Syariah

Cara Rasulullah Didik Putra-Putrinya untuk Tidak Bangga Nasab

Kam, 16 Mei 2024 | 19:00 WIB

Cara Rasulullah Didik Putra-Putrinya untuk Tidak Bangga Nasab

Rasulullah dan nasab. (Foto: NU ONline/Freepik)

Rasulullah merupakan teladan abadi. Semua tingkah laku, perbuatan dan ucapannya menjadi contoh yang harus diteladani. Ia merupakan insan sempurna yang tidak memiliki kekurangan sama sekali. Karenanya, tidak heran jika Allah swt menjadikannya sebagai nabi terbaik dari yang lainnya, makhluk termulia melebihi para malaikat-Nya.


Salah satu contoh yang harus dipetik oleh setiap orang saat ini dari Rasulullah adalah adalah bagaimana ia mengajarkan putra-putrinya untuk tidak bangga dengan nasab keturunannya. Ia tidak pernah mengajarkan putra-putrinya untuk bangga dan sombong karena sudah terlahir menjadi anaknya. Bahkan ia murka andaikan ada dari salah satu keturunannya yang membanggakan diri karena sudah menjadi keturunannya.


Hal ini bisa kita lihat bersama, bagaimana Rasulullah mendidik keluarganya untuk tidak bangga dengan tingginya nasab. Bahkan Rasulullah juga memperingati Sayyidah Fatimah untuk tidak bangga sekalipun terlahir sebagai putrinya. Hal itu tidak lain selain untuk menunjukkan bahwa garis keturunan sama sekali tidak memiliki nilai apa-apa di sisi Allah swt, yang bisa menyelamatkan seseorang hanyalah amal ibadah dan ketakwaan.


Pelajaran di atas bisa kita lihat dalam salah satu hadits yang berasal dari Sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda:


يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا


Artinya: “Wahai golongan orang Quraisy! Peliharalah diri kalian karena aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Bani Abdi Manaf! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Abbas bin Abdul Muthalib! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Fatimah putri Muhammad! Mintalah kepadaku apa saja yang kamu mau (dari hartaku), sungguh aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah.” (HR Bukhari dalam Sunan al-Kubra).


Syekh Badruddin al-Aini dalam Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari menjelaskan bahwa ketika Rasulullah hendak memberikan nasihat kepada keluarganya, ia memanggil semuanya lengkap dengan nasab mereka satu persatu sebagaimana hadits di atas. Hal itu untuk menunjukkan bahwa nasab atau keturunan Rasulullah sekalipun jika tidak berlandaskan iman dan takwa, maka tidak akan memiliki nilai dan jaminan apa-apa di hadapan Allah swt kelak di hari kiamat. Karena itu, Rasulullah mengajarkan keluarga-keluarganya untuk tidak mengandalkan keturunan, namun lebih pada amal ibadah.


Dalam riwayat yang lain, Rasulullah juga dengan tegas melarang orang-orang untuk tidak membanggakan nasab keturunan, bahkan orang yang biasa melakukan hal itu akan menjadi manusia yang sangat hina. Rasulullah saw bersabda:


لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَام يَفْتَخِرُونَ بِآبَائِهِمْ الَّذِينَ مَاتُوا إِنَّمَا هُمْ فَحْم جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونَنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّه مِنْ الْجُعَلِ الَّذِي يُدَهْدِهُ الْخِرَاءُ بِأَنْفِهِ


Artinya: “Hendaklah mereka segera berhenti dari membangga-banggakan nenek-moyang mereka yang telah wafat. Mereka itu hanyalah arang neraka jahanam, atau mereka lebih hina di sisi Allah dari hewan yang mendorong kotoran dengan hidungnya.” (HR at-Tirmidzi, dan bernilai hadits Hasan dalam Jami’ul Kabir).


Dengan demikian, maka tentu membanggakan keturunan sama sekali bukanlah contoh meneladani akhlak Rasulullah yang sangat anti dengan kepopuleran nasab. Ia merupakan tipikal manusia yang memandang semua manusia sama saja, tidak ada yang lebih mulia dan lebih sempurna hanya dengan bermodalkan keturunan.


Bagi Rasulullah, kemuliaan sejati hanyalah dengan ketakwaan dan ketaatan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam satu haditsnya, yaitu:


أَيُّهَا النَّاسُ! أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، أَلاَ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ وَلاَ أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى


Artinya: “Wahai manusia! Ketahuilah bahwa Tuhan kalian adalah satu, dan bahwa nenek moyang kalian adalah satu. Ingatlah bahwa tidak ada keunggulan bagi seorang Arab atas non-Arab, atau sebaliknya, dan tidak ada keunggulan bagi orang yang berkulit putih atas kulit hitam, atau sebaliknya, kecuali dengan ketakwaan.” (HR Ahmad dalam Jami’ul Hadits).


Beberapa penjelasan di atas memberikan pelajaran bagi kita bahwa nasab keturunan memang benar-benar tidak layak untuk dibanggakan. Bahkan orang seperti Rasulullah sekali pun memberikan peringatan kepada keluarganya, terkhusus kepada putrinya Sayyidah Fatimah, bahwa menjadi putri atau putra siapa saja tidak menjamin keselamatan baginya, termasuk keturunan para nabi.


Oleh karena itu, salah satu nasihat penting yang disampaikan oleh Sayyid Abdullah al-Haddad dalam kitab an-Nashaihud Diniyah adalah bahwa membanggakan keturunan termasuk dari perbuatan-perbuatan yang tercela, dan itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang agama Islam. Dalam kitabnya ia mengatakan:


وَمِنْهَا تَزْكِيَةُ النَّفْسِ وَالثَّنَاءُ عَلَيْهَا وَالْفَخْرُ بْالْأَبَاءِ مِنْ أَهْلِ الدِّيْنِ وَالْفَضْلِ وَالتَّبَجُّجِ بِالنَّسَبِ وَذَلِكَ مَذْمُوْمٌ وَمُسْتَقْبَحٌ جِدًّا وَقَدْ يبْتَلىَ بِهِ بَعْضُ أَوْلاَدِ الْأَخْيَارِ مِمَّنْ لاَبَصِيْرَةَ لَهُ وَلَا مَعْرِفَةَ بِحَقَائِقِ الدِّينِ


Artinya: “Termasuk dari sifat sombong adalah menganggap dirinya suci, menyombongkan diri karena menjadi keturunan orang-orang saleh dan mulia, membanggakan diri dengan keturunan. Hal-hal tersebut termasuk akhlak yang tercela, dan sangat jelek sekali. Sungguh hal itu terkadang menimpa sebagian keturunan orang-orang yang terpandang, yang mana mereka tidak memiliki pandangan batin dan tidak mengetahui hakikat ajaran Islam.” (Sayyid Abdullah al-Haddad, An-Nashaihud Diniyah wal Washayal Imaniyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], halaman 189).


Lebih lanjut, Sayyid Abdullah al-Haddad juga menegaskan bahwa orang-orang yang menyombongkan diri karena keturunan atau karena leluhurnya, maka mereka tidak akan mendapatkan keberkahan dari mereka. Sebab bagaimana pun, keberkahan dan kemuliaan para leluhur bisa terus mengalir kepada keturunannya jika mereka bisa meneladani semua yang dilakukan oleh para leluhurnya, mulai dari ibadah dan amal saleh, serta tidak sombong dengan kualitasnya.


Selain itu, Al-Qur’an juga dengan tegas memberikan peringatan kepada semua umat Islam bahwa derajat dan kemuliaan tidak diukur dengan keturunan, nasab, ras maupun bangsa, namun ketakwaan. Hal ini sebagaimana tertulis dalam surat Al-Hujurat ayat 13. Ayat ini juga menjadi penegas larangan membanggakan keturunan. Ahmad bin Musthafa al-Farran dalam Tafsirul Imami asy-Syafi’i, mengatakan:


إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ: أي اِنَّ أَرْفَعَكُمْ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ، وَفِي هَذِهِ الْأَيَةِ نَهْيٌ عَنِ التَّفَاخُرِ بِالنَّسَبِ


Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa (QS Al-Hujurat, [49]: 13). Maksudnya, bahwa yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah adalah yang paling bertakwa dari kalian. Dan dalam ayat ini juga merupakan larangan untuk berbangga-bangga dengan keturunan.” (Ahmad bin Musthafa al-Farran, Tafsirul Imami asy-Syafi’i, [Dar at-Tadmuriyah: tt], juz III, halaman 1281).


Kesimpulan

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah saw merupakan potret teladan dalam mendidik putra-putri dan keluarganya untuk tidak pernah mengandalkan keturunan. Karena baginya, keturunan tidak memiliki nilai apa-apa di hadapan Allah swt jika tidak disertai dengan ketakwaan. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita sebagai umatnya mencontoh teladan seperti ini, yaitu dengan cara tidak membanggakan keturunan.


Selain itu, membanggakan diri dengan nasab juga awal petaka bagi setiap manusia. Karena dengannya, setiap orang akan merasa bahwa dirinya lebih mulia dan lebih hebat dari orang lain dan menganggap bahwa orang lain lebih rendah dari dirinya. Padahal, anggapan-anggapan seperti ini sama sekali tidak mencerminkan akhlak yang baik dan sopan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.