Syariah

Ingin Menghafal Al-Qur’an Tapi Khawatir Dosa Melupakannya?

Sen, 5 Februari 2024 | 12:00 WIB

Ingin Menghafal Al-Qur’an Tapi Khawatir Dosa Melupakannya?

Ilustrasi: Al-Quran (freepik)2.

Menjadi penghafal Al-Quran merupakan cita-cita yang mulia. Tak terhitung sudah dalil anjuran dan keutamaan bagi mereka. Dikatakan dalam hadis riwayat Ibnu Majah bahwa Ahlul Qur’an merupakan ahlullah wa khassatuhu (keluarga terdekat Allah). Namun, ada juga kasus yang mana orang yang ingin menghafal khawatir berdosa sebab melupakannya.

 

Sepadan dengan keutamaan yang begitu luar biasa, rupanya konsekuensi yang setimpal juga akan dibebankan pada penghafal Al-Qur’an yang sembrono. Sembrono di sini ialah saat dirinya lupa dengan hafalannya. Dalam sebuah hadis Nabi saw disebutkan:
 

عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى القَذَاةُ يُخْرِجُهَا الرَّجُلُ مِنَ الْمَسْجِدِ، وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي، فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنَ القُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهَا
 

Artinya: “Ditunjukkan kepada saya seluruh pahala umatku bahkan sampai sekecil kotoran (debu) yang dikeluarkan oleh seseorang dari masjid, dan ditunjukkan kepada saya dosa-dosa umatku, saya tidak melihat sebuah dosa yang lebih besar dibandingkan surat atau ayat yang diberikan kepada seseorang kemudian ia melupakannya.” (At-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, [Beirut: Dar al-Gharbiy al-Islami], 1998, juz V, hal 28, hadits no 2916).
 

Muatan dari hadis seperti ini biasanya menjadi alasan bagi sementara orang mengurungkan niatannya untuk menghafal Al-Qur’an. Mereka khawatir jika akhirnya malah berdosa sebab melupakan hafalannya.


Nah, di sini mereka dihadapkan dengan kondisi yang bertolak belakang. Jika ia menghafal dan mampu menjaga hafalannya, maka predikat kemuliaan tersemat pada diri mereka. Sebaliknya jika ia menghafal dan menyia-nyiakan hafalannya, maka ancamannya sungguh luar biasa.
 

Menilik dua kondisi tersebut, bagaimana sikap yang seharusnya diambil?
 

Perlu dicatat, bahwa kasus ini tidak termasuk dalam kaidah dar’ul mafasid muqaddam ala jalbil mashalih, menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan. Kemudian bisa disimpulkan bahwa hilangnya atau terbengkalainya hafalan merupakan mafsadah. Karenanya harus lebih dipertimbangkan daripada menghafal (jalbul mashalih).
 

Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, Sayyid Abdurrahman Ba’lawi mengungkap sebuah kasus di mana ada orang yang memungkinkan dirinya untuk menghafal Al-Qur’an, tapi di sisi lain ia khawatir menyia-nyiakan dan melupakan hafalannya, lantas bagaimana sikap seharusnya?
 

Mengacu pada fatwa Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi bahwa yang utama tetaplah menghafal Al-Qur’an dibarengi dengan berdoa kepada Allah supaya diberi petunjuk agar senantiasa mampu menjaga hafalannya. Beliau menegaskan bahwa ini bukan termasuk pengamalan kaidah dar’ul mafasid muqaddam ala jalbil mashalih.
 

Logikanya sederhana, bahwa pahala dan keutamaan menghafal Al-Qur’an merupakan perkara yang muhaqqaq (nyata) sedangkan masalah lupa dan tersia-siakannya hafalan masih sekedar asumsi (belum pasti terjadi). Jadi, kebaikan atau kemaslahatan yang pasti adanya tidak boleh ditinggalkan sebab mafsadah yang masih sebatas asumsi.
 

مسألة ك: شخص أمكنه حفظ القرآن العظيم، وخاف هو ومعلمه تضييعه و نسيانه المنهي عنه فالذي يظهر أن الأولى التعلم والتعليم والأستعانة بالله تعالى على التوفيق للمنهج المستقيم وليس هذا من قاعدة درء المفاسد إذ المفسدة هنا غير محققة بل متوهمة وثواب حفظ القرآن محقق والخير المحقق لا يترك لمفسدة متوهمة
 

Artinya: “Permasalahan dari Al-Kurdi: Ada orang yang dimungkinkan baginya untuk menghafal Al-Qur’an. Tapi ia dan gurunya khawatir jika nanti ia akan menyia-nyiakan hafalannya. Maka hukum yang jelas dan utama ialah tetap menghafal Al-Qur’an sembari berdoa kepada Allah supaya diberi kekuatan untuk menjaganya. Ini tidak termasuk dalam kaidah dar’ul mafasid. Sebab kerusakan di sini masih belum pasti adanya, sedangkan pahala menghafal Al-Qur’an sudah pasti. Kebaikan yang pasti tidak boleh ditinggalkan sebab mafsadah yang masih sebatas asumsi.” (Abdurrahman bin Muhammad bin Husain, Bughyatul Mustarsyidin, [Darul Fikr], halaman 481)
 

Karenanya, tak perlu khawatir untuk memulai suatu hal yang baik. Apalagi tekad untuk menghafal Al-Qur’an. Mustahil Allah tidak memberikan pertolongan bagi hamba yang punya keinginan kuat untuk menghafal kalam-Nya. Waallahu a'lam.
 

 

Ustadz Abdillah Amiril Adawi, Mahasantri PP Al Munawwir Krapyak Yogyakarta