Ilmu Tauhid

Nalar Teologis dalam Hujan Buatan

Sel, 3 Oktober 2023 | 14:00 WIB

Nalar Teologis dalam Hujan Buatan

Ilustrasi hujan. (Foto: NU Online/Freepik)

Hujan buatan merupakan upaya penyemaian awan yang dilakukan manusia untuk memodifikasi cuaca karena tujuan tertentu. Hal itu merupakan salah satu bentuk Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) yang diterapkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melalui Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC).

 

Beberapa waktu lalu wilayah DKI Jakarta diguyur hujan yang cukup deras pada siang hari, di mana ternyata hujan tersebut merupakan hasil modifikasi cuaca yang dilakukan BNPB, BMKG, dan tim. Hujan buatan ini ditujukan untuk membersihkan langit Jakarta dari polusi.

 

Hujan buatan yang merupakan hasil dari modifikasi cuaca diproses melalui aktivitas presipitasi air menjadi awan. Umumnya, bentuk aktivitas tersebut adalah cloud seeding atau penyemaian awan dengan menyebarkan serbuk Agl (perak iodida) di atas awan yang berpotensi hujan dengan bantuan drone.

 

Sisi positif dari modifikasi cuaca adalah suatu wilayah atau negara dapat mengelola cuaca sesuai yang diinginkan, namun sisi negatifnya, rekayasa yang berlebihan tentu akan merusak ekosistem tanah dan air, juga mungkin akan berdampak pada iklim.

 

Dalam kacamata sains, hujan dapat turun melalui tiga proses. Pertama evaporasi, atau proses penguapan air yang ada di bumi, mulai dari laut, danau, hingga sungai. Kedua, kondensasi, yaitu ketika uap air berubah menjadi kristal es di awan dan setiap tetesan air tersebut berkumpul. Tetesan air tersebut mengembun, menabrak, hingga berkumpul menjadi satu. Akibatnya, awan semakin berat karena semakin banyak kandungan airnya. Terakhir adalah proses peristiwa pencairan awan menjadi butiran air yang dinamakan presipitasi.

 

Sebagai umat muslim, tentu kita meyakini bahwa hujan merupakan rahmat dan salah satu bentuk rejeki dari Allah Swt. Allah Swt. berfirman dalam surat An-Nahl ayat 10:

 

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً لَّكُمْ مِّنْهُ شَرَابٌ وَّمِنْهُ شَجَرٌ فِيْهِ تُسِيْمُوْنَ

 

Artinya, “Dialah yang telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu. Sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan yang dengannya kamu menggembalakan ternakmu.” (An-Naḥl: 10).

 

Lebih spesifik lagi mengenai proses turunnya hujan, Allah Swt. berfirman dalam surat An-Nur ayat 43:

 

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يُزْجِيْ سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهٗ ثُمَّ يَجْعَلُهٗ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلٰلِهٖۚ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ جِبَالٍ فِيْهَا مِنْۢ بَرَدٍ فَيُصِيْبُ بِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَصْرِفُهٗ عَنْ مَّنْ يَّشَاۤءُۗ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهٖ يَذْهَبُ بِالْاَبْصَارِ ۗ

 

Artinya, “Tidakkah engkau melihat bahwa sesungguhnya Allah mengarahkan awan secara perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu menjadikannya bertumpuk-tumpuk. Maka, engkau melihat hujan keluar dari celah-celahnya. Dia (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung. Maka, Dia menimpakannya (butiran-butiran es itu) kepada siapa yang Dia kehendaki dan memalingkannya dari siapa yang Dia kehendaki. Kilauan kilatnya hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” (QS An-Nūr: 43).

 

Syekh Mushtafa Wahbah al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr, 1418) jilid 18, halaman 266, menjelaskan ayat ini secara global:

 

ألم تعلم أيها النبي وكل مخاطب كيفية تكوين المطر وإنزاله، إنه تعالى يسوق بقدرته السحاب أول ما ينشئه بعضه إلى بعض، بعد أن يتكون من بخار الماء الصاعد من البحار التي هي أربعة أخماس المعمورة، ثم يجمع ما تفرق من أجزائه في وحدة متضامة، ثم يجعل بعضه متراكما فوق بعض، حتى يتكون منه سحاب عال في طبقات الجو الباردة، ثم يسوق ذلك السحاب بالرياح اللواقح إلى المكان الذي يريد إنزال المطر فيه، ثم ينزل المطر من خلال السحاب، أي من نتوقه وشقوقه التي تتكون بين أجزائه

 

وهكذا ينزل اللّه المطر من طبقات السحب المتكاثفة التي تشبه الجبال، كما ينزل الثلج والبرد بحسب نسبة تأثير البرودة في الأبخرة المتصاعدة

 

Artinya, “Tidakkah kamu mengetahui wahai Nabi dan semua orang yang kamu sapa, bagaimana hujan itu terbentuk dan turun? Dia Yang Maha Kuasa dengan kekuasaan-Nya menggerakkan awan-awan terlebih dahulu sehingga tercipta satu sama lain, setelah awan terbentuk dari uap air yang naik dari lautan yang merupakan empat per lima bagian dari bumi, Allah kumpulkan lah bagian-bagian yang tersebar menjadi satu kesatuan yang padu, lalu sebagiannya dijadikan bertumpuk-tumpuk hingga membentuk awan-awan tinggi di lapisan atmosfer yang dingin. Awan-awan itu pun digerakkan dengan angin menuju tempat yang dikehendaki turunnya hujan, lalu hujan turun melalui celah dan bagian dari awan.”

 

Demikianlah Allah menurunkan hujan dari lapisan-lapisan awan yang kental menyerupai gunung sebagaimana turunnya salju serta hujan es turun sesuai dengan persentase pengaruh dingin pada derajat uap.”

 

Sekilas apabila melihat kedua ayat tadi maka dapat kita simpulkan bahwa hujan diturunkan oleh Allah Swt. Allah lah yang menciptakan proses dari awal hingga turunnya curah hujan di bumi sehingga menjadi nikmat bagi manusia. Namun dengan adanya fenomena modifikasi cuaca seperti saat ini, bagaimana cara kita tetap meyakini bahwa hujan sejatinya diturunkan oleh Allah?

 

Kita harus memahami dan meyakini bahwa setiap segala sesuatu yang terjadi di dunia ini terjadi atas kehendak Allah. Angin yang berhembus, burung yang terbang di langit, matahari yang terbit di timur, api yang membakar, cabai yang pedas dan peristiwa alam lainnya terjadi karena kehendak dan kuasa Allah.

 

Apabila kita meyakini dalam hati bahwa sifat panas dan membakar disebabkan oleh api, bukan karena Allah yang menghendaki api tersebut panas dan membakar, maka menurut pandangan teologis itu problematik. Begitu pun apabila kita meyakini rasa pedas dari cabai muncul dengan sendirinya, bukan karena Allah dengan kuasa-Nya menjadikan cabai itu pedas, itu pun problematik menurut Ahlusunnah Waljama’ah.

 

Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Syekh Abu Bakr al-‘Adni dalam al-Kharidah al-Bahiyyah:

 

مخالفٌ للغير وحدانية في الذات أو صفاته العليَّةْ
والفعلِ، فالتأثيرُ ليس إلا للواحد القهار جلَّ وعلا

 

[Allah] Berbeda dengan makhluk-Nya, Esa pada dzat atau sifat dan perbuatan-Nya. Maka yang memberi dampak terhadap sesuatu tidaklah ada melainkan hanya Allah semata.”

 

ومن يقل بالطبع أو بالعلة فذاك كفر عند أهل الملة
ومن يقل بالقوة المودعةِ فذاك بدعي فلا تلتفتِ

 

Siapa pun yang mengatakan suatu dampak terjadi secara alami (dengan sendirinya) atau didasari kausalitas, maka itu merupakan kekufuran menurut Islam. Siapa pun yang mengatakan bahwa suatu dampak terjadi karena kekuatan yang dititipkan Tuhan pada sesuatu, maka pemahaman tersebut merupakan bid’ah, janganlah tertarik!.”

 

Apabila kita melihat penjelasan di atas, maka jelas bahwa hujan terjadi karena kehendak dan kuasa Allah. Akan tetapi, Allah menciptakan peristiwa alam itu dengan langkah-langkah yang dapat dipahami manusia dan terjadi berulang-ulang, sehingga manusia biasa memahaminya sebagai kausalitas. Proses tersebut dalam ilmu tauhid biasa disebut dengan hukum ‘adi (adat).

 

Nalar teologis pada hujan buatan manusia

Pada kenyataannya manusia dalam hal ini hanya mengusahakan terjadinya hujan, di mana mereka menaruh suatu zat yang dapat mempercepat turunnya hujan atau memindahkannya ke wilayah lain. Hal ini sebagaimana terjadi dalam proses bioteknologi atau aktivitas botani yang dibantu dengan teknologi.

 

Keyakinan terhadap Allah sebagai penurun hujan harus tetap ada, namun Allah ciptakan melalui proses yang biasa terjadi secara kausalitas (hukum ‘adi). Artinya, sebab musabab proses modifikasi cuaca memang bisa menurunkan hujan, namun tidak menafikan sebuah kegagalan dari usaha tersebut terjadi.

 

Apabila diejawantahkan semuanya dapat diciptakan melalui sains, maka secara tidak langsung dapat menafikan keyakinan bahwa Allah lah yang menciptakan dampak dalam segala sesuatu. Jika demikian, bisa saja shalat istisqa pun mungkin ditinggalkan sebab adanya teknologi modifikasi cuaca, karena unsur keyakinan bahwa Allah yang menurunkan hujan sudah tiada.

 

Lantas, apakah dengan demikian sains bertentangan dengan agama? Tentu tidak, justru keduanya dapat berjalan beriringan. Tinggal bagaimana kita menalar dan memetakan mana usaha manusia dan mana takdir Allah dalam suatu peristiwa alam kemudian dihubungkan dengan hukum ‘adat. 

 

Hujan buatan atau rekayasa hujan sendiri merupakan ikhtiar manusia melalui sains untuk memenuhi kebutuhan seperti mengairi sawah dan ladang, membersihkan langit dari polusi, kebutuhan rumah tangga atau peternakan, irigasi dan lain sebagainya.

 

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka manusia diperintahkan untuk berusaha dan melakukan suatu upaya. Terlebih lagi manusia diciptakan dengan anugerah besar berupa akal, maka sudah sepatutnya mengupayakan solusi dari sebuah problem dan berikhtiar.

 

Terkait dengan ikhtiar, Allah Swt. pernah berfirman dalam surah Ar-Ra’d ayat 11:

 

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ

 

Artinya, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

 

Dalam ayat 39-42 surat An-Najm Allah Swt. juga berfirman:

 

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ، وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ، ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَىٰ، وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الْمُنْتَهَىٰ

 

Artinya, “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu).”

 

Dengan demikian, pada hakikatnya Allah Swt. telah mengatur alam semesta dengan serapi dan sangat tersistem. Akan tetapi manusia juga dituntut untuk merawat alam yang diciptakan Allah melalui berbagai upaya, salah satunya adalah sains. Tentunya setiap upaya untuk perbaikan bumi akan dinilai baik dan selaras dengan perintah Allah karena telah memaksimalkan akal dan tubuh untuk berusaha dan berupaya di dunia. Wallahu a’lam.

 

Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences