Syariah

Larangan Gampang Menuduh Munafik Orang Lain

Sen, 7 Desember 2020 | 15:30 WIB

Larangan Gampang Menuduh Munafik Orang Lain

Munafik setidaknya terbagi dalam dua jenis, yakni munafik secara aqidah dan munafik secara perbuatan.

Akhir-akhir ini kita sering mendengar umat Islam saling mencaci saudaranya. Bahkan tak jarang, mimbar-mimbar masjid digunakan sebagai lahan untuk mengumbar ujaran kebencian seperti menuduh munafik kepada pihak tertentu. Apa definisi munafik?

 

Menurut Ibnu Rajab al-Hanbali, munafik secara bahasa adalah bagian dari penipuan, berbuat licik, dan menunjukkan perbuatan yang berbeda dari yang sebenarnya. Sifat munafik terdiri dari dua jenis yaitu:

 

Pertama, munafik secara aqidah, yaitu seseorang yang menunjukkan bahwa ia termasuk golongan orang yang beriman padahal sebenarnya ia mengingkari seluruh ajaran Islam atau sebagian darinya. Sifat inilah yang mengarahkan seseorang kepada kekafiran, dan sifat munafik seperti inilah yang selalu dikecam oleh Al-Qur’an.

 

Kedua, munafik secara perbuatan, yaitu seseorang menunjukkan perilaku yang baik tetapi menyimpan sifat sebaliknya, semisal seorang Muslim yang sering berdusta, sering mengingkari janji, sering berkhianat, dan sejenisnya (Abdurrahman Ibnu Rajab al-Hanbali, Kitab Jami’ al-Ulum, Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2001, vol. 2, hal. 481).

 

Menurut ar-Razi, Al-Qur’an mengancam golongan yang memiliki sifat munafik secara akidah dengan siksaan yang sangat berat melebihi siksaan untuk golongan orang-orang kafir. Hal ini dikarenakan mereka menyimpan kekafiran di hati mereka serta melakukan perbuatan penghinaan kepada umat Islam dengan berpura-pura menjadi orang Islam. Menurut sejarah, orang-orang munafik seperti inilah yang terdapat di zaman Rasulullah Saw. Mereka menunjukkan keislaman secara lahiriah akan tetapi dibalik itu mereka bersekutu dengan orang-orang kafir dan menyebarkan berita dusta untuk menghancurkan agama Islam. (Fakhruddin Muhammad bin Umar ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1999, vol. 11 hal. 251).

  

Sedangkan di sisi lain, para ulama sepakat bahwa orang yang memiliki sifat munafik secara perbuatan tidak termasuk dalam golongan orang munafik yang diancam dalam al-Qur’an.
 

وَفِي رِوَايَة : آيَة الْمُنَافِق ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اُؤْتُمِنَ خَانَ) وَقَدْ أَجْمَع الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ مَنْ كَانَ مُصَدِّقًا بِقَلْبِهِ وَلِسَانه وَفَعَلَ هَذِهِ الْخِصَال لَا يُحْكَمُ عَلَيْهِ بِكُفْرٍ، وَلَا هُوَ مُنَافِق يُخَلَّد فِي النَّار.فَاَلَّذِي قَالَهُ الْمُحَقِّقُونَ وَالْأَكْثَرُونَ وَهُوَ الصَّحِيح الْمُخْتَار : أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْخِصَال خِصَال نِفَاق، وَصَاحِبهَا شَبِيه بِالْمُنَافِقِ فِي هَذِهِ الْخِصَال، وَمُتَخَلِّق بِأَخْلَاقِهِمْ . فَإِنَّ النِّفَاق هُوَ إِظْهَار مَا يُبْطِن خِلَافه

“Dalam riwayat hadits (tanda-tanda orang munafik ada tiga yaitu ketika berbicara ia berbohong, ketika berjanji ia mengingkari, dan ketika ia diberi kepercayaan ia mengkhianati). Para ulama sepakat bahwa orang yang beriman sepenuhnya dengan hati dan lisannya, akan tetapi memiliki akhlak tercela sebagaimana dalam hadits di atas tidak dapat dikategorikan kafir dan tidak dapat juga dikategorikan golongan orang munafik yang diancam kekal di neraka. Maka pendapat yang diutarakan mayoritas ulama ahli tahqiq adalah hadits ini menyampaikan bahwa akhlak tercela tersebut adalah cerminan dari akhlak orang munafik. Seseorang yang memiliki akhlak tercela tersebut maka ia menyerupai akhlak orang munafik. Dan ia memiliki karakter sebagaimana karakter orang munafik. Karena pada dasarnya sifat munafik adalah menunjukkan hal yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya” (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 2010, vol. 2, hal. 42).

 

Oleh karena itu, kita sebagai Muslim yang baik tidak boleh mencaci maki sesama umat Islam dengan tuduhan munafik ataupun sejenisnya karena kesalahan mereka. Karena bisa jadi mereka yang kita hujat telah bertobat atas kesalahan-kesalahan mereka di luar sepengetahuan kita.

 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من عير أخاه بذنب لم يمت حتى يعمله

 

Rasulullah bersabda “Barang siapa menghina saudaranya sebab suatu  perbuatan dosa, niscaya ia tidak akan mati sebelum melakukan dosa yang sama” (HR Turmudzi).

 

Bahkan, para ulama menyerukan untuk memberikan hukuman kepada orang-orang yang secara serampangan menyebut saudara-saudara Muslim mereka dengan sebutan ataupun ejekan yang tidak baik terlebih ujaran tersebut ditunjukkan kepada orang yang saleh.

 

وإذا قذف مسلما بغير الزنا فقال يا فاسق أو يا كافر أو يا خبيث أو يا سارق أو يا منافق أو يا يهودي عزرهكذا مطلقا في فتاوى قضيخان وذكره الناطقي وقيده بما إذا قال لرجل صالح.

“Dan apabila seseorang menuduh seorang Muslim dengan tuduhan selain masalah perzinaan seperti ucapan ‘Wahai orang fasik’ atau ‘Wahai orang kafir’ atau ‘Wahai orang yang  jahat’, atau ‘Wahai pencuri’ atau ‘Wahai orang munafik’ atau ‘Wahai orang Yahudi’ maka ia harus diberi hukuman. Pendapat ini berlaku secara mutlak sebagaimana dalam kitab fatawa Syekh Qadhikhan. Sedangkan menurut an-Nathiqi, pendapat ini ditunjukkan ketika seorang Muslim yang tertuduh adalah orang yang saleh” (Ali bin Sulthan al-Qari, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih, Beirut: Dar al-Fikr, 2002, vol. 2, hal. 2381).

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo