Syariah

Ancaman bagi Penganut Jarkoni, ‘Bisa Ngajar Ora Bisa Nglakoni’

Kam, 25 Juni 2020 | 12:30 WIB

Ancaman bagi Penganut Jarkoni, ‘Bisa Ngajar Ora Bisa Nglakoni’

Tanggung jawab penyeru kebaikan adalah menerapkan pula apa yang ia serukan, minimal belajar

Jarkoni adalah akronim dalam Bahasa Jawa yang merupakan singkatan dari sebuah ungkapan, “Bisa ngajar ora bisa nglakoni.” Akronim ini merupakan sindiran atau bahkan cemoohan bagi mereka yang hanya pandai mengajarkan kebaikan dan melarang keburukan tetapi ia sendiri tidak mengamalkannya. Sindiran atau cemoohan itu ditujukan kepada siapa saja terutama para dai yang hanya pandai berbicara dengan merangkai kata-kata tetapi ia sendiri tak sanggup memberikan contoh nyata dalam kehidupan sehari-harinya.


Memang tak mudah menjadi dai/daiah. Jika perilaku mereka sesuai dengan apa yang diucapkannya, masyarakat menilai hal itu sebagai sesuatu yang wajar karena memang seharusnya mereka seperti itu. Tetapi apabila perilaku mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka sampaikan dalam dakwah-dakwahnya, masyarakat akan mencemooh mereka sebagai jarkoni. Bahkan dalam lingkungan keluarga sendiri, cemoohan sebagai jarkoni tak jarang terlontar dari istri/suami atau anak kepada para dai/daiah. Ini baru sanksi di dunia. 


Di akhirat, para pelaku jarkoni juga akan mendapatkan sanksi yang jauh lebih berat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan para pelaku jarkoni bahwa kelak mereka akan mendapat siksaan berat sebagaimana dikisahkan dalam hadits berikut ini: 


مررت ليلة أسري بي برجال تقرض شفاههم بمقاريض من نار فقلت من أنتم؟ فقالوا كنا نأمر بالخير ولا نأتيه وننهى عن الشر ونأتيه


Artinya: “Pada malam Isra’ kulihat sekelompok manusia yang bibir mereka dikoyak-koyakkan oleh gunting-gunting terbuat dari api.” Aku bertanya: “Siapa kalian?” Dan mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang menyerukan perbuatan kebaikan, tetapi kami sendiri tidak mengerjakannya dan juga melarang perbuatan kejahatan, tetapi kami sendiri mengerjakannya” (HR. Al-Bukhari). 


Jadi, para pelaku jarkoni diancam mendapatkan siksaan berat di akhirat di mana bibir-bibir mereka akan digunting dengan gunting yang amat panas hingga bibir-bibir itu koyak akibat mereka pandai berseru kepada orang lain untuk melakukan suatu amal kebaikan sementara mereka sendiri enggan melakukanya. Mereka juga pandai melarang kemaksiatan kepada orang lain sementara mereka sendiri melakukannya. Singkatnya mereka hanya beromong besar sementara tindakannya nol besar. 


Allah sendiri di dalam Al-Qur’an juga menggugat mereka yang hanya pandai berseru kepada kebaikan dan melarang suatu keburukan tetapi mereka sendiri abai terhadap apa yang mereka ucapkan sebagai berikut: 


يـاَيـُّهَا الَّذَيـْنَ امَنُوْا لِمَ تَـقُوْلُـوْنَ مَا لاَ تَـفْعَلُـوْنَ. كَـبُرَ مَقْتـًا عِنْدَ اللهِ اَنْ تَـقُوْلُـوْا مَا لاَ تَـفْعَلُـوْنَ


Artinya: " Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?, Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." (QS. As-Shaff : 2-3).


Jadi Allah sangat membenci kepada mereka yang hanya pandai berseru kepada kebaikan dan melarang suatu keburukan tetapi mereka sendiri melupakan kewajibannya untuk memberikan contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari. Ini artinya sikap jarkoni sangat dibenci baik oleh sesama manusia maupun oleh Allah subhanahu wata’ala karena tidak hanya menunjukkan kemunafikan tetapi juga tiadanya tanggung jawab kepada diri sendiri maupun masyarakat.  


Sehubungan dengan itu, Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitabnya berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudzâharah wal Muwâzarah (Dar Al-Hawi, 1994, hal.18) menjelaskan terkait dengan ancaman berat sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas sebagai berikut: 


وهذا الوعيد إنما يتحقق في حق من يدعو إلى الله على نية الدنيا، ويحث على الخير وهو مصر على تركه، ويحذر من الشر وهو مصر على فعله رياءً وسمعةً.


Artinya: “Ancaman keras seperti ini akan terlaksana atas siapa saja yang berdakwah dengan niat meraih keuntungan duniawi semata-mata; mendesak orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan ia sendiri terus-menerus meninggalkannya, serta memperingatkan orang lain dari akibat kejahatan sementara ia sendiri tak henti-hentinya mengerjakannya. Sikap seperti ini semata-mata berdasarkan keinginan untuk dipuji dan dikenal di mana-mana. 


Dalam kutipan tersebut Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad menjelaskan bahwa orang yang dimaksud dalam hadits di atas adalah mereka para dai (termasuk para penulis dengan konten dakwah-pen.) yang menyeru kepada kebaikan dan melarang perbuatan maksiat tetapi niat mereka bukan untuk berdakwah dengan mengajak masyarakat untuk bertakwa kepada Allah dengan memberikan keteladanan nyata di tengah-tengah masyarakat, melainkan demi meraih kepentingan duniawi seperti dipuji karena kepintaran dan keluasan ilmunya serta dikenal di mana-mana sebagai orang ‘alim. 


Kepentingan duniawi tentu saja macamnya sangat banyak tidak hanya seperti contoh di atas. Contoh lain adalah untuk mendapatkan kekayaan dengan mendapatkan honor yang besar. Atau untuk mendapatkan popularitas agar terpilih menduduki jabatan tertentu. Motif-motif duniawi seperti itu tidak boleh menghinggapi mereka yang bermaksud menyebarkan ilmunya tetapi dengan niat yang keliru, yakni bukan untuk dakwah dengan disertai keteladanan yang nyata melainkan untuk sesuatu yang bersifat sesaat atau fana. 


Selanjutnya Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad menjelaskan sebagai berikut:


فأما من يدعو إلى باب الله وهو مع ذلك يلوم نفسه وينهاها عن التقصير ويحثها على التشمير فالنجاة مرجوة له .وعلى كل حال فالذي يعلم ويعلم ولا يعمل أحسن حالاً وأرشد طريقة وأحمد عاقبة من الذي لا يعمل ولا يعلم.


Adapun seseorang yang berdakwah menuju Allah dan pada saat yang sama ia selalu mengecam dirinya sendiri, melarang berlalai-lalai di dalam melaksanakan perintah Allah, serta mendesaknya agar berdaya-upaya dalam ketaatan kepada-Nya, maka bagaimanapun juga, baginya harapan keselamatan. Bagaimanapun seseorang yang memiliki ilmu tapi belum beramal, keadaannya lebih baik, lebih terang jalannya dan lebih terpuji dibandingkan dengan orang yang sama sekali tidak beramal dan tidak berilmu.”  


Jadi dalam pandangan Sayyid Abdullah Al-Haddad, mereka yang belum bisa memberikan keteladanan sepenuhnya berupa amal nyata di tengah-tengah masyarakat tetapi senantiasa berusaha mengamalkannya sedikit demi sedikit sambil terus mengecam dirinya sendiri karena merasa belum bisa mengamalkan sepenuhnya apa yang mereka dakwahkan, orang-orang seperti itu sesungguhnya memiliki harapan mendapatkan keselamatan dari ancaman siksa kelak di akhirat. Orang-orang seperti ini tentu masih jauh lebih baik dibandingkan mereka yang berilmu tidak, dan beramal pun juga tidak sama sekali. 


Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.