Syariah

Kriteria Fesyen Muslim dan Muslimah dalam Kajian Fiqih

Ahad, 1 Januari 2023 | 10:00 WIB

Kriteria Fesyen Muslim dan Muslimah dalam Kajian Fiqih

Syariat Islam memberikan kriteria busana atau fesyen bagi muslim dan muslimah. (Ilustrasi: NU Online).

Dunia fashion (fesyen) telah berkembang begitu pesat, tak terkecuali muslim fashion (fesyen muslim), khususnya busana muslimah. Indonesia telah masyhur sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia (sekitar 237,56 juta jiwa atau 86,7% dari total 275-an juta populasi penduduk, setara dengan 12,30 % dari total populasi muslim dunia sebanyak 1,93 miliar jiwa).


Akan tetapi dalam hal fesyen muslim (busana muslim) belum menjadi kiblat dunia. Indonesia juga belum menjadi produsen fesyen muslim terbesar dalam skala global, justru menjadi konsumennya terbesar ketiga dunia setelah Turki dan Uni Emirat Arab (UEA).


Sungguhpun begitu, Nusantara kita ini telah menempati rangking ketiga sebagai negara yang mengembangkan fesyen muslim terbaik di dunia di bawah UEA dan Turki. Indonesia tercinta ini, dengan segala pontensi sumber daya alam dan manusianya yang dimiliki, tentu sangat diharapkan bisa menjadi produsen fesyen muslim terbesar dan kiblat fesyen muslim dunia. 


Fesyen muslim (muslim fashion) hampir identik atau lekat dengan sebutan modest fashion, karena style atau karakter busananya yang lebih menutupi tubuh (aurat), tidak transparan dan tidak mengekspos kulit secara berlebihan. Memang fesyen muslim tidak bisa dilepaskan dari kerangka islamic fashion (busana islami), yaitu busana yang dipola, dibuat, dipakai, dan dipasarkan berdasarkan ketentuan Islam. Bagaimana sejatinya ketentuan atau standar fesyen muslim itu?


Ketentuan atau standar fesyen muslim atau islamic fashion sejatinya didasarkan pada sumber utama syariat (hukum Islam), yaitu Kitab Suci Al-Qur’an Al-Karim. Di antara ketentuan Al-Qur’an yang berkaitan dengan fesyen muslim adalah ayat yang tersebut dalam surat al-A‘râf berikut:


يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ 


Artinya: “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan,” (QS. al-A‘râf [7]: 31).


Syekh Jalâl al-Dîn al-Suyûthî menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:


يا بني ادم خذوا زينتكم): ما يستر عورتكم (عند كل مسجد) عند الصلاة والطواف


Artinya: “(Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah): sesuatu yang menutupi auratmu (pada setiap [masuk] masjid) ketika salat dan tawaf.”


Tafsir ringkas di atas diberi syarah oleh Syekh al-Shâwî berikut:


قوله: ]ما يستر عورتكم[ راعي في هذا المحل سبب النزول، وأصل الواجب وعموم اللفظ يفيد أن المطلوب في الصلاة والطواف ومشاهد الخير جميل الثياب كما هو المندوب شرعا تأمل


Artinya: “Perkatan penafsir [sesuatu yang menutupi auratmu] dalam konteks ini adalah dimaksudkan sababun nuzul, dan pada asalnya yang wajib dan keumuman lafal itu menunjukkan bahwa yang dikehendaki dalam salat dan tawaf serta tempat-tempat kebaikan adalah pakaian yang indah sebagaimana disunahkan secara syara’, camkan!”


Lebih lanjut al-Shâwî menjelaskan:


قوله: (عند كل مسجد) المسجد في الأصل موضع السجود، ثم أطلق وأريد منه نفس الصلاة والطواف، من باب تسمية الحال باسم المحل، والعبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب، فالذي ينبغي للأمة التجمل بالثياب عند خضور مشاهد الخير مع القدرة.


Artinya: “Firman-Nya: (pada setiap [memasuki] masjid) masjid pada arti asalnya adalah tempat sujud, kemudian kata masjid itu dipergunakan dan dimaksudkan sebagai shalat dan tawaf, termasuk dalam kategori bab menamakan suatu hal (keadaan/aktivitas) dengan nama tempat, dan yang dijadikan tolok ukur adalah keumuman lafaz (teks ayat) bukan kekhususan sebab (sababun nuzul ayat ini). Oleh karena itu, seyogianya bagi umat Islam memperindah diri dengan pakaian ketika menghadiri tempat-tempat kebaikan, semaksimal mungkin.” (Hâsyiyyat al-‘Allâmah al-Shâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlain, Beirut, Dar al-Fikr, 1993, Juz II, halaman 87).


Standar Fesyen Muslim

Berdasarkan literatur keislaman terdapat sejumlah ketentuan atau standar fesyen muslim, di antaranya terkait bahan dan penggunaannya. Ketentuan bahan atau produk dan penggunaan fesyen muslim yang sesuai syara’ (prinsip syariah) mencakup:


(1) menutupi aurat;


(2) tidak transparan;


(3) tidak mengekspos atau menonjolkan bentuk dan lekuk tubuh;


(4) sesuai penggunaan dan konteksnya;


(5) mengandung kemaslahatan (mashlahah);


(6) tidak menimbulkan mudharat atau bahaya terhadap diri sendiri dan/atau orang lain (la dharar wa la dhirar);


(7) tidak mengandung muatan atau ekspresi penodaan agama, ujaran kebencian (hate speech), adu domba, hoaks, fitnah, takfir, dan seterusnya;


(8) semua jenis fesyen, baik yang berasal dari bahan nabati, seperti kapas dan katun, maupun yang berasal dari bahan hewani, seperti sutera dan wol, dan barang tambang seperti besi, adalah boleh semuanya, baik bagi laki-laki maupun perempuan, kecuali sutera yang murni bagi laki-laki, tanpa kondisi darurat atau hajat, adalah haram menurut ijma’;


(9) busana berbahan atau berlapis emas tidak boleh bagi laki-laki dan perempuan;


(10) bernilai keindahan (zînah, jamîluts tsiyâb: estetik dan fashionable); dan


(11) tidak berlebih-lebihan (ekstrem), juga tidak maksud sombong dan membanggakan diri (al-fakhr wa-al-tafâkhur wa-al-‘ujb).


Hukum Sutra bagi Laki-laki

Khusus mengenai hukum produk fesyen berbahan sutra campuran bagi laki-laki terdapat ikhtilaf ulama:


(1) makruh;


(2) haram;


(3) boleh.


Pendapat mu’tamad (yang dipegangi) tidak mengharamkan sutra campuran bagi laki-laki. (Lihat al-Shāwī, Hasyiyyat al-‘Allâmah al-Shāwī…, juz II: 88, An-Nawawi, Raudhatut Thâlibîn, juz I: 571-576, al-Anshārī, Fathul Wahhāb, juz I: 82, al-Jaziri, al-Fiqhu ‘alal Mazhahibil Arba‘ah, juz II: 12-17).


Ragam Pandangan Ulama perihal Aurat Perempuan

Mengenai ketentuan menutup aurat dalam perspektif fiqih, khususnya ketentuan aurat bagi perempuan muslim dalam relasinya dengan laki-laki bukan mahram, minimal ada 5 (lima) pendapat mazhab.


Pertama, pendapat ulama Hanafiyah dan Malikiyah, dan satu dari dua pendapat imam Syafii menyatakan bahwa wajah dan kedua tangan perempuan bukanlah aurat.


Kedua, pendapat imam Ahmad bin Hanbal, juga al-Syafii dalam satu pendapatnya yang lebih kuat menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan merdeka (bukan budak) adalah aurat, jadi cara memakai jilbabnya model cadar.


Ketiga, suatu riwayat (pendapat) dari Abu Hanifah menyatakan bahwa kedua kaki perempuan bukan aurat –di samping wajah dan kedua tangan bukan aurat, karena tingkat kesulitan menutupinya lebih sangat daripada menutup kedua tangan, terlebih umumnya perempuan di perkampungan yang fakir miskin, menyusuri jalanan untuk mengais rizki memenuhi kebutuhan mereka.


Keempat, pendapat Abu Yusuf (murid Abu Hanifah, salah satu tokoh utama mazhab Hanafiyah), menambahkan bahwa kedua lengan tangan juga bukan aurat, karena ada kesulitan untuk menutupinya.


Kelima, lebih progresif lagi, dalam mazhab Hanafi ini terdapat pendapat meskipun tidak lebih sahih (ghairu ashah) yang membolehkan perempuan muslim terbuka rambut kepalanya. Perbedaan pendapat itu muncul karena ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan QS. al-Nûr (24) ayat 31. (al-Syekh Muhammad ‘Alî al-Sâyis, Tafsîr  Ayât al-Ahkâm, Kairo: Muassasat al-Mukhtâr, 2001, jilid II, halaman 160-170). 


Dalam perspektif ushul fiqih, fesyen muslim adalah bagian dari tujuan syariat atau ajaran Islam (maqâshid al-Syarî‘ah), spesifik dirumuskan dalam al-kulliyat al-khams (lima prinsip universal), dalam hal ini hifzh al-‘irdh, melindungi martabat dan kehormatan manusia.

Fesyen dalam arti menutup aurat dan badan adalah kategori dharûriyyât (kebutuhan primer/elementer). Fesyen dalam arti memperindah dan mempercantik diri (tazayyun, tajammul) merupakan kategori at-tahsîniyyât atau at-takmîliyyât, kebutuhan tersier atau komplementer, tetapi bisa naik pada kategori hâjiyyât (kebutuhan sekunder). 


Terdapat kaidah wasathiyyah (prinsip Islam wasathiyyah, Islam moderat, moderasi beragama): syariat tidaklah ekstrem kaku (muthlaq tasydîd) ataupun jumûd (rigid), dan tidak pula ekstrem longgar (muthlaq takhfif). Al-Syâthibî (w. 790 H/1388 M), dalam Kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah meneguhkan:


أن الشريعة حمل على التوسط: لا على مطلق التخفيف،... ولا على مطلق التشديد


Artinya: “Bahwa syariah diberlakukan atas prinsip pertengahan (moderat): bukan atas (prinsip) memberikan keringanan secara mutlak (muthlaq al-takhfif)... bukan pula atas (prinsip) memberatkan secara mutlak (muthlaq tasydid).”


Fesyen muslim dalam kategori at-tahsîniyyât atau at-takmîliyyât (kebutuhan tersier/komplementer), dapat dikembangkan bagi peningkatan ekonomi dan industri produk-produk halal di tanah air, agar dapat menjadi kiblat fesyen muslim bertaraf dunia.


Dengan demikian, dalam konteks pengembangan fesyen muslim melalui modest fashion menjadi penting menggunakan perspektif wasathiyyah,  mengikuti pendapat moderat, termasuk dalam hal menutup aurat atau memakai jilbab, di samping juga tidak mengedepankan model yang justru tidak fashionable atau tidak estetik, seperti celana cingkrang.


Ustadz Ahmad Ali MD, Pendiri dan Ketua Yayasan Manhajuna Madania Salam Kota Tangerang, Dosen Tetap Pascasarjana Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (Institut PTIQ) Jakarta.