Syariah

Meminta Hujan dengan Doa, Shalawat Nariyah, dan Istighfar

Sab, 7 Oktober 2023 | 17:00 WIB

Meminta Hujan dengan Doa, Shalawat Nariyah, dan Istighfar

Foto ilustrasi (NU Online/Freepik)

Saat musim kemarau panjang dan kekeringan melanda di mana-mana, semua orang mengeluhkan kekurangan air. Di antara ikhtiar atau usaha yang dapat dilakukan adalah mengikuti Nabi dengan melaksanakan shalat Istisqa’. Istisqa sendiri maknanya adalah memohon hujan kepada Allah ketika membutuhkan. 


Istisqa' atau cara meminta hujan kepada Allah ternyata tidak tunggal dengan melaksanakan shalat. Syekh Nawawi Banten (w. 1316) menjelaskan dalam kitabnya Nihayatuzain berkenaan dengan meminta hujan terdapat tiga cara. Di antaranya dengan yang paling minimalis berupa berdoa meminta hujan saja sampai yang paling sempurna dengan mengerjakan shalat dan dua khutbah. Berikut selengkapnya: 


والاستسقاء ثلاثة أنواع: أدناها أن يكون بالدعاء مطلقا فرادى ومجتمعين وأوسطها يكون بالدعاء خلف الصلوات فرضها ونفلها وفي خطبة الجمعة وخطبة العيدين ونحو ذلك، وأكملها يكون بالصلاة على الوجه الآتي  


Artinya, “Istisqa atau meminta hujan ada tiga macam-macam caranya, (1) cara paling minimalis adalah hanya berdoa baik sendirian atau secara berjamaah; (2) cara pertengahan atau sedang adalah dengan berdoa setelah shalat fardhu atau sunnah, dalam khutbah Jum’at, khutbah hari raya, dan semisalnya; (3) adapun yang paling sempurna adalah dengan melaksanakan shalat (dan khutbah) sebagaimana nanti dijelaskan.” (Muhammad Umar Nawwi al-Jawi, Nihayatuzzain, [Bairut, Darul Fikr: t.t], halaman 111). 


Masih menurut Syekh Nawawi Banten dalam kitabnya yang lain Qutul Habibil Gharib atau yang terkenal dengan Tausyikh ala Fathil Qarib al-Mujib menyebutkan suatu faedah bahwa membacakan ayat dan doa tertentu pada batu sejumlah 70.000 dapat digunakan untuk istisqa' atau meminta hujan. Berikut jelasnya:


(فائدة) والقراءة على الأحجار للاستسقاء أمر مستحسن مروي عن الحسن البصري وابن سيرين وغيرهما، يقرأ على سبعين ألف حصاة على كل واحدة مرة قوله تعالى: ﴿وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الوَليُّ الحَمِيدُ) [سورة الشورى: الآية، ۲۸] ويقرأ الدعاء في رأس كل مائة. اللهم لا تهلك بلادك بذنوب عبادك ، ولكن برحمتك الشاملة اسقنا ماء غدقاً تحيا به الأرض وتروى به العباد إنك على كل شيء قدير. ثم ترمي الحصيات في ماء جار أو راكد 


Artinya, "(Faedah) membaca (ayat dan doa) pada bebatuan untuk istisqa' adalah perkara yang dianjurkan, diriwayatkan dari Al-Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin dan dari selain keduanya: " Dibacakan masing-masing pada 70.000 batu kerikil firman Allah pada surat as-Syuro ayat 28. 


وَهُوَ الَّذِيْ يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْۢ بَعْدِ مَا قَنَطُوْا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهٗ ۗوَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيْدُ


Artinya, "Dialah yang menurunkan hujan setelah mereka berputus asa dan (Dia pula yang) menyebarkan rahmat-Nya. Dialah Maha Pelindung lagi Maha Terpuji."


Dan dibacakan doa pada setiap permulaan 100, doanya adalah: 


اَللَّهُم لا تَهْلِكْ بِلادَكَ بِذُنُوْبِ عِبَادَكَ ، وَلَكِنْ بِرَحْمَتِكَ الشَّامِلَةِ اِسْقِنَا مَاءً غدقاً تُحْيَا بِهِ الأَرْضُ وَتُرْوَى بهِ العِبَادُ إِنَّكَ عَلَى كُلِ شَيْءِ قَدِيْرٌ


Artinya, "Ya Tuhan, jangan engaku hancurkan negara-Mu sebab dosa-dosa hamba-hamba-Mu, tetapi dengan rahmat-Mu yang melimpah, berikan kami air yang melimpah sehingga bumi dapat hidup dan hamba-hamba-Mu segar (tidak dahaga) sesungguhnya Engkau mampu melakukan segala hal."


Kemudian setelah selesai batunya dilontarkan ke dalam air yang mengalir ataupun air yang tenang.


Masih menurut beliau, penduduk Maghrib atau kini disebut Maroko meminta hujan dengan membaca Shalawat Nariyah dalam satu majlis sejumlah 4.444 kali. 


Sebagian ulama mengatakan: "Dianjurkan meminta hujan dengan Shalawat Nariyah ini seperti dianjurkannya membaca shalawat Nariyah untuk terpenuhinya hajat.


Dan yang juga mempunyai manfaat untuk meminta hujan adalah tawasul dengan istighfar, yang lebih baik dikerjakan secara berjamaah dengan membaca: "Astaghfirullah waatubu ilaihi" sebanyak 100.00 kali. (Muhammad Umar Nawwi al-Jawi, Tausyekh ala Fathil Qarib al-Mujib, [Bairut, Darul Kutub Ilmiyah: 1418 H], halaman 140-141). Wallahu a'lam bisshawab.


Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo