Syariah

Kajian dan Memahami Hadits terkait Suami Memukul Istri

Ahad, 26 November 2023 | 18:00 WIB

Kajian dan Memahami Hadits terkait Suami Memukul Istri

Suami istri. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Kita tidak dapat memungkiri banyak kekerasan yang terjadi dalam suatu rumah tangga yang didasarkan pada pemahaman yang keliru terhadap penjelasan-penjelasan dalam agama Islam, baik dari ayat Al-Quran maupun dari hadits-hadits Nabi saw.


Misalnya ketika kita membaca atau mendengarkan pengajian Kitab Riyadhush Shalihin karya Imam an-Nawawi, niscaya kita akan mendapatkan hadits dalam Muraqabah yang lafaznya demikian:


عن عُمَرَ - رضي الله عنه، عَنِ النَّبيّ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: (لاَ يُسْأَلُ الرَّجُلُ فِيمَ ضَرَبَ امْرَأَتَهُ)


Artinya, “Dari ‘Umar ra, dari Nabi saw, beliau bersabda, ‘Janganlah kamu tanyakan kepada seorang lelaki mengapa dia memukul istrinya.” (Imam an-Nawawi dalam Riyadhush Shalihin bab Muraqabah).


Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan juga Ibnu Majah dalam Sunan mereka pada bab fi dharbinnisa (bab yang membahas perihal memukul wanita). Dalam riwayat Ibnu Majah, lafaz haditsnya lebih terlihat lengkap, di dalamnya terdapat kisah Al-Asy’ats bin Qays.


Al-Asy’ats bin Qays suatu malam bertamu ke rumah Umar, tatkala sudah larut malam. Umar pun mendatangi istrinya dan memukulnya. Al-Asy’ats pun melerai keduanya. Ketika Umar hendak tidur, ia berkata kepada Al-Asy’ats:


احفظ عني شيئا سمعته عن رسول الله صلى الله عليه و سلم (لا يسأل الرجل فيم ضرب امرأته . ولا تنم إلا على وتر) ونسيت الثالثة


Artinya, “Hafalkanlah dariku tiga perkara yang aku dengar dari Rasulullah saw, pertama seorang laki-laki jangan ditanya mengapa ia memukul istrinya. Kedua, jangan tidur melainkan telah melaksanakan shalat witir, dan aku lupa perkara yang ketiga.” (HR Ibnu Majah).


Apabila kita membaca hadits di atas secara gamblang, niscaya kita bertanya-tanya, apakah benar Rasulullah saw membenarkan begitu saja seorang suami memukul istrinya? Apa konteks dan latar belakang hadits tersebut? Dalam batasan apa suami boleh memukul istrinya?


Sebelum membaca penjelasan para ulama terkait ayat dan hadits-hadits kebolehan memukul, penting diketahui bahwa ‘pukulan’ adalah bentuk dan media edukasi pada masa itu di daerah tertentu. Sehingga media untuk mendidik dan menegur pada hari ini dapat menggunakan bentuk yang sesuai dan relevan.


Di sisi lain, apabila bersikeras tetap memukul dengan landasan hadits-hadits yang berbunyi anjuran memukul istri tanpa mencari lebih dalam penjelasannya, akan berimplikasi pada membahayakan diri dan juga orang lain. Pelaku KDRT dapat dipidana dengan UU Penghapusan KDRT yang meliputi:

  1. Pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp15 juta bagi setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga.
  2. Pidana penjara paling lama sepuluh atau denda paling banyak Rp30 juta jika kekerasan fisik tersebut menyebabkan korban jatuh sakit atau luka berat.
  3. Pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp45 juta jika kekerasan fisik  tersebut menyebabkan korban meninggal.
  4. Pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak Rp5 juta jika kekerasan fisik tersebut dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari.


Adapun ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan psikis dalam rumah tangga meliputi:

  1. Pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp9 juta bagi setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam rumah tangga.
  2. Pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak Rp3 juta jika kekerasan psikis tersebut dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari.


Adapun perihal hadits ini, Ali bin Ahmad al-Azizi menjelaskan dalam as-Siraj al-Munir syarhul Jami’ ash-Shaghir:


ولعل سبب النهي عن سؤال الرجل عن ضربه زوجته إن ذكر ذلك يؤدي إلى هتك ستر زوجته فإنه قد يكون ضربها أو هجرها لامتناعها من جماعه أو نحو ذلك مما يستقبح ذكره بين الرجال


Artinya, “Barangkali alasan larangan bertanya kepada seorang laki-laki tentang pukulannya terhadap istrinya adalah pertanyaan tersebut akan membuka rahasia istrinya, karena bisa saja si suami memukul atau tidak berhubungan suami-istri karena istrinya menolaknya, atau karena alasan serupa yang tidak pantas diketahui orang lain.” (‘Ali bin Ahmad al-‘Azizi, as-Siraj al-Munir syarhul Jami’ ash-Shaghir, jilid IV, hal. 410). 


Berdasarkan penjelasan ini, merujuk kepada konteks hadits ini, bahwa Umar kala itu memukul istrinya karena menolak kewajiban untuk melayani suaminya, di mana tentunya Umar adalah sosok suami yang baik terhadap istri sebagaimana tercantum dalam beberapa riwayat.


Di sisi lain, tentunya pukulan Umar kepada istrinya bukanlah pukulan yang membabi buta bahkan hingga melukai. Pukulan yang dilakukan Umar adalah dalam rangka li ta`dib atau untuk mendidik. Merujuk kepada keterangan Ibnu Qudamah dalam karyanya tentang fikih Mazhab Hanbali, yaitu al-Mughni, beliau menjelaskan:


وله تأديبها على ترك فرائض الله وسأل إسماعيل بن سعيد أحمد عما يجوز ضرب المرأة عليه قال على فرائض .... قال أحمد : في الرجل يضرب امرأته لا ينبغي لأحد أن يسأله ولا أبوها لم ضربتها والأصل في هذا ما روى الأشعث عن عمر... ولأنه قد يضربها لأجل الفراش فإن أخبر بذلك استحيا وإن أخبر بغير كذب


Artinya, “Suami berhak untuk mendisiplinkan istri atas kelalaian pada kewajiban kepada Allah. Ismail bin Sa’d bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang kebolehan suami memukul istri. Ahmad menjawab boleh apabila istri meninggalkan kewajiban-kewajiban .... Ahmad menjelaskan terkait tidak seorang pun boleh bertanya mengapa seorang suami memukul istrinya, bahkan ayahnya sekalipun, dengan landasan riwayat Al-Asy'ats dari riwayat Umar ... Boleh jadi si suami memukulnya karena urusan ranjang, yang mana jika ditanyakan, si suami akan malu, meskipun begitu faktanya.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani, [Beirut: Darul Fikr, 1405], jilid VIII, hal. 163).


Terkait penjelasan Ibnu Qudamah ini, jelas sekali bahwa suami diperbolehkan memukul istri dalam rangka mendidik karena istri lalai terhadap kewajibannya, bukan memukul atas dasar hawa nafsu belaka.


Jangan sampai seorang suami memukul istrinya semata-mata karena egoisme yang ada dalam dirinya, semisal ia meminta untuk berhubungan badan dengan istrinya padahal istrinya sedang kelelahan atau sakit, atau karena alasan-alasan tertentu, terkhusus uzur syar’i.


Kemudian apabila kita ingin mengamalkan suatu hadits, hendaknya kita melihat hadits-hadits yang menjadi perbandingan juga supaya tidak keliru pemaknaan serta pengamalannya. Apabila kita melihat dalam beberapa riwayat hadits, disebutkan Rasulullah saw bersabda:


لاَ تَضْرِبُوْا إِمَاءَ اللهِ! فَجَاءَ عُمَرُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ذَئِرْنَ النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ فَرَخَّصَ فِي ضَرْبِهِنَّ فَأَطَافَ بِآلِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم نِسَاءٌ كَثِيْرٌ يَشْكُوْنَ أَزْوَاجَهُنَّ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لَقَدْ طَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيْرٌ يَشْكُوْنَ أَزْوَاجَهُنَّ لَيِسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ


Artinya, “Janganlah kalian memukul para wanita (istri-istri kalian)!”. Kemudian Umar pun datang menemui Nabi saw dan berkata, “Para istri berani dan membangkang terhadap para suami!”, maka Nabi saw pun memberi keringanan kebolehan suami untuk memukul mereka, maka para istri pun dipukul. Akhirnya banyak para istri yang berdatangan menemui istri-istri Nabi dan mengeluhkan suami mereka. Nabi pun berkata, “Sungguh para istri banyak yang telah mendatangi istri-istri Muhammad mengeluhkan tentang suami-suami mereka, mereka itu (para suami yang memukul) bukanlah yang terbaik di antara kalian.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).


Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda:


لَنْ يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ 


Artinya, “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul [istrinya].” (HR Al-Hakim).


Terkait dengan kedua hadits yang menjadi pembanding tadi, Imam Syafi’i pernah menjelaskan dalam Al-Umm bahwa larangan Nabi saw terkait suami memukul istri, kemudian beliau mengizinkannya, dan juga hadits “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul [istrinya]” menunjukkan larangan tersebut ada sebelum ayat nusyuz yang berisi kebolehan memukul, dan izin mendisiplinkan istri ada setelah ayat nusyuz turun.


قَالَ الشّاَفعيُّ : وفي قَوْلِهِ لَنْ يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ دَلاَلَةٌ على أَنَّ ضَرْبَهُنَّ مُبَاحٌ لاَ فَرْضٌ أَنْ يُضْرَبْنَ وَنَخْتَارُ له من ذلك ما اخْتَارَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَنُحِبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ لاَ يَضْرِبَ امْرَأَتَهُ في انْبِسَاطِ لِسَانِهَا عليه وما أَشْبَهَ ذلك.


Artinya, "Al-Syafi'i berkata: Hadits, “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul [istrinya],” menunjukkan bahwa memukul istri hukumnya boleh, bukan wajib. Kami memilih pendapat ini sebagaimana Rasulullah saw memilihnya, maka kami lebih condong laki-laki tidak boleh memukul istrinya sebab kelakuan lisannya, atau alasan semacamnya." (Imam Syafi’i, Al-Umm, [Beirut: Darul Ma’rifah, 1393], jilid V, hal. 194).


Selain itu, sebagaimana ditegaskan bahwa kebolehan memukul istri adalah pukulan yang mendidik, yang tentunya relevan dengan masa sekarang dan bukan pukulan yang melukai, membabi buta, membuat memar, membuat trauma dan lain sebagainya. Rasulullah saw pernah bersabda:


لَا يَجْلِدُ أَحَدُكُمْ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ


Artinya, “Janganlah salah seorang dari kalian memukul istrinya, seperti ia memukul seorang budak, namun saat hari memasuki waktu senja ia pun menggaulinya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).


Terkait hadits ini, Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab pernah menjelaskan:


في هذا دليل على أن الاولى ترك الضرب للنساء فإن احتاج فلا يوالى بالضرب على موضع واحد من بدنها، وليتق الوجه لانه مجمع المحاسن، ولا يبلغ بالضرب عشرة أسواط. وقيل ينبغى ان يكون الضرب بالمنديل واليد، ولا يضرب بالسوط والعصا وبالجملة فالتخفيف بأبلغ شئ أولى في هذا الباب.


Artinya, “Ini adalah dalil bahwa lebih baik menahan diri untuk tidak memukul istri, jika perlu, jangan terus menerus memukul satu bagian tubuh, dan hindari memukul pada bagian wajah karena pada wajah terkumpul keindahan, dan tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kaki.  Dikatakan bahwa pukulan harus dilakukan dengan saputangan atau tangan, bukan dengan cambuk, tongkat. Maka dalam hal ini, secara global meringankan pukulan adalah lebih baik.” (Imam an-Nawawi, al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid 16, hal. 450).


Menguatkan hal tersebut, Al-Mawardi menegaskan bahwa pukulan suami yang menyebabkan luka adalah pukulan yang sudah keluar dari batas kebolehan. (Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid IV, hal. 65).


Di sisi lain, tentunya mengayomi istri dan mendidik bahkan belajar bersama-sama serta saling introspeksi dan terbuka lebih baik dibanding harus memukul walaupun dibolehkan salam syari’at. 


Meskipun sebab akhlak dan perangai buruk muncul dari seorang istri, menonjolkan kesabaran dan menahan diri dari memukul adalah lebih baik bagi para suami. Sebagaimana Ibnu ‘Allan menjelaskan hadits “‘Janganlah kamu tanyakan kepada seorang lelaki mengapa dia memukul istrinya”, beliau berkata:


أَنَّ الضَّرْبَ وَإِنْ كَانَ مُبَاحًا عَلَى شَكَاسَةِ أَخْلَاقِهِنَّ فَالتَّحَمُّلُ وَالصَّبْرُ عَلَى سُوءِ أَخْلَاقِهِنَّ وَتَرْكُ الضَّرْبِ أَفْضَلُ وَأَجْمَلُ


Artinya, “Sungguh pukulan, meskipun dibolehkan karena moral buruk dari para istri, tetap saja sabar atas karakter mereka dan menahan diri dari memukul adalah yang paling utama dan paling baik.” (Ibnu ‘Allan, Dalilul Falihin li Thuruqi Riyadhis Shalihin, [Beirut: Darul Ma’rifah, 2004], jilid VI, hal. 130).


Kesimpulannya, hadits-hadits yang menjelaskan kebolehan seorang suami memukul istrinya jangan dijadikan landasan untuk melampiaskan egoisme belaka. Sudah selayaknya para suami meneladani Nabi sebagai orang yang terbaik di antara manusia dalam berlaku kepada istrinya. Wallahu a’lam.


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences