Syariah

Hukum Shalat dengan Kursi Kecil: Solusi Nyaman bagi yang Sulit Duduk Iftirasy atau Tawarruk

NU Online  ·  Selasa, 1 April 2025 | 12:00 WIB

Hukum Shalat dengan Kursi Kecil: Solusi Nyaman bagi yang Sulit Duduk Iftirasy atau Tawarruk

Kursi untuk shalat (NU Online - Muntaha)

Dalam shalat orang dituntut untuk melaksanakan gerakan-gerakan shalat sesuai dengan kemampuan fisiknya. Namun, dalam beberapa kondisi, ada individu yang mengalami kesulitan untuk duduk dalam posisi yang dianjurkan, seperti duduk iftirasy atau tawarruk, terutama bagi mereka yang memiliki masalah pada lutut, persendian, atau memiliki berat badan yang tinggi.
 

Salah satu solusi yang muncul adalah penggunaan kursi kecil atau bantalan khusus yang diletakkan di bawah pinggul saat duduk dalam shalat. Hal ini bertujuan untuk mengurangi tekanan pada sendi dan memberikan kenyamanan dalam beribadah.
 

Dari perspektif fiqih, muncul pertanyaan bagaimana hukum shalat menggunakan kursi kecil bagi orang yang tidak bisa duduk dengan sempurna?
 

Dalam tata cara shalat, terdapat beberapa posisi duduk yang dianjurkan. Pada duduk di antara dua sujud, tasyahud awal, dan duduk istirahat, posisi yang utama adalah duduk iftirasy. Yaitu, duduk dengan menempatkan punggung kaki kiri di bawah dan membentangkannya, sementara kaki kanan ditegakkan dengan ujung jari-jarinya mengarah ke kiblat. 
 

Adapun dalam tasyahud akhir, posisi yang dianjurkan adalah duduk tawarruk. Yaitu, kaki kiri diselipkan di bawah kaki kanan, sementara pantat langsung menempel ke lantai.
 

Ketentuan ini sejalan dengan kaidah dalam penjelasan Syekh Nawawi Banten:
 

وَالضَّابِط أَن كل جُلُوس يعقبه حَرَكَة من سُجُود أَو قيام يسن فِيهِ الافتراش وكل جُلُوس يعقبه سَلام يسن فِيهِ التورك وَهُوَ كالافتراش لَكِن يخرج يسراه من جِهَة يمناه ويلصق ألييه بِالْأَرْضِ
 

Artinya, “Kaidahnya adalah bahwa setiap duduk yang setelahnya ada pergerakan, baik menuju sujud maupun berdiri, disunnahkan menggunakan cara iftirasy. Sedangkan setiap duduk yang setelahnya diakhiri dengan salam, disunnahkan menggunakan cara tawarruk. Tawarruk ini serupa dengan iftirasy, tetapi kaki kiri dikeluarkan ke arah kanan, dan kedua pantat ditempelkan ke lantai.“ (Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Fikr: tt], halaman 72).
 

Ulama menjelaskan bahwa perbedaan duduk iftirasy pada tasyahud awal dan tawarruk pada tasyahud akhir memiliki beberapa hikmah. Salah satunya adalah membantu mengingat jumlah rakaat shalat, sehingga menghindarkan dari kebingungan dalam menghitungnya.
 

Selain itu, dalam tasyahud awal, yang dianjurkan untuk diperingan (tidak dipanjangkan), posisi iftirasy lebih memudahkan seseorang untuk berdiri kembali setelahnya. Sementara itu, dalam tasyahud akhir, yang disunnahkan untuk diperpanjang, posisi tawarruk lebih sesuai karena lebih stabil dan nyaman. Dengan duduk tawarruk, seseorang lebih mudah memperbanyak doa sebelum mengakhiri shalat.
 

Imam An-Nawawi menjelaskan:
 

قَالَ أَصْحَابُنَا: الْحِكْمَةُ فِي الِافْتِرَاشِ فِي التَّشَهُّدِ الْأَوَّلِ وَالتَّوَرُّكِ فِي الثَّانِي أَنَّهُ أَقْرَبُ إلَى تذكر لصلاة وَعَدَمِ اشْتِبَاهِ عَدَدِ الرَّكَعَاتِ وَلِأَنَّ السُّنَّةَ تَخْفِيفُ التَّشَهُّدِ الْأَوَّلِ فَيَجْلِسُ مُفْتَرِشًا لِيَكُونَ أَسْهَلَ لِلْقِيَامِ وَالسُّنَّةُ تَطْوِيلُ الثَّانِي وَلَا قِيَامَ بَعْدَهُ فَيَجْلِسُ مُتَوَرِّكًا لِيَكُونَ أَعْوَنَ لَهُ وَأَمْكَنَ لِيَتَوَفَّرَ الدُّعَاءُ
 

Artinya, “Ulama kami Ashabus Syafi'i menjelaskan bahwa hikmah dari duduk iftirasy pada tasyahud awal dan tawarruk pada tasyahud akhir adalah agar lebih mudah mengingat jumlah rakaat shalat dan menghindari kebingungan dalam menghitungnya. Selain itu, karena kesunahan tasyahud awal adalah diperingan (tidak dipanjangkan), maka seseorang duduk dengan iftirasy agar lebih mudah untuk berdiri setelahnya.
 

Sementara itu, tasyahud akhir disunnahkan untuk diperpanjang, dan tidak ada lagi berdiri setelahnya, sehingga lebih sesuai untuk duduk dengan tawarruk. Duduk dengan tawarruk lebih nyaman dan stabil, sehingga memudahkan seseorang untuk memperbanyak doa dalam tasyahud akhir.” (Al-Majmu’, [Mesir, Idarah Thaba’ah Al-Munirah: 1347 ], jilid III, halaman 451).
 

Namun demikian, kedua posisi duduk tersebut hukumnya sunnah. Apabila seseorang tidak dapat atau tidak melaksanakan posisi duduk tersebut secara sempurna, shalatnya tetap sah. Hal ini menunjukkan fleksibilitas dalam tata cara shalat agar dapat menyesuaikan dengan kondisi dan kemampuan masing-masing individu.
 

Bagi orang yang uzur, seperti sakit atau usia lanjut, duduk dalam shalat baik dalam posisi iftirasy maupun tawarruk sebaiknya dilakukan dengan cara yang paling memungkinkan. Jika tidak mampu melakukannya secara sempurna, shalatnya tetap sah.
 

Permasalahan shalat dengan menggunakan kursi pernah dibahas dalam Bahtsul Masail Waqi’iyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur pada November 2019. Salah satu poin dalam keputusan tersebut menyebutkan, fuqaha’ tidak menetapkan ketentuan khusus mengenai posisi duduk dalam shalat.
 

Selain itu, disebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan duduk adalah menempatkan pantat dengan posisi tubuh bagian atas tegak. Posisi ini dapat dilakukan di atas kaki, lantai, atau tempat lain, termasuk di atas kursi.
 

Syekh Taqiyuddin Al-Hishni menjelaskan:


اعلم أنه لا يتعين في الصلاة جلوس بل كيف قعد المصلي جاز وهذا إجماع سواء في ذلك جلسة الاستراحة والجلوس بين السجدتين والجلوس لمتابعة الإمام نعم يسن في غير الأخير جلوس التشهد الأول الافتراش فيجلس على كعب يسراه بعد فرشها وينصب رجله اليمنى ويجعل أطراف أصابعها للقبلة وفي الأخير التورك وهو مثل الافتراش إلا أنه يفضي بوركه إلى الأرض ويجعل يسراه من جهة يمناه وهذه الكيفية قد ثبتت في الصحيحين
 

Artinya, “Ketahuilah bahwa dalam shalat tidak ada cara duduk tertentu yang wajib dilakukan. Bagaimanapun cara seseorang duduk dalam shalat, itu tetap sah, dan ini merupakan kesepakatan ulama. Hal ini berlaku untuk duduk istirahat (jalsatul istirahah), duduk di antara dua sujud, maupun duduk karena mengikuti imam.
 

Namun, disunahkan dalam semua duduk selain duduk mengikuti imam untuk duduk dengan cara iftirasy pada tasyahud awal. Caranya adalah dengan duduk di atas punggung kaki kiri setelah dibentangkan, sementara kaki kanan ditegakkan dan ujung jari-jarinya diarahkan ke kiblat.
 

Adapun pada tasyahhud akhir, disunahkan duduk dengan cara tawarruk, yaitu seperti iftirasy, tetapi dengan posisi panggul menyentuh lantai dan kaki kiri dimasukkan ke arah kanan. Cara duduk ini telah disebutkan dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.” (Kifayatul Akhyar, [Damaskus, Darul Khair: 1994], halaman 117).
 

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa duduk dalam shalat dengan posisi iftirasy dan tawarruk adalah sunnah yang dianjurkan, bukan suatu kewajiban. Karena itu, bagi mereka yang mengalami kesulitan untuk duduk dalam posisi tersebut, seperti karena sakit, usia lanjut, atau kondisi fisik tertentu, diperbolehkan untuk menggunakan kursi kecil atau bantalan sebagai bantuan dalam shalat. 
 

Penggunaan alat bantu ini tidak membatalkan shalat, selama tetap berusaha menyesuaikan dengan kaidah-kaidah shalat sesuai kemampuan. Hal ini sejalan dengan prinsip kemudahan dalam syariat Islam yang memberikan keringanan bagi orang-orang yang memiliki uzur. Dengan demikian, shalat tetap dapat dilakukan dengan khusyuk tanpa menghilangkan esensi dari tuntunan syariat. Wallahu a’lam.
 


Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan