Syariah

Membagi Warisan Sebelum Pewaris Meninggal, Bolehkan?

NU Online  ยท  Jumat, 16 Mei 2025 | 20:00 WIB

Membagi Warisan Sebelum Pewaris Meninggal, Bolehkan?

Ilustrasi kakek-nenek. Sumber: Canva/NU Online.

Warisan bukan sekadar harta peninggalan, melainkan amanah syariat yang diatur secara rinci dalam Al-Qurโ€™an dan hadits sebagai pedoman utama umat Islam. Untuk memastikan keadilan dan mencegah sengketa antar ahli waris, Islam menjadikan pengaturan warisan sebagai cabang ilmu tersendiri, yaitu ilmu faraid, yang mengatur pembagian harta secara adil sesuai ketentuan syariat.


Namun, di tengah masyarakat, muncul fenomena yang kian jamak: pembagian harta warisan sebelum sang pewaris wafat. Alasannya? Demi menghindari konflik keluarga di kemudian hari. Tapi, apakah langkah ini dibenarkan dalam Islam? Berikut penjelasannya.ย 


Syariat Islam telah mengatur beberapa mekanisme pengalihan hak kepemilikan harta-benda dengan cara: Hibah, Infaq, Sedekah, Jual Beli, Hadiah, Waris, Wakaf, Wasiat atau Zakat. Masing-masing darinya mempunyai ketentuan-ketentuan yang harus terpenuhi.ย 


Sebenarnya pembagian warisan sebelum sang pewaris wafat sebagaimana fenomena yang kian menjamak di tengah masyarakat ini tidak tepat, sebab waris adalah pengalihan hak kepemilikan harta-benda dari pemilik yang sudah wafat kepada penerima yang masih hidup, karena adanya hak warisan. Sedangkan faktualnya pewaris masih hidup.ย 


Kemudian jika istilah "warisan" tidak tepat, lantas apa istilah yang benar? Dan bagaimana hukumnya dalam Islam?


Sebelum menentukan istilah yang paling tepat, mari kita pahami terlebih dahulu esensinya. Fenomena yang dimaksud adalah: Orang tua membagikan bagikan harta kepada anak-anaknya selagi ia masih hidup untuk menghindari konflik atau permusuhan antar saudara. Dengan mengacu pada esensi praktik yang demikian maka dapat kita tentukan bahwa istilah yang tepat untuk fenomena "pembagian harta warisan sebelum sang pewaris wafat" adalah hibah atau pemberian.ย 


Syaikhul Islam, Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974) pernah ditanya persoalan yang mirip dengan pembahasan ini. Berikut jawaban beliau selengkapnya:ย 


ููŽุฃูŽุฌูŽุงุจูŽ ุจูุฃูŽู†ู‘ูŽู‡ู ุฅุฐูŽุง ู‚ูŽุณูŽู…ูŽ ู…ูŽุง ุจููŠูŽุฏูู‡ู ุจูŽูŠู’ู†ูŽ ุฃูŽูˆู’ู„ูŽุงุฏูู‡ู ููŽุฅูู†ู’ ูƒูŽุงู†ูŽ ุจูุทูŽุฑููŠู‚ู ุฃูŽู†ู‘ูŽู‡ู ู…ูŽู„ู‘ูŽูƒูŽ ูƒูู„ู‘ูŽ ูˆูŽุงุญูุฏู ู…ูู†ู’ู‡ูู…ู’ ุดูŽูŠู’ุฆู‹ุง ุนูŽู„ูŽู‰ ุฌูู‡ูŽุฉู ุงู„ู’ู‡ูุจูŽุฉู ุงู„ุดู‘ูŽุฑู’ุนููŠู‘ูŽุฉู ุงู„ู’ู…ูุณู’ุชูŽูˆู’ูููŠูŽุฉู ู„ูุดูŽุฑูŽุงุฆูุทูู‡ูŽุง ู…ูู†ู’ ุงู„ู’ุฅููŠุฌูŽุงุจูุŒ ูˆูŽุงู„ู’ู‚ูŽุจููˆู„ูุŒ ูˆูŽุงู„ู’ุฅูู‚ู’ุจูŽุงุถู ุฃูŽูˆู’ ุงู„ู’ุฅูุฐู’ู†ู ูููŠ ุงู„ู’ู‚ูŽุจู’ุถูุŒ ูˆูŽู‚ูŽุจูŽุถูŽ ูƒูู„ู‘ูŒ ู…ูู†ู’ ุงู„ู’ุฃูŽูˆู’ู„ูŽุงุฏู ุงู„ู’ู…ูŽูˆู’ู‡ููˆุจู ู„ูŽู‡ูู…ู’ ุฐูŽู„ููƒูŽุŒ ูˆูŽูƒูŽุงู†ูŽ ุฐูŽู„ููƒูŽ ูููŠ ุญูŽุงู„ู ุตูุญู‘ูŽุฉู ุงู„ู’ูˆูŽุงู‡ูุจู ุฌูŽุงุฒูŽ ุฐูŽู„ููƒูŽุŒ ูˆูŽู…ูŽู„ูŽูƒูŽ ูƒูู„ู‘ูŒ ู…ูู†ู’ู‡ูู…ู’ ู…ูŽุง ุจููŠูŽุฏูู‡ู ู„ูŽุง ูŠูุดูŽุงุฑููƒูู‡ู ูููŠู‡ู ุฃูŽุญูŽุฏูŒ ู…ูู†ู’ ุฅุฎู’ูˆูŽุชูู‡ูุŒ ูˆูŽู…ูŽู†ู’ ู…ูŽุงุชูŽ ู…ูู†ู’ู‡ูู…ู’ ุฃูุนู’ุทููŠูŽ ู…ูŽุง ูƒูŽุงู†ูŽ ุจููŠูŽุฏูู‡ู ู…ูู†ู’ ุฃูŽุฑู’ุถูุŒ ูˆูŽู…ูุบูŽู„ู‘ู ู„ููˆูŽุฑูŽุซูŽุชูู‡ู ูƒูŽุงู„ุฒู‘ูŽูˆู’ุฌูŽุฉูุŒ ูˆูŽุงู„ู’ุจูู†ู’ุชู ุงู„ู’ู…ูŽุฐู’ูƒููˆุฑูŽูŠู’ู†ู ูููŠ ุงู„ุณู‘ูุคูŽุงู„ูุŒ ูˆูŽุฅูู†ู’ ูƒูŽุงู†ูŽ ุฐูŽู„ููƒูŽ ุจูุทูŽุฑููŠู‚ู ุฃูŽู†ู‘ูŽู‡ู ู‚ูŽุณูŽู…ูŽ ุจูŽูŠู’ู†ูŽู‡ูู…ู’ ู…ูู†ู’ ุบูŽูŠู’ุฑู ุชูŽู…ู’ู„ููŠูƒู ุดูŽุฑู’ุนููŠู‘ู ููŽุชูู„ู’ูƒูŽ ุงู„ู’ู‚ูุณู’ู…ูŽุฉู ุจูŽุงุทูู„ูŽุฉูŒ. ููŽุฅูุฐูŽุง ู…ูŽุงุชูŽ ูƒูŽุงู†ูŽ ุฌูŽู…ููŠุนู ู…ูŽุง ูŠูŽู…ู’ู„ููƒูู‡ู ุฅุฑู’ุซู‹ุง ู„ูุฃูŽูˆู’ู„ูŽุงุฏูู‡ู ู„ูู„ุฐู‘ูŽูƒูŽุฑู ู…ูุซู’ู„ู ุญูŽุธู‘ู ุงู„ู’ุฃูู†ู’ุซูŽูŠูŽูŠู’ู†ู


Artinya, "Maka beliau menjawab bahwa apabila seseorang membagi harta yang dimilikinya kepada anak-anaknya, maka jika pembagian itu dilakukan dengan memberi kepemilikan kepada masing-masing anak melalui akad hibah yang memenuhi syarat-syaratnya, yaitu ijab, qabul, serta penyerahan atau izin dalam menerima kemudian anak-anak tersebut benar-benar telah menerima harta yang dihibahkan itu, dan semua itu dilakukan dalam keadaan si pemberi hibah masih sehat, maka hal tersebut diperbolehkan. Setiap anak akan sah memiliki bagian yang telah diberikan kepadanya, dan tidak ada seorangpun dari saudara-saudaranya yang berhak ikut memilikinya. Maka jika salah satu dari mereka meninggal, harta yang ada di tangannya seperti tanah dan hasilnya menjadi milik ahli warisnya, termasuk istri dan anak perempuan sebagaimana disebut dalam pertanyaan.


Namun, jika pembagian itu dilakukan bukan melalui cara memberi kepemilikan yang sah secara syariat, maka pembagian tersebut batal. Sehingga ketika orang tua itu meninggal, seluruh harta yang ia miliki menjadi warisan bagi anak-anaknya, dengan ketentuan: anak laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari anak perempuan, sebagaimana yang ditetapkan dalam syariat." (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubro, [Mesir, Al-Maktabah Al-Islamiyah: tt], juz IV, halaman 3).ย 


Dari jawaban Imam Ibnu Hajar di atas dapat disimpulkan bahwa pembagian harta orang tua kepada anak-anaknya semasa hidupnya itu dibenarkan, jika pemberian atau hibah yang dilakukan memenuhi syarat-syaratnya yaitu terdapat ijab, qabul, penyerahan dan penerimaan.ย 


Jika pembagian harta yang dilakukan tidak memenuhi syarat-syaratnya hibah, maka pembagian tersebut batal. Sehingga sebagai konsekuensinya ketika orang tua tersebut meninggal, seluruh harta yang ia miliki menjadi warisan bagi anak-anaknya serta pembagiannya sebagaimana yang ditetapkan dalam ilmu faraid.ย 


Dalam hal hibah, orang tua disunahkan menyamaratakan pemberian kepada seluruh anak-anaknya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, yang tua maupun yang masih kecil. Semuanya diperlakukan sama dalam hal pemberian tanpa membedakan. Hal ini, untuk mempererat rasa kasih sayang tidak menimbulkan rasa iri, saling membenci, dan permusuhan antara anak satu dengan yang lainnya yang nantinya akan merenggangkan ikatan keluarga tersebut. Berikut penjelasan kitab Fiqhul Manhaji:ย 


ููŠุณุชุญุจ ู„ู„ูˆุงู„ุฏ - ุฅุฐุง ุฃุฑุงุฏ ุฃู† ูŠู‡ุจ ุฃูˆู„ุงุฏู‡ ูˆูŠุนุทูŠู‡ู… - ุฃู† ูŠุณูˆู‘ูŠ ุจูŠู†ู‡ู… ููŠ ุงู„ู‡ุจุฉ ูˆุงู„ุนุทุงุก ุฐูƒูˆุฑุงู‹ ูƒุงู†ูˆุง ุฃู… ุฅู†ุงุซุงู‹ุŒ ูƒุจุงุฑุงู‹ ุฃู… ุตุบุงุฑุงู‹ุŒ ูˆุฐู„ูƒ ุชู…ุชูŠู†ุงู‹ ู„ู„ู…ุญุจุฉ ููŠู…ุง ุจูŠู†ู‡ู…. ูˆูŠูƒุฑู‡ ู„ู‡ ุฃู† ูŠู…ูŠุฒ ุจูŠู†ู‡ู…ุŒ ูˆุฃู† ูŠูุถู„ ุจุนุถู‡ู… ุนู„ู‰ ุจุนุถุŒ ุจุฒูŠุงุฏุฉ ุฃูˆ ุฎุตูˆุตูŠุฉุŒ ู„ู…ุง ูŠุคุฏูŠ ุฅู„ูŠู‡ ุฐู„ูƒ ู…ู† ุงู„ุญุณุฏ ุจูŠู†ู‡ู… ูˆุจุบุถ ุจุนุถู‡ู… ุจุนุถุงู‹ุŒ ูˆุชููƒูƒ ุฑูˆุงุจุท ุงู„ุฃุณุฑุฉ


Artinya: "Disunnahkan bagi orang tua, jika ia ingin memberi kepada anak-anaknya untuk menyamakan di antara mereka dalam hibah dan pemberian, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang besar maupun yang kecil. Hal itu dilakukan untuk mempererat rasa kasih sayang di antara mereka. Dan dimakruhkan bagi orang tua membeda-bedakan di antara mereka, atau mengutamakan sebagian atas yang lain dengan tambahan atau kekhususan tertentu, karena hal itu dapat menimbulkan rasa iri, saling membenci di antara mereka, dan merenggangkan ikatan keluarga." (Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha dan Ali As-Syarbini, Al-Fiqh al-Manhaji [Damaskus, Darul Qalam, cetakan ketiga: 1992] juz VI, halaman 131).ย 


Walhasil, membagi harta warisan sebelum orang tua meninggal dunia secara istilah adalah kurang tepat, bahkan bisa dikatakan keliru karena warisan itu dibagi setelah orang tua meninggal. Namun secara esensi, hal itu dapat dibenarkan apabila dilakukan dalam bentuk hibah yang sah, yaitu dengan memenuhi syarat-syaratnya: adanya ijab dan qabul, serta penyerahan dan penerimaan harta. Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka pemberian itu dianggap batal, dan setelah orang tua wafat, harta tersebut harus dibagi ulang sesuai dengan ketentuan ilmu waris yang berlaku.ย 


Selain itu, disunnahkan bagi orang tua dalam membagi harta kepada anak-anaknya dengan sama rata, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, yang tua maupun yang masih kecil, guna menghindari timbulnya rasa iri, permusuhan, dan kebencian antar saudara yang dapat meretakkan ikatan kekeluargaan. Wallahu a'lam


Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo.