Syariah

Kontroversi Menikah di Bulan Dzulqa'dah, Berikut Penjelasan Hukumnya

Kam, 30 Mei 2024 | 08:00 WIB

Kontroversi Menikah di Bulan Dzulqa'dah, Berikut Penjelasan Hukumnya

Ilustrasi menikah. (Foto: NU Online/Freepik)

Menikah merupakan salah satu syariat Islam yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Anjuran ini diperuntukkan bagi seseorang yang telah beranjak dewasa dan mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Muhammad bin Qasim dalam kitab Fathul Qarib berikut ini:

 

(وَالنِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ) بِتَوْقَانِ نَفْسِهِ لِلْوَطْءِ وَيَجِدُ أَهْبَتَهُ كَمَهْرٍ وَنَفَقَةٍ

Artinya: “Nikah disunnahkan bagi seseorang yang telah membutuhkannya karena kebutuhan biologis serta telah mampu secara finansial.” (Syeikh Muhammad bin Qasim, Fathul Qarib [Beirut, Daru Ibnu Hazm: 2005] halaman 224)

 

Di sisi lain, ada anggapan di sebagian masyarakat bahwa untuk melaksanakan prosesi pernikahan harus mempertimbangkan waktu yang tepat. Alasannya karena terdapat sebuah asumsi atau keyakinan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sangat sakral dan berkaitan dengan kehidupan seseorang sehingga untuk melakukannya tidak bisa dilakukan secara sembarangan. 

 

Di antara keyakinan tersebut adalah tidak dibolehkan menikah di bulan Dzulqa'dah. Jika dipaksakan, konsekuensinya adalah pasangan suami istri akan sering sakit-sakitan. Lantas bagaimana hukum keyakinan tersebut dan melakukan akad nikah di bulan Dzulqa'dah?

 

Hukum Menikah pada Bulan Dzulqa’dah

Melansir NU Online, dalam agama Islam tidak terdapat larangan untuk melakukan pernikahan di bulan-bulan tertentu, termasuk melakukan pernikahan di bulan Dzulqa'dah.  

 

Hal ini didasarkan pada sebuah kasus yang terjadi pada zaman Nabi, yaitu bahwa pernikahan yang dilakukan pada bulan Syawal akan mendatangkan kesialan. 

 

Untuk menafikan keyakinan tersebut, Nabi menikahi Siti ‘Aisyah pada bulan Syawal. Sebagaimana sebuah hadits dalam Musnad Imam Ahmad yang diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah

 

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: تَزَوَّجَنِى رَسُولُ اللَّهِ فِى شَوَّالٍ

Artinya: “Diriwayatkan oleh ‘Aisyah, ia berkata: Nabi Muhammad menikahiku di bulan Syawal" (Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, [Kairo, Darul Hadits] juz 18 alaman 36)

 

Adapun persoalan kepercayaan yang diyakini oleh sebagian masyarakat, sebenarnya tidak dipermasalahkan oleh agama selama masih meyakini bahwa semua hal yang akan terjadi di masa depan merupakan ketetapan dari Allah SWT.  

 

Hal ini dijelaskan dalam kitab Ghayatu Talkhishi Al-Murad min Fatawi ibn Ziyad sebagaimana berikut:

 

مَسْأَلَةٌ): إِذَا سَأَلَ رَجُلٌ آَخَرَ: هَلْ لَيْلَةُ كَذَا أَوْ يَوْمُ كَذَا يَصْلُحُ لِلْعَقْدِ أَوِ النَّقْلَةِ؟ فَلاَ يَحْتَاجُ إِلَى جَوَابٍ، لِأَنَّ الشَّارِعَ نَهَى عَنِ اعْتِقَادِ ذَلِكَ وَزَجَرَ عَنْهُ زَجْراً بَلِيْغاً، فِلاَ عِبْرَةَ بِمَنْ يَفْعَلُهُ، وَذَكَرَ اِبْنُ الْفَرْكَاحِ عَنِ الشَّافِعِي أَنَّهُ إِنْ كَانَ الْمُنَجِّمُ يَقُوْلُ وَيَعْتَقِدُ أَنَّهُ لَا يُؤَثِّرُ إِلاَّ اللهُ، وَلَكِنْ أَجْرَى اللهُ الْعَادَةَ بِأَنَّهُ يَقَعُ كَذَا عِنْدَ كَذَا، وَالْمُؤَثِّرُ هُوَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَهَذَا عِنْدِيْ لَا بَأْسَ بِهِ
 

Artinya: “(Permasalahan) Ketika ada orang yang bertanya: “Apakah malam ini atau hari ini baik untuk melakukan pernikahan atau pindahan?” maka hal ini tidak perlu dijawab. Karena pada dasarnya syari’ melarang melakukan hal tersebut dan tidak ada alasan bagi seseorang yang melakukannya. Ibnu Al Farkahi meriwayatkan dari Imam Syafi’I bahwa apabila seseorang ahli hitung berkata dan berkeyakinan bahwa tidak ada satupun yang dapat mempengaruhi kecuali Allah. Seperti adat suatu kejadian terjadi pada suatu waktu. Maka menurutku, hal demikian tidak dipermasalahkan.” (Ghayatu Talkhishi Al-Murad min Fatawi ibn Ziyad, Hamisy Bughyatul Mustarsyidin, hal. 206)

 

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada larangan untuk melakukan pernikahan di bulan-bulan tertentu. Selain itu, adanya sebuah keyakinan terhadap sesuatu itu diperbolehkan selama masih tetap meyakini bahwa semuanya merupakan ketetapan dari Allah SWT. 

 

Selanjutnya, hal yang menentukan keabsahan suatu pernikahan adalah syarat dan rukun yang telah terpenuhi. Syeikh Zainuddin Al Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menjelaskan bahwa terdapat 5 rukun dalam pernikahan, yaitu calon istri, calon suami, wali, dua saksi, dan shigat  

 

(أَرْكَانُهُ ) أَيْ النِّكَاحُ خَمْسَةٌ ( زَوْجَةٌ وَزَوْجٌ وَوَلِيٌّ وَشَاهِدَانِ وَصِيْغَةٌ)

Artinya: “Adapun rukun-rukun nikah yaitu istri, suami, wali, 2 saksi, dan shigat.” (Syeikh Zainuddin Abdul Aziz Al Malibari, Fathul Mu’in, [Beirut, Darul Kutub Al Ilmiyah] halaman 161)

 

Dengan demikian, melakukan pernikahan di bulan Dzulqa’dah dibolehkan dan sah apabila rukun dan syarat-syarat pernikahan sudah terpenuhi. Wallahu ‘alam.

 

Ustadz Muhammad Ulil Albab, Santri PP Mansajul Ulum dan Mahasiswa IPMAFA​​​​​​