawa anak ini?’ Ia menjawab, ‘Aku menemukannya terlantar, lalu aku memungutnya.’ Orang yang mengetahui hal tersebut berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, ia adalah orang yang saleh.’ Umar bertanya, ‘Benarkah?’ Orang tersebut menjawab, ‘Ya.’ Umar lalu berkata, ‘Bawalah anak ini, ia merdeka, dan nafkahnya menjadi tanggung jawab kami.’”
Dengan kepekaan sosial yang tinggi, Umar memastikan bahwa setiap anak yang ditemukan tanpa pengasuh mendapatkan perlindungan dan nafkah dari negara, sebagaimana ditunjukkan oleh Az-Zayla'i:
وَرَوَاهُ ابْنُ سَعْدٍ فِي «الطَّبَقَاتِ» - فِي تَرْجَمَةِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَخْبَرَنَا الْوَاقِدِيُّ حَدَّثَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ، قَالَ الواقدي: وأخبرنا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُد بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ الْوَاقِدِيُّ: وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ أَخِي الزُّهْرِيِّ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إذَا أَتَى بِاللَّقِيطِ فَرَضَ لَهُ مَا يُصْلِحُهُ رِزْقًا يَأْخُذُهُ وَلِيُّهُ كُلَّ شَهْرٍ، وَيُوصِي بِهِ خَيْرًا، وَيَجْعَلُ رَضَاعَهُ فِي بَيْتِ الْمَالِ، وَنَفَقَتَهُ، مُخْتَصَرٌ
Artinya: Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam kitab Ath-Thabaqat pada pembahasan biografi sahabat Umar bin Khattab ra. Al-Waqidi mengabarkan kepada kami dari Usamah bin Zaid bin Aslam, dari Yahya bin Abdullah bin Malik, dari bapaknya, dari kakeknya.
Al-Waqidi berkata, ‘Muhammad bin Abdullah, keponakan Az-Zuhri, menceritakan kepadaku dari Az-Zuhri, dari Sa’id bin Musayyib, ia berkata, ‘Ketika Umar bin Khattab ra. diberitahu tentang adanya anak terlantar, beliau menetapkan rezeki yang bermanfaat baginya sebagai nafkah yang diambil walinya setiap bulan. Beliau juga memberikan wasiat baik untuknya, dan menjadikan biaya menyusui serta nafkahnya dari Baitul Mal.’ (Nashbur Rayyah, [Jeddah, Muassasah Ar-Rayyan: 1418 H], jilid III, hlm. 465-466)
Kepedulian Umar bin Khattab terhadap anak-anak terlantar tidak hanya tercermin dalam kebijakan umum, tetapi juga dalam tindakan nyata yang beliau tunjukkan dalam berbagai kesempatan. Dalam salah satu peristiwa yang diriwayatkan, seorang sahabat bernama Sunain Abu Jamilah menjadi saksi dari kebijaksanaan Umar dalam menangani kasus anak terlantar, yang menunjukkan bagaimana sistem Baitul Mal dijalankan untuk menjamin kesejahteraan mereka.
عَنْ سُنَيْن أَبِي جَمِيْلَةَ، أَنَّهُ الْتَقَطَ مَنْبُوْذًا فَجَاءَ بِهِ إِلَى عُمَرَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: فَهُوَ حُرٌّ وَوَلَاؤُهُ لَكَ وَنَفَقَتُهُ عَلَيْنَا مِنْ بَيْتِ الْمَالِ. وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: «وَوَلَاؤُهُ لَكَ» وَلَاءَ الْإِسْلَامِ لَا وَلَاءَ الْعِتَاقِ. فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ: إِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ
Artinya: “Dari Sunain Abu Jamilah, ia menemukan seorang anak yang dibuang (manbudz), lalu membawanya kepada Umar bin Khattab. Umar berkata kepadanya, ‘Anak ini merdeka, hak perwaliannya untukmu, dan nafkahnya menjadi tanggung jawab kami dari Baitul Mal.’ Ada kemungkinan bahwa maksud dari perkataan ‘*walā’-nya untukmu’ adalah perwalian dalam Islam, bukan perwalian karena memerdekakan. Sebab, Nabi bersabda, ‘Hak perwalian hanya untuk orang yang memerdekakan.’” (HR al-Baihaqi dalam Sunan as-Saghir, [Pakistan: Jamiah ad-Dirasat, 1410], jilid V, hlm. 177).
Dari beberapa riwayat di atas, dapat disimpulkan bahwa pada masa Khalifah Umar bin Khattab, beliau memberikan perhatian khusus terhadap penanganan orang-orang terlantar (laqith). Beliau tidak hanya menetapkan hukum terkait status kebebasan anak tersebut, tetapi juga mengatur nafkah, nasab, dan perlindungan sosialnya.
Dari beberapa riwayat tersebut, kita dapat mengetahui bahwa negara, melalui lembaga keuangan publik seperti Baitul Mal, turut bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan hidup orang-orang terlantar. Argumentasi ini menunjukkan bahwa biaya hidup anak terlantar (laqith) menjadi tanggungan Baitul Mal atau, dalam konteks Indonesia, bantuan sosial (bansos), karena mereka termasuk fakir miskin dari kalangan kaum Muslimin.
Negara tidak boleh menunda atau mengabaikan pengalokasian anggaran untuk mereka, karena kelalaian dalam hal ini merupakan bentuk pembiaran terhadap jiwa manusia yang lemah dan tidak berdaya. Wallahu a’lam.
Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.
Terpopuler
1
Rais 'Aam PBNU Ajak Pengurus Mewarisi Dakwah Wali Songo yang Santun dan Menyejukkan
2
Gus Yahya: Warga NU Harus Teguh pada Mazhab Aswaja, Tak Boleh Buat Mazhab Sendiri
3
Kisah Levina, Jamaah Haji Termuda Pengganti Sang Ibunda yang Telah Berpulang
4
Hal Negatif yang Dialami Jamaah Haji di Tanah Suci Bukan Azab
5
Diundang Hadiri Konferensi Naqsyabandiyah, Mudir ‘Ali JATMAN Siapkan Beasiswa bagi Calon Mursyid
6
Kemenhaj Saudi dan 8 Syarikah Setujui Penggabungan Jamaah Terpisah, PPIH Terbitkan Surat Edaran
Terkini
Lihat Semua