Syariah

Hukum Daging Ayam yang Digoreng dengan Minyak Babi

NU Online  ·  Kamis, 29 Mei 2025 | 07:00 WIB

Hukum Daging Ayam yang Digoreng dengan Minyak Babi

Ilustrasi ayam goreng. (Foto: NU Online/Freepik)

Belum lama ini, media sosial diramaikan dengan keluhan pelanggan Muslim yang merasa tertipu saat menyantap makanan di sebuah warung ayam goreng legendaris di Solo. Mereka mengira bahwa makanan yang disajikan halal, namun kemudian diketahui bahwa ayam yang dihidangkan dimasak menggunakan bahan atau media yang mengandung unsur najis, yaitu minyak babi.

 

Atas kegaduhan tersebut, pihak restoran kemudian meminta maaf dan mengaku telah membuat masyarakat resah. Sekarang mereka telah mencantumkan keterangan non-halal di seluruh outlet dan media sosialnya.

 

Dalam fiqih Islam, daging ayam yang diolah dan dimasak dengan menggunakan bahan-bahan yang najis seperti minyak babi, hukumnya haram untuk dikonsumsi, karena daging tersebut telah menjadi najis (mutanajjis).

 

Daging binatang dapat dihukumi halal apabila memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut: Pertama, dari jenis binatang yang halal dimakan. Kedua, disembelih dengan cara yang sah menurut syara’. Ketiga, diproses dengan bahan-bahan yang suci dan halal.

 

1. Binatang yang Halal

Syekh Zakariya Al-Anshari menjelaskan, di antara binatang yang halal dimakan adalah binatang yang dianggap enak oleh orang Arab. Ia menjelaskan bahwa halal hukumnya, jenis unggas yang berbentuk seperti burung pipit, termasuk diantaranya adalah ayam. (Asnal Mathalib, juz VII, halaman 162)

 

Kehalalan daging ayam merupakan hal yang telah disepakati oleh murid-murid imam Syafi’i, sebagaimana disampaikan oleh imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu Syarhul Muhazzab, juz IX, halaman 21.

 

2. Disembelih dengan Cara Sah

Syekh Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli mengatakan, hewan darat yang halal dimakan harus disembelih pada bagian tenggorokan (halq) atau bagian bawah leher (labbah) agar sah dan halal dimakan. Penyembelihan ini wajib dilakukan jika seseorang mampu menguasai hewan tersebut. (Kanzur Raghibin Hamisy Hasyiyata Qalyubi wa ‘Umayrah, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2015] juz IV,  halaman 364)

 

Syekh Zakariya Al-Anshari menjelaskan, hewan darat yang halal dimakan, jika masih bisa dikuasai, maka tidak halal dimakan kecuali disembelih secara sempurna, dengan memotong seluruh saluran pernafasan dan saluran makanan, saat hewan masih hidup dengan stabil.

 

وَلَا يَحِلُّ حَيَوَانٌ مَأْكُولٌ مَقْدُورٌ عَلَيْهِ غَيْرَ السَّمَكِ وَالْجَرَادِ … إِلَّا بِالتَّذْفِيفِ بِقَطْعِ جَمِيعِ الْحُلْقُومِ وَالْمَرِيءِ حَالَةَ كَوْنِ الْقَطْعِ مَحْضًا وَالْحَيَاةِ مُسْتَقِرَّةٌ لَا بِعَظْمٍ وَظُفُرٍ

 

Artinya "Tidak halal hewan yang dapat dimakan yang dapat dikuasai kecuali ikan dan belalang… kecuali dengan penyembelihan yang sempurna, yaitu dengan memotong seluruh saluran napas dan saluran makanan, dalam keadaan pemotongan tersebut murni, dan kehidupan hewan masih stabil, tidak dengan (alat dari) tulang atau kuku." (Asnal Maṭalib fī Sharḥ Rauḍut Ṭhalib, juz VI, halaman 485)

 

Adapun orang yang sah sembelihannya, adalah sebagaimana berikut:

 
  1. Seorang Muslim yang telah baligh, yakni mencapai usia dewasa secara syar’i.
  2. Anak kecil yang sudah mumayyiz dan mampu menyembelih, menurut pendapat yang shahih (qawl shahih).
  3. Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), dengan syarat mereka masih tergolong yang halal dinikahi. Namun, sebagaimana ditegaskan dalam kitab Al-Majmu’, ahli kitab yang murni sudah tidak ada saat ini. Maka sembelihan mereka pun haram. (Abu Syuja’, Matan Abi Syuja’ Hamisy Qutil Habibil Gharib,[Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2014] halaman 511)
 

3. Diproses dengan Bahan Suci dan Halal

Dalam fiqih Syafi'iyah, makanan yang terkena najis, seperti dimasak dengan air najis atau tercampur zat najis lainnya, dihukumi najis pula, sehingga haram untuk dikonsumsi. Namun, ada perincian mengenai status kenajisan dan cara menyucikannya.

 

Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan, haram hukumnya mengonsumsi sesuatu yang terkena najis (mutanajjis), baik berupa benda cair maupun benda padat.

 

وَحَرُمَ مُتَنَجِّسٌ ) أَيْ تَنَاوُلُهُ مَائِعًا كَانَ أَوْ جَامِدًا لِخَبَرِ الْفَأْرَةِ السَّابِقِ فِي بَابِ النَّجَاسَةِ

 

Artinya “(haram barang yang terkena najis) artinya haram mengonsumsinya, baik berupa benda cair ataupun benda padat, karena ada hadits tentang tikus yang telah dijelaskan pada bab najasah.” (Fathul Wahhab, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2017] juz II, halaman 335)

 

Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa daging yang dimasak menggunakan air yang najis maka bagian luar dan dalamnya menjadi najis.

 

وَلَوْ طُبِخَ لَحْمٌ بِمَاءٍ نَجِسٍ صَارَ بَاطِنُهُ وَظَاهِرُهُ نَجِسًا

 

Artinya "Jika daging dimasak dengan air najis, maka bagian dalam dan luarnya menjadi najis." (Al-Majmu’, [Jeddah: Maktabah Al-Irsyad, t.t.] juz II, halaman 621)

 

Dari beberapa keterangan di atas memberikan panduan yang jelas bahwa makanan daging dapat menjadi halal apabila berasal dari jenis binatang yang halal, disembelih dengan cara yang sah, dan dimasak dengan bahan yang suci dan halal.

 

Oleh karena itu, makanan yang dalam proses pembuatannya dimasak dengan bahan najis, seperti minyak babi, maka hukumnya menjadi najis dan haram untuk dikonsumsi.

 

Kejadian ini merupakan pelajaran penting bagi umat Islam untuk lebih kritis dan berhati-hati dalam memilih makanan, dan bagi para pelaku usaha agar lebih amanah dan jujur dalam usahanya. wallahu a’lam.

 

Muhammad Zainul Millah, Wakil Katib PCNU Kab. Blitar.