Syariah

Akad Wakalah: Definisi, Syarat, Rukun, dan Aplikasinya

Kamis, 16 Januari 2025 | 16:00 WIB

Akad Wakalah: Definisi, Syarat, Rukun, dan Aplikasinya

Akad Wakalah dan aplikasinya (freepik).

Salah satu akad yang ada dalam fiqih Islam adalah akad wakalah. Dengan akad ini orang mewakilkan suatu wewenang atau tanggung jawab kepada orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup atau menyelesaikan urusannya. Sederhananya, memasrahkan wewenang atau haknya kepada pihak lain guna mewakili dirinya dalam urusan tertentu yang dilegalkan dalam syariat Islam.
 

Contoh, Zaid sebagai seorang saudagar sangat sibuk dengan usahanya di sebuah kota, kemudian ia mempercayakan seorang rekan atau orang lain untuk menjadi wakil dalam membeli barang dagangan dari pasar yang jauh.
 

Praktik ‘mewakilkan’ dalam contoh ini disebut sebagai akad wakalah dalam fiqih Islam, yaitu: Zaid memberikan kuasa kepada rekannya untuk bertindak atas namanya, memilih barang terbaik, dan menegosiasikan harga yang sesuai dengan apa yang telah ditentukan Zaid.
 

Praktik wakalah sebenarnya tidak hanya terjadi pada contoh di atas, meski tentunya contoh tersebut sangat menggambarkan penerapan akad yang satu ini. Sebab, wakalah dalam fiqih Islam tidak hanya terbatas pada urusan dagang, namun juga mencakup berbagai aspek kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal hukum, administrasi, akad nikah, dan yang lainnya.
 

Praktik perwakilan semacam ini sudah terjadi sejak zaman dahulu, dan terus terjadi hingga saat ini, sehingga mengetahui definisi, syarat dan ketentuan yang ada di dalamnya sangatlah penting, agar praktik perwakilan menjadi sah dan legal secara syariat. 
 

Definisi Wakalah

Syekh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi mendefinisikan wakalah dengan dua pengertian yang berbeda. Pertama secara bahasa, yaitu penyerahan tanggung jawab. Kedua secara syariat, yaitu memasrahkan sesuatu yang bisa dipindah kepada orang lain.
 

وَالْوَكَالَةُ لُغَةً: التَّفْوِيْضُ، وَالْمُرَاعَاةُ، وَالْحِفْظُ. وَشَرْعًا: تَفْوِيْضُ شَخْصٍ أَمْرَهُ إِلىَ آخَرَ فِيْمَا يَقْبَلُ النِّيَابَةَ
 

Artinya, “Wakalah secara bahasa adalah penyerahan, perhatian, dan penjagaan. Sedangkan secara syariat, yaitu penyerahan urusan seseorang kepada orang lain dalam hal yang dapat digantikan.” (Hasyiyah I’anatut Thalibin, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, tt], jilid III, halaman 100).
 

Dengan kata lain, wakalah adalah memberikan wewenang kepada orang lain untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan oleh dirinya sendiri, namun ia wakilkan kepada orang lain, dengan syarat tindakan tersebut memungkinkan untuk diwakilkan.
 

Namun, agar praktik ini menjadi sah, perlu syarat-syarat dan rukun yang harus dipenuhi, baik yang berkaitan dengan pihak yang mewakilkan (muwakkil), maupun pihak yang menerima wakalah (wakil). 
 

Rukun dan Syarat Wakalah

Syekh Dr Musthafa Al-Khin, dkk menjelaskan, rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam akad wakalah ada empat, yaitu:

  1. orang yang mewakilkan atau muwakkil;
  2. orang yang menerima perwakilan atau wakil;
  3. lafal wakalah atau sighat; dan
  4. sesuatu yang diwakilkan atau muwakkal fih.
     

لِلْوَكَالَةِ أَرْكَانٌ أَرْبَعَةٌ، هِيَ: الْمُوَكِّلُ وَالْوَكِيْلُ وَصِيْغَةُ الْعَقْدِ، وَالْمُوَكَّلُ فِيْهِ
 

Artinya, “Wakalah memiliki empat rukun, yaitu: (1) orang yang mewakilkan; (2) orang yang menerima perwakilan dari muwakkil; (3) lafal akad; dan (4) sesuatu yang diwakilkan.” (Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1992], jilid VII, halaman 168).
 

1. Muwakkil

Muwakkil adalah orang yang meminta bantuan kepada orang lain untuk melakukan suatu tindakan atas nama muwakkil. Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh muwakkil ada 2, yaitu:

  1. memiliki kewenangan untuk menggunakan atau untuk melakukan tindakan yang diwakilkan, baik melalui kepemilikan pribadi maupun kewenangan tertentu; dan
  2. memiliki hak untuk melaksanakan tindakan yang ia izinkan kepada orang lain, dan tindakan tersebut harus dianggap sah oleh syariat.
     

Jika salah satu dari dua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka akad wakalah dianggap tidak sah. Karena jika pemberi wakalah tidak memiliki hak untuk sesuatu yang diwakilkan, maka muwakkil tentu lebih tidak mampu.
 

Contoh: pemilik harta yang telah dewasa, berakal, dan tidak berada dalam kondisi mahjur, seperti karena boros atau gila, sah menjadi muwakkil atau memberikan wewenang kepada orang lain untuk mengelola hartanya.

Contoh yang lain, wali perempuan gadis, jika ia adalah seorang yang adil, sah menjadi muwakkil kepada orang lain untuk menikahkan anak gadisnya.
 

Berdasarkan syarat muwakkil di atas, tidak sah bagi anak kecil, orang gila, dan orang ayan untuk memberikan perwakilan kepada orang lain, karena mereka tidak sah melakukan tasaruf secara langsung menurut syariat.
 

Tidak sah juga orang yang ditangguhkan (mahjur) tasaruf hartanya, karena ia tidak memiliki hak memiliki hak untuk menggunakan hartanya secara langsung. (Al-Khin, dkk, VII/169).
 

2. Wakil

Wakil adalah orang yang melakukan suatu tindakan karena mewakili orang lain dengan izin mewakili dari muwakkil. Untuk bisa sah, wakil harus sah secara syariat untuk melakukan tindakan perwakilan tersebut atau ia merupakan orang yang dibolehkan oleh syariat untuk mewakili orang lain.
 

Sebab itu, mengangkat anak kecil, orang gila, dan orang ayan sebagai wakil. Tidak sah pula menjadikan orang bodoh (safih) sebagai wakil, begitu juga orang buta, tidak sah dijadikan wakil dalam tindakan yang keabsahannya bergantung pada kemampuan melihat.
 

Disyaratkan pula, wakil harus ditentukan secara jelas, sehingga ketika seorang muwakkil mewakilkan sesuatu pada dua orang tanpa menunjuk salah satunya dengan jelas, hukumnya tidak sah.
 

Contoh: muwakkil berkata kepada dua orang, “Aku mewakilkan kepada salah satu dari kalian untuk menjual rumahku.” (Al-Khin, dkk, VII/170).
 

3. Shigat Akad Wakalah

Sighat akad wakalah terdiri dari serah terima atau ijab qabul, dan harus memenuhi dua syarat: yaitu:

  1. Pernyataan dari muwakkil yang menunjukkan persetujuannya untuk memberikan perwakilan, baik secara jelas atau kinayah. Hal ini dikarenakan seseorang tidak diperbolehkan bertindak atas hak orang lain kecuali terdapat izin pemiliknya.

    Sighat dalam akad wakalah tidak harus berupa ucapan, tulisan atau pesan juga diperbolehkan dalam akad ini. 

    Contoh pernyataan jelas seperti: "Aku mewakilkanmu untuk menjual rumahku." Sedangkan contoh pernyataan kinayah seperti: "Aku menjadikanmu sebagai penggantiku dalam menjual rumahku".
     
  2. Indikasi penerimaan dari wakil. Namun dalam konteks ini, tidak disyaratkan adanya penerimaan secara lisan, dengan tindakan atau perbuatan sudah dianggap cukup. (Al-Khin, dkk, VII/171).
 

4. Muwakkal fih

Muwakkal fih adalah barang, urusan, objek, atau benda yang diwakilkan dalam akad wakalah. Adapun syarat-syarat muwakkal fih, yaitu:

  1. muwakkal fih harus sudah ada saat terjadinya akad wakalah;
  2. muwakkal fih harus berupa sesuatu yang dapat diketahui, setidaknya dalam beberapa aspek, karena ketidakjelasan akan mengurangi kemungkinan kerugian, dan tidak disyaratkan harus mengetahui secara detail dari berbagai aspeknya;
  3. muwakkal fih harus berupa sesuatu yang dapat diwakili (qabilan lin niyabah) oleh orang lain.
 

Aplikasi Akad Wakalah

Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa praktik akad wakalah sudah terjadi sejak dulu dan terus berlanjut hingga kini dan selamanya, sehingga penerapannya banyak ditemukan dalam beberapa situasi, terutama dalam konteks yang membutuhkan bantuan orang lain. Secara sederhana, wakalah adalah bentuk perwakilan dari muwakkil kepada wakil dengan menggunakan sighat wakalah atas objek yang bisa diwakili.
 

Dalam praktiknya, penerapan akad wakalah sering ditemukan dalam berbagai keadaan. Salah satunya adalah dalam transaksi jual beli properti. Pemilik rumah yang sibuk dan tidak dapat mengurus penjualan rumahnya bisa mewakilkan penjualannya kepada agen properti dengan menggunakan sighat wakalah, seperti “Aku mewakilkanmu untuk menjual rumahku”.
 

Dalam konteks ini, pemilik rumah disebut muwakkil, agen properti disebut wakil, ungkapan “Aku mewakilkanmu untuk menjual rumahku”, disebut sighat akad wakalah, sedangkan rumah tersebut disebut muwakkal fih.
 

Dalam penerapan yang lain juga bisa terjadi dalam konteks pernikahan. Dalam Islam, seorang wali memiliki hak untuk menikahkan anak gadisnya, namun jika ia berhalangan, ia boleh mewakilkan hak tersebut kepada orang yang dianggap sah untuk mewakilinya.
 

Tentu, penerapan akad ini tidak hanya terjadi dalam beberapa contoh yang telah disebutkan di atas. Akad wakalah bisa terjadi dalam konteks apa saja, dan hukumnya diperbolehkan dan sah secara syariat, sepanjang rukun-rukun dan syarat-syarat di atas terpenuhi semuanya.
 

Sebab itu, akad wakalah sangat penting untuk diketahui dan dipahami, agar dalam setiap perwakilan yang terjadi hukumnya benar-benar sah menurut syariat Islam. Wallahu a’lam bisshawab.
 

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, sekaligus alumnus Program Kepenulisan Turots Ilmiah Maroko.