Syariah

Cara Nabi Memperlakukan Penyandang Disabilitas

Ahad, 24 September 2023 | 17:24 WIB

Cara Nabi Memperlakukan Penyandang Disabilitas

Foto ilustrasi (NU Online/Freepik)

Penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama sehingga mengalami hambatan dan kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungan, dan menyebabkan keterbatasan dalam melaksanakan tugas atau kegiatan sehari-hari.


Di Indonesia sendiri, istilah yang biasa digunakan untuk penyandang disabilitas adalah “difabel”, yang mana merupakan akronim dari differently abled, atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan orang yang memiliki kemampuan berbeda. Istilah ini menunjukkan bahwa seseorang mungkin tidak dapat melakukan sesuatu secara normal, namun masih dapat melakukannya dengan cara yang berbeda. Istilah difabel muncul sebab adanya anggapan bahwa disability menunjukkan ketidakmampuan. Padahal mereka mampu melakukannya, namun dengan cara yang berbeda.


Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan secara proporsional tidak membedakan penyandang disabilitas dengan non-disabilitas. Biasanya, penyandang disabilitas identik dengan istilah dzawil âhât, dzawil ihtiyaj al-khashah atau dzawil a’dzâr: orang-orang yang mempunyai keterbatasan, berkebutuhan khusus, atau mempunyai uzur. Keputusan Muktamar NU Ke-30 tahun 1999 di Kediri menyatakan keberpihakan terhadap penyandang disabilitas dan melarang tindakan diskriminatif terhadap mereka.


Keberpihakan terhadap penyandang disabilitas ini juga disebutkan dalam Al-Quran surah An-Nur ayat 61:


لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ ... (النور: 61) 


Artinya, “Tidak ada halangan bagi tunanetra, tunadaksa, orang sakit, dan kalian semua untuk makan bersama dari rumah kalian, rumah bapak kalian atau rumah ibu kalian …” (Surat An-Nur ayat 61).


Kemudian bagaimana Nabi Muhammad saw memperlakukan penyandang disabilitas? Ada beberapa penyandang disabilitas di masa Nabi, di antaranya adalah Amr bin Al-Jamuh, ‘Itban bin Malik, ‘Abdullah bin Ummi Maktum, dan lain-lain. 


Mengenai ‘Itban bin Malik, diceritakan dalam sebuah hadits riwayat Imam al-Bukhari bahwa dirinya selalu menjadi imam shalat untuk kaumnya. Hal ini menandakan bahwa Nabi tidak melarang penyandang disabilitas untuk memegang peranan penting dalam shalat berjamaah, yaitu menjadi imam shalat. Hadits mengenai riwayat tersebut adalah:


أنَّ عِتْبَانَ بنَ مَالِكٍ، كانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ وهو أعْمَى، وأنَّهُ قَالَ لِرَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: يا رَسولَ اللَّهِ، إنَّهَا تَكُونُ الظُّلْمَةُ والسَّيْلُ، وأَنَا رَجُلٌ ضَرِيرُ البَصَرِ، فَصَلِّ يا رَسولَ اللَّهِ في بَيْتي مَكَانًا أتَّخِذُهُ مُصَلَّى، فَجَاءَهُ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَقَالَ: أيْنَ تُحِبُّ أنْ أُصَلِّيَ؟ فأشَارَ إلى مَكَانٍ مِنَ البَيْتِ، فَصَلَّى فيه رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ


Artinya, “Bahwa 'Itban bin Malik menjadi imam shalat bagi kaumnya. Pada suatu hari dia berkata kepada Rasulullah saw., ‘Wahai Rasulullah, sering terjadi malam yang gelap gulita dan jalanan becek sedangkan aku orang yang sudah lemah penglihatan. Untuk itu aku mohon shalatlah Tuan pada suatu tempat di rumahku yang akan aku jadikan tempat shalat.’ Maka Rasulullah Saw. mendatanginya di rumahnya. Beliau lalu berkata: ‘Mana tempat yang kau sukai untuk aku shalat padanya.’ Maka dia menunjuk suatu tempat di rumahnya, Rasulullah saw. kemudian shalat pada tempat tersebut.” (HR al-Bukhari).


Dalam hadits di atas juga kita mendapatkan bahwa ‘Itban merupakan seorang yang tekun dalam berjamaah, sehingga berat baginya untuk meninggalkan shalat berjamaah. Pada suatu hari, ketika jalanan becek dan dirinya sulit untuk ke masjid, ‘Itban meminta kepada Nabi untuk hadir di rumahnya dan shalat. Kecintaan ‘Itban kepada Nabi meyakinkan dirinya bahwa tempat yang dishalati oleh Nabi akan membawa keberkahan. Nabi pun menghadiri undangan tersebut dan shalat di rumah ‘Itban.


Dari riwayat di atas dapat kita simpulkan bahwa Nabi Muhammad saw tidak membedakan penyandang disabilitas dengan orang-orang lainnya. Kesimpulan tersebut diperkuat dengan riwayat dari Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya:


عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ يَؤُمُّ النَّاسَ وَهُوَ أَعْمَى


Artinya, “Dari Anas, bahwasanya Nabi saw pernah menyuruh Ibnu Ummi Maktum menggantikan beliau untuk mengimami manusia sedangkan dia adalah orang yang tunanetra.” (HR Abu Dawud).


Dalam hadits di atas, Nabi bahkan memilih Ibnu Ummi Maktum untuk menggantikan beliau menjadi imam di Madinah. Ini tandanya adalah Nabi tidak membedakan Ibnu Ummi Maktum dengan siapa pun, meski dirinya adalah penyandang disabilitas. Selama orang tersebut memiliki kriteria untuk menjadi imam, maka ia berhak untuk mengimami kaumnya. Sabda Nabi, “Orang yang mengimami shalat suatu kaum adalah yang paling baik bacaan Al-Qurannya.


Di sisi lain, beberapa ulama memandang imam shalat yang dipimpin tunanetra lebih khusyuk dan lebih utama dibanding orang yang bisa melihat, sebabnya adalah karena orang yang bisa melihat bisa saja shalatnya tidak khusyuk sebab pikirannya dipenuhi oleh rekaman penglihatannya. Al-Wallawi menyebutkan dalam Dzahirah al-‘Uqba fi syarh al-Mujtaba:


ونقل العلامة الشوكاني رحمه الله أنه قد صرح أبو إسحاق المروزي، والغزالي بأن إمامة الأعمى أفضل من إمامة البصير؛ لأنه أكثر خشوعاً من البصير، لما في البصير من شغل القلب بالمبصرات


Artinya, “Al-Shawkani rahimahullah menukil, bahwa Abu Ishaq al-Marwazi dan al-Ghazali berpendapat imam tunanetra lebih baik daripada imam dari orang yang melihat. Karena orang yang tunanetra lebih lebih khusyuk daripada orang yang dapat melihat, sebab hatinya sibuk dengan hal-hal yang kasat mata.” (Al-Wallawi, Dzahirah al-‘Uqba fi syarh al-Mujtaba, [Dar el-Mi’raj, 1996], jilid 10, hal. 46).


Kemudian, dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ


Artinya, ”Dari Abu Hurairah dia berkata; ‘Seorang tuna netra pernah menemui Nabi Saw. dan berujar ‘Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid.’ Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk shalat di rumah. Ketika sahabat itu berpaling, beliau kembali bertanya: ‘Apakah engkau mendengar panggilan shalat (adzan)?’ laki-laki itu menjawab; ‘Benar.’ Beliau bersabda, ‘Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat).’” (HR Muslim).


Dari hadits di atas, Nabi Muhammad saw meminta Ibnu Ummi Maktum untuk tetap mengikuti shalat jamaah, walaupun kondisinya tidak bisa melihat. Di sini, Nabi tidak membedakan perintah shalat jamaah kepada siapa pun, bahkan kepada orang tunanetra. Nabi Muhammad saw sangat menjunjung kesetaraan. Tindakan diskriminasi dan pembedaan yang berujung kepada pembedaan hak yang didapat oleh penyandang disabilitas pantang beliau lakukan. Wallahu a’lam.


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences