Sirah Nabawiyah

Usamah bin Zaid, Panglima Perang Termuda yang Ditunjuk Nabi

Rab, 2 Oktober 2019 | 05:00 WIB

Usamah bin Zaid, Panglima Perang Termuda yang Ditunjuk Nabi

ilustrasi: indonesian.iloveallaah.com

Usamah merupakan salah satu sahabat yang dekat dengan Nabi Muhammad secara personal. Ayah Usamah, Zaid bin Harits, adalah pelayan yang kemudian menjadi anak angkat Nabi Muhammad. Sementara ibunda Usamah, Ummu Ayyam, 'budak peninggalan' ayah Nabi Muhammad, Abdullah bin Abdul Muthalib. Namun, Nabi begitu menghormatinya. Bahkan, Nabi menganggap Ummu Aiman sebagai ibu keduanya.  

Usamah lahir dan tumbuh di Makkah, dalam lingkungan rumah tangga Nabi Muhammad. Oleh sebab itu, sejak kecil ia sudah mengenal dan memeluk Islam. Nabi begitu sayang terhadap Usamah. Tidak jarang beliau memangku Usamah, bersama dua cucu kesayangannya; Sayyidina Hasan dan Husain.

"Ya Allah, sayangilah mereka, karena aku menyayangi mereka. Ya Allah, cintailah mereka, karena aku mencintai mereka," kata Nabi Muhammad, mendoakan Usamah, Hasan, dan Husain suatu hari. 
 
Salah satu kasih sayang yang ditunjukkan Nabi Muhammad kepada Usamah adalah ketika 'cucunya' itu jatuh tersungkur hingga keningnya terluka. Pada saat itu, sebagaimana dikisahkan Nizar Abazhah dalam Sahabat-sahabat Cilik Rasulullah (2011), mendekati dan langsung menyesap darah luka yang ada di kening Usamah tersebut, lalu meludahkannya. Hingga luka itu menjadi bersih dan Usamah tidak lagi kesakitan.
 
Di lain kesempatan, Nabi Muhammad juga rela menunda melaksanakan tawaf ifadah pada saat haji wada demi menunggu Usamah. Ketika Usamah datang, Nabi langsung memintanya untuk naik ke untanya. Tentu saja hal itu membuat sekelompok orang Yaman yang hadir bersama Nabi merasa keheranan. Bagaimana mungkin Nabi menunda bertawaf demi seorang Usamah. 

Meski demikian, Nabi juga pernah tidak suka dengan salah satu perbuatan Usamah bin Zaid. Ketika itu, Usamah mengejar seorang lelaki musyrik. Ketika lelaki tersebut terpojok, Usamah langsung mengangkat tombaknya dan mengarahkan kepadanya. Entah karena motif apa, lelaki musyrik tersebut mengucapkan syahadat. Namun Usamah tetap membunuhnya. 

Kabar tentang kejadian itu sampai kepada Nabi. Apa yang dilakukan Usamah tersebut membuat Nabi sedih dan murka. Karena bagaimanapun, ketika orang mengucapkan syahadat maka dia sudah menjadi Muslim. "Bagaimana kau bisa membunuh orang yang mengucapkan syahadat?" Nabi mengulang perkataan itu beberapa kali hingga membuat Usamah cemas. Kejadian itu menjadi pelajaran berharga bagi Usamah dan seluruh umat Islam agar tidak mengalirkan darah orang yang mengucapkan syahadat. 

Ketika usia Usamah beranjak dewasa, Nabi Muhammad menunjuknya menjadi panglima perang yang memimpin pasukan umat Islam melawan Romawi Timur (Byzantium). Merujuk buku Perang Muhammad Kisah Perjuangan dan Pertempuran Rasulullah (Nizar Abazhah, 2014), kejadian ini terjadi pada awal bulan Shafar tahu ke-11 H atau saat Usamah berusia 17 tahun—riwayat lain 18 tahun. Penyerangan tersebut dimaksudkan sebagai pertahanan, agar Romawi Timur (Byzantium) tidak lagi berpikir untuk menyerang Madinah. 

Sebagian sahabat keberatan dengan penunjukan Usamah tersebut. Mereka berpikir bahwa Usamah masih terlalu muda untuk memimpin tugas berat tersebut. Masih ada pembesar kaum Muhajirin dan Anshor yang lebih layak menempati posisi Usamah tersebut. Nabi kemudian mendatangi mereka yang meragukan Usamah dan menyampaikan pidato berikut seperti terekam dalam The Great Episodes of Muhammad Saw (Said Ramadhan al-Buthy, 2017):
"Jika kalian meremehkan kepemimpinan Usamah bin Zaid, berarti kalian juga meremehkan kepemimpinan ayahnya sebelumnya. Demi Allah, jiwa kepemimpinan telah terpatri dalam dirinya. Demi Allah, dia orang yang paling aku cintai. Demi Allah, Usamah diciptakan untuk menjadi pemimpin," kata Nabi Muhammad. 

Usamah lantas berangkat meninggalkan Madinah. Ketika tiba di Jurf, sebuah wilayah yang jaraknya sekitar satu farsakh dari Madinah, ia menghentikan pasukannya dan mendirikan kemah setelah mendengar kondisi kesehatan Nabi Muhammad memburuk. Beberapa saat kemudian, Nabi Muhammad wafat. Detasemen yang dipimpin Usamah gagal berangkat ke tujuan. Usamah langsung kembali ke Madinah. Ia menangis tersedu di makam Nabi karena kehilangan ‘kakek’ yang begitu dikasihinya.

Usamah dan detasemennya baru diberangkatkan ke wilayah penduduk Ubna, yang berada di bawah kekuasaan Romawi Timur, pada masa kekhalifahan Abu Bakar as-Shiddiq. Abu Bakar mengantar Usamah sebagai panglima perang dengan berjalan kaki, sementara Usama berada di atas pungguh unta. Hal itu merupakan bentuk penghormatan yang dilakukan Abu Bakar kepada Nabi Muhammad, yang telah menunjuk Usamah sebagai panglima perang.
Ketika melepaskan Usamah dan pasukannya yang berkekuatan 3000 prajurit, Abu Bakar as-Shiddiq menyampaikan sebuah pidato yang bagus sekali.
 
Berikut pesan Abu Bakar kepada Usamah dan pasukannya: "Berperanglah dengan nama Allah dan di jalan Allah. Jangan berkhianat, jangan melanggar janji, jangan memotong-motong tubuh mayat. Jangan membunuh anak kecil, orang lanjut usia, juga wanita. Jangan menebang pohon, jangan merusak, dan membakar pohon kurma. Jangan menyembelih kibas atau unta kecuali untuk dimakan. Kalian akan melewati suatu kaum yang berdiam di biara-biara, biarkan mereka. Perangi orang yang memerangi kalian dan berdamailah dengan orang yang berdamai dengan kalian," kata Abu Bakar as-Shiddiq.
 
Penulis: A Muchlishon Rochmat
Editor: Kendi Setiawan