Syariah

Kapan Batas Waktu Shalat Ashar?

Selasa, 7 Januari 2025 | 10:30 WIB

Kapan Batas Waktu Shalat Ashar?

Ilustrasi shalat Ashar berjamaah. Sumber: Canva/NU Online

Pemahaman yang benar tentang waktu Ashar sangat penting agar ibadah shalatnya absah dan tidak keluar dari batas waktu yang ditentukan.

 

Shalat Ashar merupakan salah satu dari lima shalat fardhu yang mesti dilakukan umat Islam tiap hari. Dinamakan Shalat “Ashar” karena waktunya berdekatan dengan terbenamnya matahari atau karena saat waktu shalat Ashar sinar matahari berkurang sampai akhirnya habis.

 

Dalil Waktu Shalat Ashar

Ada beberapa ayat dan hadits Nabi yang mengindikasikan batas waktunya shalat Ashar berdasarkan fenomena matahari. Dalam QS. Hud: 114, Allah berfirman:

 

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِۗ اِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ

 

Artinya: “Dirikanlah salat pada kedua ujung hari (pagi dan petang) dan pada bagian-bagian malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik menghapus kesalahan-kesalahan. Itu adalah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah). (QS. Hud: 114).

 

Sementara hadits Nabi menyebutkan:

 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَمَّنِي جِبْرِيلُ عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، فَصَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِينَ مَالَتِ الشَّمْسُ قَدْرَ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِينَ حُرِّمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، وَصَلَّى بِيَ الْغَدَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِينَ مَضَى ثُلُثُ اللَّيْلِ، وَصَلَّى بِيَ الْغَدَاةَ بَعْدَ مَا أَسْفَرَ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، الْوَقْتُ فِيمَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ هَذَا وَقْتُكَ وَوَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلَكَ

 

Artinya: “Jibril mengimami aku di dekat Ka'bah sebanyak dua kali. Beliau shalat Zuhur bersamaku pada saat matahari condong dari tengah langit seukuran tali sandal. Kemudian Ia shalat Ashar bersamaku ketika bayangan setiap benda telah sama dengan panjangnya. Selanjutnya, beliau shalat Maghrib bersamaku saat orang yang berpuasa berbuka. Lalu, beliau shalat Isya bersamaku ketika cahaya senja telah hilang. Dan beliau shalat Subuh bersamaku ketika makanan dan minuman diharamkan bagi orang yang berpuasa. Pada hari berikutnya, beliau shalat Zuhur bersamaku ketika bayangan setiap benda telah sama dengan panjangnya. Kemudian, beliau salat Asar bersamaku ketika bayangan setiap benda dua kali lipat panjangnya. Selanjutnya, beliau shalat Maghrib bersamaku pada waktu orang yang berpuasa berbuka. Lalu, beliau shalat Isya bersamaku setelah sepertiga malam berlalu. Dan beliau shalat Subuh bersamaku ketika waktu telah terang. Kemudian beliau menoleh kepadaku dan berkata: 'Wahai Muhammad, waktu (salat) berada di antara dua waktu ini. Inilah waktumu dan waktu para nabi sebelum engkau.'” (HR. Ibnu Huzaimah).

 

Batas Masuk Waktu Shalat Ashar

Adapun awal waktu salat Asar yaitu masuk ketika bayangan suatu benda lebih sedikit dari ukurannya benda itu sendiri. Yaitu selain bayangan yang ada saat matahari tepat di tengah (bayangan saat zawal). 

 

Artinya, waktu Asar dimulai ketika waktu Zuhur selesai, tanpa ada waktu yang bersamaan antara Zuhur dan Ashar dan tanpa ada pemisah. Bila dilihat dari posisi matahari maka ketika matahari berada pada posisi 50 derajat dihitung dari garis meridian langit.

 

وَأَوَّلُ وَقْتِ الْعَصْرِ إِذَا صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ وَزَادَ أَدْنَى زِيَادَةٍ

 

Artinya, “Waktu awal shalat Ashar adalah ketika bayangan setiap benda sama panjang dengan bendanya dan bayangannya bertambah sedikit saja dari bendanya.” (Asy-Syairazi, al-Muhadzdzab, [Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah: tt], vol. I, hal. 102).

 

Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab Jilid III (Kairo, Idarat At-Thiba'ah Al-Maniriyyah, 1344-1347 H: 46) menjelaskan “bayangan yang lebih dari ukuran bendanya”. Beliau mengutip kitab adz-Dzakha'ir, bahwa ada 3 pandangan menyikapi hal tersebut. 

 

Pertama, lebihnya bayangan tersebut hanya untuk menjelaskan terkait batas akhir dari bayangan yang panjangnya sama dengan bendanya. Karena waktu Asharnya telah masuk hanya dengan tercapainya bayangan yang sama dengan bendanya, tanpa perlu adanya tambahan bayangan. Dengan demikian, tambahan ini termasuk dalam waktu Asar. Pendapat inilah yang diikuti oleh Imam Nawawi (hal. 26).

 

Kedua, bayangan tambahan ini termasuk dalam waktu Zuhur, dan waktu Asar baru masuk setelah tambahan ini tercapai. Pendapat ini merupakan zahir dari perkataan Imam Syafi'i, ulama Irak, dan banyak diikuti oleh para ulama mazhab.

 

Ketiga, bayangan tambahan ini bukan termasuk waktu Zuhur dan bukan pula waktu Asar, melainkan sebagai jeda atau pemisah antara kedua waktu tersebut. 

 

Batas Akhir Waktu Shalat Ashar

Adapun batas akhirnya waktu shalat Ashar yaitu bilamana seluruh matahari telah terbenam. Imam Nawawi menjelaskan dalam al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab Jilid III (Kairo, Idarat At-Thiba'ah Al-Maniriyyah, 1344-1347 H: 26):

 

وَأَمَّا آخِرُ وَقْتِ الْعَصْرِ فَهُوَ غُرُوبُ الشَّمْسِ هَذَا هُوَ الصَّحِيحُ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَقَطَعَ بِهِ جُمْهُورُ الْأَصْحَابِ

 

Artinya, “Batas akhir waktu Ashar yaitu terbenamnya matahari sebagaimana pendapat yang benar yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i dan dipastikan jumhur muridnya.”

 

Sedangkan akhir waktu ikhtiyar dalam shalat Ashar yaitu ketika panjangnya bayangan suatu benda menjadi dua kali lipat dari panjang bendanya. Imam asy-Syairazi menjelaskan dalam Muhadzdzab Jilid I hlm. 102:

 

وَآخِرُهُ إِذَا صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ

 

Artinya, “Akhir waktu shalat Ashar yaitu bila bayangan setiap benda menjadi dua kali lipat daripada bendanya”.

 

Pendapat lain ditawarkan oleh Abu Sa’id al-Isthakhri yang mengemukakan bahwa batas akhir waktu shalat Ashar adalah bayangan bendanya menjadi dua kali lipat. Oleh sebab itu, shalat yang dilaksanakan setelah waktu tersebut dianggap qada’ dan pakunya berdosa.

 

Hanya saja pendapat ini dibantah oleh Imam al-Ghazali dengan argumen bahwa Imam Syafi’i baik qaul qadim dan jadid menegaskan bahwa waktu shalat Ashar berakhir dengan terbenamnya matahari. Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab Jilid III halaman 26 menyebutkan:


 
وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْإِصْطَخْرِيُّ آخِرُهُ إذَا صَارَ ظل الشئ مِثْلَيْهِ فَإِنْ أَخَّرَ عَنْ ذَلِكَ أَثِمَ وَكَانَتْ قَضَاءً 

 

Artinya, “Abu Sa'id al-Isthakhri berkata: 'Akhir batas waktu Shalat Ashar yaitu ketika bayangan setiap benda menjadi dua kali panjangnya. Maka bila mengakhirkan shalat dari batas itu, pelakunya berdosa dan menjadi waktu shalat qada'."

 

Pembagian Waktu Shalat Ashar

Syekh Zakariya al-Anshari dalam kitab Fathul Wahhab Jilid I (Surabaya: Al-Haramain, t.t., hal. 30), menjelaskan bahwa ada tujuh macam waktu shalat Ashar.

 

Pertama, waktu keutamaan (waqt al-fadhilah): sejak masuknya waktu sampai bayangan menjadi satu setengah dari bendanya. Sangat dianjurkan melaksanakan shalat pada waktu tersebut.

 

Kedua, waktu pilihan (waqtul ikhtiyar): sejak masuknya waktu Ashar hingga bayangan menjadi dua kali lipat panjangnya ketimbang bendanya.

 

Ketiga, waktu diperbolehkan tanpa makruh: sejak bayangan dua kali lipat panjang hingga matahari menguning.

 

Keempat, waktu makruh (waqt jawaz ma’a al-karahah): sejak setelah bayangan dua kali lipat dari bendanya hingga matahari hampir terbenam.

 

Kelima, waktu tahrim: yaitu sisa-sisa waktu yang tidak bisa memuat seluruh rangkaian shalat Ashar tetapi tetap dihitung shalat ada’.

 

Keenam, waktu darurat (waqtudh dharurah): Waktu yang diperbolehkan saat dalam situasi darurat, yaitu sisa waktu Ashar yang cukup untuk takbiratul ihram setelah mani (pencegah shalat seperti haid) hilang.

 

Ketujuh, waktu uzur (waqtul ‘udzr): yaitu waktu untuk shalat Zuhur bagi orang yang menjamak taqdim.

 

Demikianlah penjelasan mengenai waktu shalat Ashar secara komprehensif. Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Amiin.

 


Moh Soleh Shofier, Alumni Marhalah Tsaniyah Ma'had Aly Situbondo