Syariah

Fenomena Kidsfluencer dalam Kajian Fiqih

Senin, 6 Januari 2025 | 11:00 WIB

Fenomena Kidsfluencer dalam Kajian Fiqih

Kidsfluencer dalam kajian fiqih (freepik).

Di era digital yang semakin canggih, media sosial telah merajalela menjadi ruang ekspresi bagi berbagai kalangan, tak terkecuali anak-anak. Fenomena baru muncul dengan istilah 'kidsfluencer'.
 

Istilah ini merujuk pada anak-anak yang berperan sebagai influencer di media sosial. Kehadiran beberapa nama seperti Rafathar, Abe 'Cekut', Cipung, dan Shabira Alula atau Lala, telah menjadi konsumsi publik. Mereka dengan lincahnya bermain, bercanda, dan melakukan berbagai aktivitas yang menggemaskan.
 

Selayaknya influencer dewasa, anak-anak ini pun terlibat mempromosikan berbagai merek dan produk perusahaan lewat unggahan mereka atau unggahan akun atas nama mereka yang dikelola oleh orang tua/walinya.
 

Sebagai imbalannya, kidfluencer bisa mendapatkan bayaran, endorsement atau barang-barang gratis, terlibat dalam kampanye iklan, dan bahkan mendapatkan penghasilan dari penjualan produk yang mereka promosikan. Namun, dibalik berbagai tingkah menggemaskannya, berbagai pakar mengkhawatirkan akan adanya eksploitasi yang merenggut masa kanak-kanak beberapa kidsfluencer tersebut.
 

Fenomena kidsfluencer menjadi salah satu isu yang dibahas dalam Forum Musyawarah Pondok Pesantren se-Jawa Madura (FMPP) ke-42 yang berlangsung di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang pada 7-8 Desember 2024 M. Menanggapi fenomena ‘kidsfluencer’ ini, bahtsul masail memutuskan:
 

“Mengarahkan anak sebagai kidsfluencer dengan berorientasi pada kemaslahatan anak hukumnya diperbolehkan, selama memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. Tidak berisiko mengurangi martabat anak (laiq bih);
  2. Mempertimbangkan kemampuan anak (ithaqah);
  3. Menghindari eksploitasi terhadap anak;
  4. Konten tidak mengandung unsur negatif.”

Hukum Mengarahkan Anak Menjadi Kidsfluencer

Pada dasarnya kebutuhan anak kecil yang belum mampu bekerja menjadi tanggung jawab kedua orang tua atau walinya. Dari kerangka inilah, tidak ada tanggungan bagi diri anak kecil untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
 

Pertanyaan selanjutnya, jika ia mampu menghasilkan income, apakah boleh bagi orang tuanya mengarahkannya untuk ‘bekerja’?
 

Secara fiqih jawabannya adalah boleh. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menyampaikan:
 

(وَلَا تَجِبُ الْمُؤَنُ (لِمَالِكِ كِفَايَتِهِ وَلَا) لِشَخْصٍ (مُكْتَسِبِهَا) لِاسْتِغْنَائِهِ ... (وَتَجِبُ لِفَقِيرٍ غَيْرِ مُكْتَسِبٍ إنْ كَانَ زَمِنًا) ، أَوْ أَعْمَى، أَوْ مَرِيضًا (أَوْ صَغِيرًا أَوْ مَجْنُونًا) لِعَجْزِهِ عَنْ كِفَايَةِ نَفْسِهِ، وَمِنْ ثَمَّ لَوْ أَطَاقَ صَغِيرٌ الْكَسْبَ، أَوْ تَعَلَّمَهُ، وَلَاقَ بِهِ جَازَ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَحْمِلَهُ عَلَيْهِ وَيُنْفِقَ عَلَيْهِ مِنْهُ فَإِنْ امْتَنَعَ، أَوْ هَرَبَ لَزِمَ الْوَلِيَّ إنْفَاقُهُ
 

Artinya, “Tidak wajib memenuhi kebutuhan bagi orang yang sudah tercukupi atau dia mampu mengusahakannya sendiri … Pemenuhan kebutuhan merupakan kewajiban bagi orang fakir yang tidak mampu bekerja sebab lumpuh, buta, atau sakit. Begitu juga wajib bagi anak kecil dan orang gila sebab mereka tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
 

Dari ketentuan ini, boleh bagi wali untuk mengarahkan anak kecil bekerja atau belajar bekerja jika ia mampu dan pekerjaan itu layak baginya, kemudian menafkahinya dari hasil pekerjaannya sendiri. Namun, jika ia tidak mau, maka wali wajib menafkahinya” (Tuhfatul Muḥtāj dalam Ḥawāshī Sharwānī wal ‘Abbādī, VIII/347).
 

Dengan penjelasan ini dapat disimpulkan, pada dasarnya mengarahkan anak menjadi ‘kidsfluencer’ adalah boleh-boleh saja. Bahkan, pada taraf tertentu jika dia mempunyai bakat dan kemauan untuk menjadi konten kreator di masa depan; atau terdapat kemaslahatan finansial bagi anak di masa depan dari hasil menjadi kidsfluencer, maka orang tua dianjurkan untuk mengarahkannya pada hal tersebut. Sebab yang demikian lebih maslahat bagi dirinya.
 

Hal demikian sesuai dengan prinsip perintah dari orang tua yang harus mengacu pada kemaslahatan anak. Syekh Jamaluddin Muhammad bin Abdurrahman Al-Ahdal menyatakan:
 

الإِسْتِخْدَامُ وَتَرْكُهُ دَائِرٌ مَعَ المَصْلَحَةِ
 

Artinya, “Menyuruh anak melakukan suatu hal atau meninggalkannya, haruslah beroirentasi pada kemaslahatan.” ('Umdatul Mufti wa Mustafti, I/373).
 

Harus Menghindari Eksploitasi Anak

Namun perlu digarisbawahi, kebolehan ini tidak berlaku secara mutlak, melainkan disertai dengan ketentuan-ketentuan.
 

Berdasarkan pemaparan Ibnu Hajar di atas, kebolehan mengarahkan anak untuk bekerja harus memenuhi dua syarat utama, yakni pekerjaan tersebut harus layak dan sesuai dengan kemampuan anak. Selain itu, sebagaimana dijelaskan pada bagian akhir referensi, pekerjaan tersebut juga harus dilakukan atas dasar kerelaan anak.
 

Ketentuan lainnya yang tidak kalah penting adalah bahwa konten yang dihasilkan tidak boleh mengandung unsur negatif, seperti ujaran kasar atau hal-hal yang tidak pantas.
 

Orang tua yang memiliki anak sebagai kidsfluencer harus sangat berhati-hati agar tidak mengeksploitasi anak dalam pekerjaannya.
 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), eksploitasi diartikan sebagai "pemanfaatan untuk keuntungan pribadi." Eksploitasi dapat terjadi apabila orang tua memaksakan anak untuk membuat konten tanpa mempertimbangkan kerelaan sang anak. Karena itu, sebagaimana syarat yang telah disebutkan, pekerjaan ini harus dilakukan dengan persetujuan dan kerelaan anak.
 

Selain itu, orang tua juga harus memastikan bahwa hak-hak anak, seperti hak atas pendidikan, kesehatan, istirahat, dan waktu bermain, tetap terpenuhi. Jangan sampai anak dipaksa membuat konten secara berlebihan hingga hak-haknya terabaikan.
 

Hal ini penting karena pengabaian terhadap hak-hak tersebut dapat memberikan dampak buruk bagi perkembangan anak. Dalam hal ini, Ḥujjatul Islam Al-Ghazali menyatakan: 
 

وَيَنْبَغِي أَنْ يُؤْذَنَ لَهُ بَعْدَ الِانْصِرَافِ مِنِ الْكُتَّابِ أَنْ يَلْعَبَ لَعِبًا جَمِيلًا يَسْتَرِيحُ إِلَيْهِ مِنْ تَعَبِ الْمَكْتَبِ، فَإِنَّ مَنْعَ الصَّبِيِّ مِنَ اللَّعِبِ وَإِرْهَاقَهُ إِلَى التَّعَلُّمِ دَائِمًا يُمِيتُ قَلْبَهُ، وَيُبْطِلُ ذَكَاءَهُ، وَيُنَغِّصُ عَلَيْهِ الْعَيْشَ
 

Artinya, “Sebaiknya, orang tua memberikan izin bagi anak setelah belajar untuk bermain dengan permainan yang positif guna melepas penat setelah belajar. Sebab, melarangnya untuk bermain dan memforsirnya untuk terus belajar akan berakibat negatif pada psikisnya, merusak kecerdasannya, dan menyebabkan trauma.” (Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūmid Dīn, III/73).
 

Orang tua yang mengarahkan anaknya menjadi kidsfluencer harus bijak dan bertanggung jawab, memastikan hak-hak anak terjaga dan terhindar dari eksploitasi. Jangan sampai hanya demi keuntungan atau ketenaran sementara, masa depan dan kebahagiaan anak dikorbankan. Bimbingan yang seimbang akan membantu anak tumbuh optimal secara fisik, mental, dan spiritual. Wallahua’lam bis shawwab.
 

 

Ustad M Bagus Fatichurridlo, Aktivis Bahtsul Masail di Nganjuk dan Kediri.