Syariah

Maksud Ulama akan Kehilangan Otoritasnya ketika Berkolaborasi dengan Pemerintah

Ahad, 10 September 2023 | 07:30 WIB

Maksud Ulama akan Kehilangan Otoritasnya ketika Berkolaborasi dengan Pemerintah

Berjabat tangan. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Adanya relasi yang baik antara ulama dan umara (pemerintah) dalam membangun sebuah negara merupakan hal yang sangat penting. Dari aspek spiritual, ulama-lah yang memiliki peran dan kewajiban untuk merawat dan menjaganya, sementara dari aspek kebutuhan sosial maka umara-lah yang harus mengurusnya. Dengan baiknya spiritual dan terpenuhinya kebutuhan sosial suatu bangsa, maka akan tercipta sebuah negara yang aman, damai, dan sentosa.


Itulah kenapa Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin menyebutkan bahwa agama dan negara merupakan saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan, karena memang keduanya memiliki peran yang berbeda dalam membangun sebuah bangsa. Agama yang dipegang teguh oleh para ulama akan menjadi landasan dan referensi sebuah bangsa, dan negara yang ditangani oleh para umara akan senantiasa menjadi pengawalnya.


Oleh karena itu, penting adanya relasi yang baik antara ulama dan umara untuk membangun sebuah bangsa. Ulama harus senantiasa memberikan nasihat dan masukan-masukan terbaik untuk kemaslahatan sebuah bangsa. Sementara umara harus menerima terhadap nasihat dan masukan tersebut.


Namun demikian, banyak yang menilai bahwa tindakan para ulama yang mendekati umara ini sebagai sebuah kesalahan. Bahkan ada yang menilai otoritas ke-ulama-annya akan hilang seketika, saat mereka sudah memiliki hubungan yang dekat dengan para pemerintah. Benarkah demikian? Atau seperti apa sebenarnya maksud dari ulama akan hilang otoritasnya ketika kolaborasi dengan umara?


Kolaborasi Ulama dan Umara

Perlu diketahui bahwa stigma buruk perihal ulama yang mendekati atau menjalin hubungan dengan pemerintah akan hilang otoritasnya bermula dari salah satu hadits nabi yang menegaskan bahwa para ulama merupakan penerus para utusan, sepanjang mereka tidak berbaur dengan pemerintah. Hadits ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Ja’far al-Uqaili, yaitu:


اَلْعُلَمَاءُ أُمَنَاءُ الرُّسُلِ عَلىَ عِبَادِ اللهِ تَعَالىَ مَا لَمْ يُخُالِطُوا السَّلاَطِيْنَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ فَقَدْ خَانُوْا الرُّسُلَ فَاحْذَرُوْهُمْ وَاعْتَزَلُوْهُمْ


Artinya, “Para ulama merupakan pemegang amanah para utusan atas hamba-hamba Allah swt, selama mereka tidak berbaur dengan pemerintah. Jika mereka melakukannya (berbaur dengan pemerintah), sungguh mereka telah berkhianat kepada para rasul, maka berhati-hatilah kepada mereka dan jauhilah.” (HR Anas bin Malik, dengan status hadits mursal. Sedangkan menurut Imam Abu Hatim dalam kitab al-Ilal (II/137), status hadits ini merupakan hadits munkar).


Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda:


إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْأُمَرَاءَ إِذَا خَالَطُوْا الْعُلَمَاءَ وَيَمْقُتُ الْعُلَمَاءَ إِذَا خَالَطُوْا الْأُمَرَاءَ لِأَنَّ الْعُلَمَاءَ إِذَا خَالَطُوْا الْأُمَرَاءَ رَغِبُوْا فِي الدُّنْيَا وَإِذَا خَالَطَهُمُ الْأُمَرَاءَ رَغِبُوْا فِي الْآخِرَةِ


Artinya, “Sungguh Allah mencintai penguasa (pemerintah) yang mendatangi ulama. Dan (Allah) membenci ulama yang mendatangi penguasa, karena ulama ketika dekat dengan penguasa akan senang pada dunia, namun jika penguasa yang mendekati ulama maka mereka akan senang pada akhirat.” (HR ad-Dailami).


Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda:


إِذَا رَأيْتَ العالِمَ يُخالِطُ السُّلْطانَ مُخالطَةً كَثِيرَةً فاعْلَمْ أنَّهُ لِصٌّ


Artinya, “Jika kamu melihat orang alim berbaur dengan penguasa, maka ketahuilah bahwa dia adalah pencuri.” (HR Abu Hurairah).


Dari beberapa hadits ini, Sayyid Muhammad Murtadha az-Zabidi dalam salah satu karyanya memberikan alasan kenapa para ulama akan kehilangan otoritasnya ketika sudah berbaur dengan pemerintah. Menurutnya, karena beberapa orang dari mereka akan melakukan kebohongan, kemunafikan, mencari muka dan ingin dipuji hanya untuk mendapatkan pangkat dan harta yang lebih banyak, padahal semua ini merupakan penyebab hancurnya agama seseorang.


Karena itu, menurut Sayyid Murtadha, para ulama seharusnya mengambil jarak dengan pemerintah agar bisa selamat dari beberapa perbuatan hina, agar otoritasnya tidak hilang. (Sayyid Murtadha, Ithafussadah al-Mutaqin bi Syarhi Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], juz I, halaman 638).


Dari penjelasan ini, tentu tidak semua ulama akan kehilangan otoritas keulamaannya ketika berkolaborasi dengan pemerintah sepanjang tujuannya benar, karena pada hakikatnya Islam tidak pernah melarang ulama untuk menjalin kerjasama dengan pemerintah sepanjang tujuannya dibenarkan, seperti untuk memberikan nasihat dan untuk membangun bangsa yang lebih maslahah. 


Namun jika tujuannya hanya untuk mendapatkan harta dari pemerintah, atau untuk mendapatkan jabatan dari mereka, maka ini tidak diperbolehkan dan masuk dalam kategori hadits dan penjelasan tersebut.


Pendapat ini sebagaimana dipertegas oleh Habib Abdullah bin Husain bin Tahir bin Muhammad bin Hasyim Ba’alawi. Dalam kitabnya ia menegaskan:


وَأَنْ لاَيَكُوْنَ مُتَرَدِّدًا عَلىَ السَّلاَطِيْنِ وَغَيْرِهِمْ مِنْ أَرْبَابِ الرِّيَاسَةِ وَالدُّنْيَا اِلاَّ لِحَاجَةٍ أَوْ ضَرُوْرَةٍ أَوْ مَصْلَحَةٍ دِيْنِيَّةٍ رَاجِحَةٍ عَلىَ الْمَفْسَدَةِ اِذَا كَانَتْ نِيَّتُهُ حَسَنَةً صَالِحَةً


Artinya, “Dan tidak boleh bagi seseorang untuk bolak-balik mendatangi penguasa dan yang lainya dari orang-orang yang memiliki kekuasaan dan dunia, kecuali karena kebutuhan, sangat mendesak, atau karena adanya kemaslahatan bagi agama yang nyata serta bisa mengungguli mafsadah (kerusakan), semua itu jika tujuannya baik.” (Habib Abdullah, Is’adurrafiq wa Bughyatus Shadiq, [Jeddah: al-Haramain: tt], juz I, halaman 129).


Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith Ba’alawi al-Husaini dalam salah satu kitab karyanya, ia menjelaskan:


اَلنَّهْيُ عَنِ الدُّخُوْلِ عَلىَ السَّلاَطِيْنِ وَالسَّعْيِ لَهُمْ لَيْسَ عَلىَ اِطْلاَقِهِ، بَلْ هُوَ فِي حَقِّ مَنْ يَطْلُبُ الدُّنْيَا. وَأَمَّا مَنْ قَصْدُهُ بِذَلِكَ النَّصِيْحَةُ لَهُمْ فَهُوَ خَارِجٌ عَنِ الذَّمِّ. فَاِطْلاَقُ الذَّمِّ عَلىَ ذَلِكَ مِنَ الْخَطَاءِ، فَاِنَّ كَثِيْرًا مِنَ الصَّالِحِيْنَ قَدْ دَخَلُوْا عَلَيْهِمْ وَلَكِنْ نَصِيْحَةً لَهُمْ وَشَفَقَةً عَلَيْهِمْ وَعَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ


Artinya, “Larangan (kepada para ulama) untuk mendatangi pemerintah dan pergi menuju mereka bukanlah (larangan) secara mutlak, tetapi hanya bagi mereka yang hanya mencari hal-hal duniawi saja. Sedangkan ulama yang (datang) dengan tujuan untuk memberikan nasihat kepada mereka, maka tidak tercela. Karenanya, memutlakkan celaan bagi semua ulama yang mendatangi pemerintah merupakan kesalahan, karena banyak dari kalangan orang saleh yang mendatangi mereka untuk memberikan nasihat dan didasari kasih sayang kepada mereka dan umat Islam.” (Habib Zain, al-Manhajus Sawi Syarh Ushuli Thariqatis Sadah Ba’alawi, [Darul Ilmi wad Da’wah: 2005], halaman 209).


Simpulan Hukum

Dari beberapa penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa ulama-ulama yang akan kehilangan otoritas keulamaannya adalah mereka yang berkolaborasi dengan pemerintah hanya dengan tujuan untuk mendapatkan harta dan pangkat saja, karena jika tujuannya demikian maka mereka akan melakukan segala cara untuk mendapatkan semua itu, mulai dari berbohong, munafik, mencari muka dan lain sebagainya.


Namun jika berkolaborasi dengan pemerintah disertai dengan tujuan yang benar, seperti untuk memberikan nasihat dan masukan-masukan yang positif tentang kemaslahatan suatu bangsa, maka tentu ini tidak akan kehilangan otoritasnya, bahkan memang tugas para ulama untuk memberikan nasihat tersebut. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.