Syariah

Hukum Merayakan Isra Mi'raj 

Kam, 16 Februari 2023 | 14:00 WIB

Hukum Merayakan Isra Mi'raj 

Isra dan Mi'raj (Ilustrasi: NU Online)

Semua perjalanan Nabi Muhammad memiliki kisah yang luar biasa untuk terus dikenang dan diteladani. Tidak hanya perihal keikhlasannya dalam berdakwah, namun juga kesabaran dalam berjuang menyebarkan Islam. Oleh karena itu, tidak heran jika umat Islam tak henti-hentinya merayakan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada nabi, seperti Isra Mi’raj, maulid, dan lainnya.


Dalam kesempatan ini, penulis akan membahas perihal hukum merayakan Isra Mi’raj Nabi Muhammad, sebagaimana lumrah dirayakan oleh umat Islam di belahan dunia. Hal ini sangat penting untuk dibahas, untuk memberikan edukasi kepada umat Islam perihal hukum perayaan tersebut.


Isra Mi’raj adalah dua peristiwa luar biasa dalam Islam, di mana Allah swt memperjalankan Nabi Muhammd dari Masjidilharam Makkah, menuju Masjidil Aqsha Paletina, kemudian nabi pergi melintasi lapisan-lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak dapat dijangkau pengetahuan malaikat, manusia, maupun jin, dengan mengendarai Buraq. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:


سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ


Artinya, “Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS Al-Isra’ [17]: 1).


Hukum Merayakan Isra Mi’raj

Peristiwa bersejarah ini lumrah dirayakan oleh umat Islam, khususnya di Indonesia dengan beragam kegiatan dan motif yang berbeda-beda, seperti pengajian umum, zikir, shalawat, doa, kumpul-kumpul, makan-makan dan lainnya. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum perayaan tersebut?


Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Makki al-Hasani membahas satu bab khusus perihal hukum merayakan hari-hari besar dalam Islam, seperti maulid nabi, Isra Mi’raj, malam Nishfu Sya’ban, hijrahnya nabi, dan lainnya.


جَرَتْ العَادَةُ أَنْ نَجْتَمِعَ لِاِحْيَاءِ جُمْلَةٍ مِنَ الْمُنَاسَبَاتِ التَّارِيْخِيَّةِ كَالْمَوْلِدِ وَذِكْرَى الْاِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ، وَفِي اعْتِبَارِنَا أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ عَادِيٌ لَا صِلَةَ لَهُ بِالتَّشْرِيْعِ الْحُكْمِي، فَلَا يُوْصَفُ بِأَنَّهُ مَشْرُوْعٌ أَوْسُنَّةٌ، كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُعَارِضًا لِأَصْلٍ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ


Artinya, “Telah berlaku suatu tradisi, yaitu berkumpul untuk mengenang beberapa peristiwa bersejarah, seperti maulid, memperingati isra mi’raj. Dalam anggapan kami, semua ini adalah murni tradisi yang tidak memiliki hubungan dengan hukum syariat, sehingga tidak bisa dianggap anjuran atau sunnah, sebagaimana ia tidak bertentangan dengan pokok dan beberapa pokok agama Islam.” (Sayyid Muhammad, al-Anwaru al-Bahiyyah min Isra wa Mikraji Khairil Bariyyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], halaman 83).


Lebih lanjut, Sayyid Muhammad menegaskan bahwa perayaan itu tidak bisa dianggap terpuji, juga tidak bisa dianggap tercela. Orang yang melakukannya tidak mendapatkan apa-apa. Hanya saja, jika semua itu dilakukan dalam rangka untuk berzikir, membaca shalawat, melakukan kebajikan, atau sekadar manifestasi cinta kepada nabi, maka ini cukup menjadi alasan untuk mendapatkan rahmat dari Allah dan anugerah dari-Nya,


اِنَّ مُجَرَّدَ اجْتِمَاعِهِمْ هَذَا عَلَى ذِكْرِ الله وَمَحَبَّةِ رَسُوْلِ اللهِ كَافٍ فِي اسْتِجْلَابِ رَحْمَةِ اللهِ وَفَضْلِهِ


Artinya,“Sungguh sekadar berkumpulnya manusia dalam hal ini (merayakan Isra Miraj) dengan berdzikir, dan cinta kepada Rasululah, sudah cukup dijadikan alasan untuk bisa mendapatkan rahmat Allah dan anugerah dari-Nya.” (Sayyid Muhammad: 84).


Selain itu, Sayyid Muhammad menyatakan bahwa jika motif dan tujuan dalam merayakan Isra Mi’raj adalah murni karena Allah semata, maka semua itu akan menjadi perbuatan ibadah yang diterima oleh-Nya,


اِنِّي أَعْتَقِدُ أَنَّ اجْتِمَاعَ هَؤُلَاءِ النَّاسِ مَا دَامَ لِلهِ فَاِنَّهُ مَقْبُوْلٌ عِنْدَ اللهِ


Artinya, “Saya berkeyakinan, bahwa perkumpulan manusia (untuk merayakan Isra Miraj) selama (tujuannya) karena Allah, maka perbuatan itu akan diterima oleh Allah (berpahala).” (Sayyid Muhammad: 84).


Berbeda dengan pendapat Sayyid Muhammad di atas, Syekh Syauqi Ibrahim Allam, salah satu mufti besar Mesir. Ia pernah ditanya perihal hukum merayakan Isra Mi’raj pada tanggal 27 Rajab, sebagaimana lumrah terjadi di belahan dunia. Kemudian ia menjawab bahwa perayaan tersebut hukumnya sunnah,


اِحْيَاءُ لَيْلَةِ ذِكْرَى الْاِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ بِالْقُرْبَاتِ الْمُخْتَلِفَةِ هُوَ مَرْغُوْبٌ فِيْهِ شَرْعًا، وَفِيْهِ تَعْظِيْمٌ تَكْرِيْمٌ لِلنَّبِي


Artinya, “Menghidupkan malam dalam rangka memperingati isra mi’raj dengan perbuatan ibadah yang bermacam-macam adalah dianjurkan secara syariat, di dalamnya terdapat bentuk mengagungkan dan memuliakan pada nabi.” (Syekh Dr. Syauki, Darul Ifta al-Mishriyah, nomor fatwa 14336, 05 April 2018).


Simpulan Hukum

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa merayakan isra mi’raj hukumnya diperbolehkan bahkan dianjurkan jika tujuannya murni karena Allah dan cinta pada Rasulullah. Orang-orang yang merayakannya dengan perbuatan ibadah akan mendapatkan pahala dari Allah.


Demikian penjelasan perihal hukum merayakan Isra Mi’raj Nabi Muhammad yang terjadi pada tanggal 27 Rajab. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur