Syariah

Maulid Nabi menurut Imam Abul Khair as-Sakhawi

Jum, 29 September 2023 | 18:00 WIB

Maulid Nabi menurut Imam Abul Khair as-Sakhawi

Foto ilustrasi (NU Online/Freepik)

Salah satu perayaan besar yang sudah menjadi tradisi umat Islam setiap bulan Rabiul Awal adalah memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Dalam sejarah umat Islam, bulan tersebut lebih dikenal dengan istilah bulan maulid, karena di bulan ini bertepatan dengan hari kelahiran manusia paling mulia, yaitu Nabi Muhammad, tepatnya pada hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awal.


Seremonial-seremonial yang dilakukan umat Islam memiliki banyak cara yang sangat beragam dalam mengekspresikan bahagia dan syukur mereka atas dilahirkannya baginda nabi. Ada yang mengundang tetangga untuk berkumpul bersama-sama, kemudian membaca shalawat dan sejarah Rasulullah. Ada juga yang berkumpul di masjid-masjid dan mushala, kemudian membaca shalawat dan sejarah nabi, dan ada juga yang melaksanakan pawai di jalanan sambil bershalawat kepada nabi.


Lantas, bagaimana sebenarnya perspektif ulama Ahlussunnah wal Jamaah perihal perayaan maulid nabi dengan seremonial yang sudah lumrah terjadi? Berikut ini penulis akan menjelaskan maulid nabi menurut pandangan Imam al-Hafiz Abul Khair as-Sakhawi sekaligus biografi singkatnya.


Maulid Nabi Menurut Imam as-Sakhawi

Perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad saw sebagaimana yang sudah menjadi tradisi umat Islam dalam setiap bulan Rabiul Awal dengan seremonial yang berbeda-beda, pada hakikatnya merupakan perbuatan yang mengandung keberkahan yang sangat agung. Meski para sahabat nabi tidak melakukan perayaan seremonial maulid sebagaimana yang lumrah terjadi saat ini, namun hal itu tidak berarti merayakannya adalah larangan.


Sepanjang perayaan maulid nabi tidak mengandung unsur-unsur kemaksiatan, maka merayakannya sangat dianjurkan dan orang-orang yang merayakannya akan mendapatkan berkah dan keutamaan dari Allah swt disebabkan maulid tersebut. Pendapat ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhammad Yusuf asy-Syami (wafat 942 H), mengutip fatwa Imam Abul Khair as-Sakhawi, yaitu:


"قَالَ أَبُو الْخَيْرِ السَّخَّاوِيُّ فِي فَتَاوِيْهِ: لَا زَالَ أَهْلُ الْإِسْلَامِ فِي سَائِرِ الْأَقْطَارِ وَالْمُدُنِ الْكُبْرَى يَحْتَفِلُونَ فِي شَهْرِ مَوْلِدِهِ بِعَمَلِ الْوَلَائِمِ الْبَدِيعَةِ الْمُشْتَمِلَةِ عَلَى الْأُمُورِ الْبَهْجَةِ الرَّفِيعَةِ، وَيَتَصَدَّقُونَ فِي لَيَالِيهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ وَيُظْهِرُونَ السُّرُورَ وَيَزِيْدُوْنَ فِي الْمَبْرَاتِ وَيَعْتَنُونَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيمِ وَيَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيمٍ."


Artinya, “Telah berkata Imam Abul Khair as-Sakhawi dalam kitab fatwanya: Umat Islam di berbagai daerah dan kota-kota besar senantiasa merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad dengan acara perjamuan yang sangat bagus, di dalamnya terdapat kebahagiaan yang mulia, di malam-malam (kelahiran)nya mereka bersedekah dengan aneka ragam sedekah, menampakkan kebahagiaan dan hal-hal yang bisa mendorong pada kebaikan, mereka juga sangat mementingkan pembacaan maulid nabi yang mulia, hingga tampak kepada mereka dari keberkahan (pembacaan maulid) suatu keberuntungan yang merata.” (Syekh Yusuf asy-Syami, Subulal Huda war Rasyad fi Sirati Khairil Ibad, [Kairo: 1997], halaman 439).


Dari penjelasan Imam as-Sakhawi di atas, dapat disimpulkan bahwa perayaan maulid nabi sebagaimana yang sudah terjadi di desa-desa hingga perkotaan, merupakan salah satu kegiatan yang mengandung banyak keberkahan, dan semua orang yang hadir dalam perayaan tersebut akan mendapatkan berkah yang sama rata dengan yang lainnya.


Biografi Singkat Imam as-Sakhawi

Imam as-Sakhawi merupakan salah satu ulama Ahlussunnah yang lahir pada pertengahan abad kedelapan Hijriah dan wafat pada awal abad kesembilan Hijriah, yaitu pada tahun 831 H di Kairo Mesir, dan wafat pada tahun 902 H di Makkah.


Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Najmuddin Muhammad al-Ghazi dalam kitab al-Kawakibus Sairah bi A’yanil Mi’ah al-‘Asyirah, as-Sakhawi bernama lengkap Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abu Bakar bin Utsman al-Hafiz Abul Khair as-Sakhawi.


As-Sakhawi terlahir dari keluarga yang berpendidikan. Ayahnya adalah seorang ulama besar di masa itu, sehingga ia sudah mengenal ilmu pengetahuan sejak masih sangat kecil. Karena itu, tidak heran jika ia tumbuh menjadi sosok seorang ulama dengan penguasaan ilmu yang sangat luas, tidak hanya dalam satu fan ilmu saja, namun bisa menguasai lintas disiplin ilmu pengetahuan.


Sebagaimana disebutkan dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Ia merupakan ulama ahli fiqih, hadits, sejarah, faraid, hisab, tafsir, ushul fiqih dan beberapa ilmu yang lainnya, bahkan ia sudah berhasil menghafal Al-Qur’an di usianya yang masih sangat balita,


أَبُو الْخَيْرِ السَّخَاوِي فَقِيْهٌ مُقْرِىءٌ مُحَدِّثٌ مُؤَرِّخٌ مَشَاركٌ فِي الْفَرَائِضِ وَالْحِسَابِ وَالتَّفْسِيْرِ وَأُصُوْلِ الْفِقْهِ. حَفِظَ الْقُرْآنَ وَهُوَ صَغِيْرٌ وَحَفِظَ كَثِيْرًا مِنَ الْمُتُوْنِ


Artinya, “Abul Khair as-Sakhawi adalah seorang ulama ahli fiqih, ahli qiraah, ahli hadits, sejarah, mendalami ilmu faraid, hisab, tafsir dan ushul fiqih. Ia telah menghafal Al-Qur’an sejak masih kecil, dan ia juga telah menghafal banyak matan-matan.” (Lihat, Mausu’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz VII, halaman 336).


Itulah sekelumit biografi singkat Imam Abul Khair as-Sakhawi sekaligus pendapatnya tentang perayaan maulid Nabi Muhammad. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.