Sirah Nabawiyah

Surat Perintah Palsu Penyebab Kematian Utsman bin Affan

Rab, 1 Desember 2021 | 17:30 WIB

Surat Perintah Palsu Penyebab Kematian Utsman bin Affan

Ilustrasi Utsman bin Affan. (Foto: NU Online)

Utsman bin Affan dikenal sebagai pemimpin negara yang lembut. Perangainya ini membuat orang-orang merasa puas dengan masa pemerintahannya. Memasuki separuh kedua dari masa kekuasaannya, sifat lembut Utsman ini justru berdampak sebaliknya, ia malah kurang tegas dalam menjalankan roda pemerintahan, termasuk enggan mencopot aparatur negara yang kurang kompeten.


Pada masa pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, suasana masih terkendali. Artinya, letupan-letupan politik yang terjadi masih dapat dikendalikan. Memasuki era khalifah Utsman bin Affan, atmosfir politik sudah mulai tidak bersahabat.


Instabilitas politik Utsman

Utsman bin Affan dilantik menjadi pemimpin negara tiga hari setelah jenazah Umar bin Khattab disemayamkan. Pengangkatannya sebagai khalifah berdasarkan suara mayoritas, meski awalnya Utsman keberatan dan menyarankan agar Ali bin Abi Thalib saja yang menjadi khalifah.


Berdasarkan laporan Az-Zuhri, Imam As-Suyuti dalam Tarikh Khulafa menjelaskan, Utsman bin Affan menjabat sebagai pemimpin negara selama dua belas tahun. Enam tahun pertama atau separuh dari masa kepemimpinannya, Utsman tampak cakap menjalankan roda pemerintahan. Bisa dipastikan samua rakyat merasa puas terhadap kebijakannya. Belum lagi sikapnya yang lemah lembut menjadi daya tarik tersendiri, karena sebelumnya rakyat dipimpin oleh Umar yang berperangai lebih tegas.


Kondisi yang berbeda terjadi pada separuh terakhir dari masa pemerintahannya. Karakter Utsman yang lembut ternyata membuatnya kurang tegas dalam mengambil keputusan, termasuk dalam menurunkan aparatur-aparatur pemerintah yang kurang berkompeten. Ditambah lagi praktik nepotisme yang ia lakukan. Konon, ia banyak mengangkat pejabat dari kalangan keluarga sendiri dan Bani Umayah (kaum sendiri) yang tidak hidup semasa Rasulullah.


Salah satu saudara yang Utsman angkat sebagai pejabat adalah Abdullah bin Sarah sebagai Gubernur Mesir. Ini merupakan salah satu praktik nepotisme Utsman yang akan menjadi penyebab kematiannya. Imam Adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ mencatat, Abdullah merupakan saudara sesusu Utsman. 


Sedikit laporan tentang Abdullah bin Sarah. Imam Ibnu Katsir dalam Al-Bidâyah wan Nihâyah mengisahkan, Abdullah bin Sarah merupakan salah satu sahabat Nabi yang ditugasi sebagai pencatat wahyu. Hanya saja ia berkhianat dan murtad. Pada saat penaklukan kota Makkah, ada beberapa orang yang tidak Nabi ampuni, salah satunya adalah Abdullah. Nabi pun memerintahkan sahabat untuk membunuhnya. Hanya saja Utsman merasa iba dan membebaskannya. 


Berdasarkan catatan Adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ, Abdullah kemudian kembali memeluk Islam.


Dari laporan di tersebut, jelas bahwa Abdullah bin Sarah memiliki catatan hitam pada masa Rasulullah saw masih hidup. Ternyata wataknya ini belum sepenuhnya hilang, hingga saat menjadi gubernur di Mesir pun ia banyak mendapat protes dari rakyatnya karena kerap kali bertindak lalim. Tidak tahan dengan sikapnya, orang-orang Mesir pun melaporkan kondisi tersebut kepada Utsman bin Affan.


Merespons laporan tersebut, segera Utsman menyurati Abdullah dan memperingatinya dengan tegas. Bukannya takut, Abdullah malah tidak bergeming sama sekali, bahkan ia memukul dan membunuh orang-orang Mesir yang diutus Utsman untuk menemuinya.


Sejak kejadian itu, sebanyak 700 masyarakat Mesir beramai-ramai ke Madinah untuk unjuk rasa kepada Utsman dan menuntut agar Sang Khalifah mengambil sikap tegas mencopot Abdullah. Setelah beberapa upaya yang juga melibatkan Sayyidah Aisyah dan Ali bin Abi Thalib, Utsman pun mantap untuk mencopot Abdullah dan menggantikannya dengan Muhammad bin Abu Bakar atas usulan warga Mesir sendiri.


Surat perintah palsu

Setelah membuahkan hasil, orang-orang Mesir pun kembali ke negaranya dengan membawa keputusan tertulis Utsman yang berisi tentang penggantian gubernur Mesir. Tepat hari ketiga dari perjalanan, mereka dikejutkan oleh seseorang berkulit hitam legam yang menunggang unta dengan terburu-buru. Mencurigai orang itu, mereka pun memberhentikan dan menginterogasinya.


Selang beberapa waktu, diketahuilah status orang itu. Ia mengaku sedang melakukan perjalanan ke Mesir untuk mengantarkan surat khalifah ke gubernur. Orang-orang semakin curiga ketika yang dimaksud gubernur itu adalah Abdullah bin Sarah, bukan Muhammad bin Abu Bakar yang baru saja disahkan sebagai penggantinya.


Setelah ditelusuri, orang itu juga mengaku sebagai pelayan Utsman bin Affan. Namun di sisi lain, ia mengaku sebagai pelayan Marwan bin Hakam. Orang-orang kemudian menggeledahnya dan menemukan sebuah surat. Curiga isi surat itu, Muhammad bin Abu Bakar segera mengumpulkan orang-orang Anshar, Muhajirin dan beberapa lainnya untuk bersama menyaksikan isi surat tersebut. Ketika Muhamad membukanya, tertulis pesan di dalamnya:


“Jika datang Muhammad bin Abu Bakar dan fulan, juga fulan, maka bunuhlah mereka, dan batalkan isi surat (keputusan penggantian gubernur) yang dia bawa. Sementara jabatanmu tetap seperti semula sampai datang perintahku. Penjarakanlah orang-orang yang mengadu kepadaku dan mengatakan bahwa ia telah dizalimi olehmu, sampai aku memerintahkan hal lain untukmu, insya Allah.” 


Selesai membaca surat itu, praktis mereka bingung dan memutuskan untuk kembali ke Madinah menemui Utsman. Muhammad bin Abu Bakar membeberkan isi surat itu kepada penduduk Madinah, termasuk beberapa sahabat Nabi seperti Thalhah, Zubair, Ali, Sa’ad, dan lain sebagainya. Penduduk Madinah yang membaca surat itu merasa jengkel dengan Utsman. Orang-orang Madinah yang dulu sempat konflik dengan Utsman pun semakin menunjukkan kebencian.


Orang-orang menemui Utsman untuk memberi penjelasan atas isi surat tersebut. Utsman sendiri terkejut begitu melihat isi surat dan bersumpah demi Allah bahwa bukan ia yang menulisnya. Belum lagi ada stempel pemerintah di surat itu. Dengan sumpah ini, masyarakat percaya bahwa Utsman jujur atas pengakuannya. Setelah ditelusuri, mereka akhirnya berkesimpulan bahwa yang menulis surat itu adalah Marwan bin Hakam, sekretaris Utsman.


Muhammad bin Abu Bakar beserta rombongan pun memutuskan untuk mencari Marwan sampai ketemu guna dimintai keterangan. Hanya saja Utsman merahasiakan keberadaannya karena khawatir akan dibunuh. Di tengah kegaduhan, ada pihak yang memprovokasi agar mengepung Utsman sampai ia mau menyerahkan Marwan.


Walhasil, Muhammad bin Abu Bakar beserta rombongan mengepung Utsman, bahkan menghalangi akses air masuk ke dalam rumahnya. Di dalam rumah ada Utsman dan istrinya. Atas perintah Ali, Hasan dan Husein berjaga di pintu luar bersama beberapa orang agar tidak ada yang masuk.


Sampai pada puncak kemarahannya, Muhammad bin Abu Bakar bertekad untuk membunuh Utsman. Karena pintu rumah dijaga, Muhammad bin Abu Bakar masuk dari atap dan mencengkeram jenggot Utsman. Sebelum masuk, Muhammad bin Abu Bakar sudah berpesan kepada dua laki-laki yang ada di sampingnya, “Jika aku sudah meringkusnya, masuklah kalian berdua dan pukullah Utsman sampai kalian membunuhnya.”


Niatnya untuk membunuh ia urungkan begitu Utsman mengingatkan bahwa andai Abu Bakar (ayah Muhammad) melihat ini, pasti tidak senang. Begitu Muhammad bin Abu Bakar melepaskan Utsman, masuk dua orang laki-laki tadi dan memukul Utsman sampai terbunuh. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. 


Berdasarkan salah satu riwayat, As-Suyuti mencatat, pembunuh itu adalah pria dari penduduk Mesir dengan warna kulit sawo matang dan dijuluki dengan nama Himar. Sementara Ibnu Katsir menjelaskan, menurut Ibu Umar, nama pembunuh itu adalah Aswad bin Himran. 


Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta