Shofiyatul Ummah
Kolomnis
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Ustadzah yang saya hormati, saya ingin bertanya, bagaimana hukumnya jika terdapat wanita yang telah berulangkali mengalami haid namun tetap saja ia belum mengetahui penghitungan masa haid dan masa sucinya.
Bahkan ia memiliki anggapan bahwa setiap keluar darah dari kemaluan merupakan darah haid. Lalu jika ia telah mengetahui kewajiban menghitung masa haid dan sucinya, dimulai dari manakah penghitungan haid dan sucinya? Terimakasih (Amatullah).
Jawaban
Wa'alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh. Penanya yang dirahmati Allah, sebagai umat yang dibebani untuk menjalankan syariat berupa kewajiban dan larangan, kita dituntut untuk mengetahui kewajiban tersebut beserta seluruh hal yang berkaitan dengannya. Demikian ini untuk menyempurnakan kewajiban itu sendiri. Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta'limul Muta'allim mengatakan:
:اعلم بأنه لا يفترض على كل مسلم ومسلمة طلب كل علم. وإنما يفترض طلب علم الحال، كما يقال أفضل العلم علم الحال وأفضل العمل حفظ الحال
Artinya, “Ketahuilah, tidak diwajibkan bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan untuk mempelajari segala jenis ilmu. Namun bagi mereka hanya diwajibkan mempelajari ilmu hal (ilmu yang dibutuhkan) sebagaimana yang dikatakan oleh ulama: 'Ilmu yang paling utama adalah ilmu hal, dan amal yang paling utama adalah menjaga hal (keadaan)'." (Burhanuddin Az-Zarnuji, Ta’limul Muta’allimi fi Thariqit Ta’allumi, [Dar Ibn Katsir: 2014], halaman 32).
Hukum Mengetahui Ketentuan Darah Haid
Mengingat bahwa fardhu 'ain hukumnya bagi setiap orang untuk mengetahui segala bentuk ilmu yang berkaitan dengan amal ibadah yang bersinggungan langsung dengannya, seperti mempelajari ilmu haid bagi orang yang mengalaminya, maka wanita yang tidak mengetahui dan tidak berusaha mempelajari ilmu haid dinilai berdosa karena tidak mempelajari ilmu yang menjadi kebutuhannya.
Adapun cara mempelajari ilmu haid jika wanita tersebut masih dalam kondisi single bisa dengan cara berguru ke berbagai tempat sesuai batas kemampuannya. Bahkan hukumnya wajib baginya untuk keluar rumah jika memang dibutuhkan untuk mempelajari ilmu tersebut. Sedangkan bagi wanita yang sudah bersuami, maka proses belajarnya melihat kondisi suami. Jika suaminya mampu untuk mengajarinya sendiri, atau mampu mendatangkan orang yang dapat mengajarinya maka ia dianggap cukup; sedangkan jika suami tidak mampu melaksanakan hal itu, maka istri boleh keluar rumah meskipun tanpa persetujuan dari suaminya untuk belajar ilmu tentang haid. Hal ini sesuai pendapat yang disampaikan oleh Al-Khatib As-Syirbini dalam kitab Al-Iqna':
ويجب على المرأة تعلم ما تحتاج إليه من أحكام الحيض والاستحاضة والنفاس فإن كان زوجها عالما لزمه تعليمها وإلا فلها الخروج لسؤال العلماء بل يجب ويحرم عليه منعها إلا أن يسأل هو ويخبرها فتستغني بذلك وليس لها الخروج إلى مجلس ذكر أو تعليم خير إلا برضاه وإذا انقطع دم النفاس أو الحيض وتطهرت فللزوج أن يطأها في الحال كراهة
Artinya, “Dan wajib bagi seorang perempuan mengetahui ilmu yang dibutuhkannya. Meliputi ilmu haid, istihadhah, dan nifas. Jika suami mengetahui ilmu tersebut maka wajib bagi suami untuk mengajarinya, dan jika tidak maka istri diperkenankan keluar untuk bertanya kepada orang alim, bahkan wajib hukumnya. Haram bagi suami mencegah istri keluar untuk keperluan itu kecuali saat suami mau bertanya (tentang ilmu tersebut), kemudian ia memberitahunya.” (Al-Khatib As-Syirbini, Al-Iqna’ bi Hamisy Al-Bujairimi 'alal Khatib, [Darul Fikr: 2003], juz I, halaman 367).
Yang perlu diketahui tentang haid dan fenomena kewanitaan lainnya, tentu berkaitan dengan hukum, ketentuannya, hal yang wajib dilakukan, dan hal yang harus ditinggalkan, serta shalat dan puasa yang harus diqadha.
Cara Tepat Menghitung Masa Haid dan Suci
Tidak semua darah yang keluar dari kemaluan wanita dikatakan darah haid. Di mana untuk menstatuskan darah sebagai darah haid setidaknya darah yang keluar dari kemaluan wanita tersebut memenuhi beberapa kriteria yang di antaranya adalah:
- Darah keluar tidak kurang dari 24 empat jam.
- Darah keluar tidak lebih 15 hari 15 malam.
- Masa pemisah antara dua darah haid tidak kurang dari 15 hari 15 malam.
Berdasarkan tiga ketentuan di atas, maka penghitungan dan pencatatan lama masa haid dan lama masa suci menjadi sangat krusial. Karena hal tersebut menjadi salah satu penentu apakah darah yang keluar dari kemaluan wanita dihukumi haid atau tidak. (Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiyah Al-Bajuri 'ala Ibn Qasim, [Darul Kutub Al-'Arabiyyah: 1999], juz I, halaman 112).
Penghitungan masa haid dan masa suci dimulai saat darah mulai keluar atau saat darah mulai berhenti. Semestinya hal itu dilakukan sejak awal siklus menstruasi terjadi. Penghitungan masa haid dan masa berhenti darah yang paling efektif dan paling umum dipraktikkan oleh banyak wanita adalah dengan melakukan pencatatan. Yakni mencatat kapan mulai haid dan kapan berhenti haid, serta berapa lama masa berhenti berlangsung. Catatan tersebut akan sangat berguna dan dibutuhkan saat seorang wanita mengalami siklus darah yang tidak normal (istihadhah).
Namun jika tidak memungkinkan dan seorang wanita telah melawati beberapa siklus haid tanpa catatan dan tanpa mengingat masa haidnya, maka saat ia sudah mengetahui keharusan mencatat dan memperhitungkan durasi haid dan suci, maka seketika ia berkewajiban mencatatnya dan tentunya dimulai dari haid terakhir yang ia alami jika tidak memungkinkan untuk mengetahui siklus haid sebelum-sebelumnya. Hal ini sebagaimana penjelasan Imam Al-Syarqawi:
قوله أونسيت انتساقها أي ونسيت النوبة الأخيرة أيضا وإلا ردت لمتلو الاستحاضة كالذي قبله فترد في ذلك في ثلاث صور إن لم تنتسق عادتها أو لم يتكرر الدور أو تكرر وانتسق ونسيت انتساقها وقد عرفت النوبة الأخيرة
Artinya, “(Atau ia lupa runtutan haid) dan ia lupa siklus haid terakhir juga. Namun jika ia tidak lupa, maka siklus istihadhah dikembalikan pada siklus terakhir haid sebelum istihadhah sebagaimana sebelumnya dalam tiga kondisi. Pertama, saat kebiasaan haidnya (wanita yang istihadhah) tidak teratur. Kedua, saat kebiasaan haid tidak berulang. Atau ketiga, saat kebiasaan haid berulang dan berurutan, namun ia lupa urutannya dan ingat masa haid terakhir”. (Imam As-Syarqawi, Hasyiyah Al-Syarqawi 'ala Syarhit Tahrir, [Al-Haramain: 1997], juz I, halaman 115).
Referensi di atas menjelaskan, bahwa haid terakhir dapat menjadi pertimbangan saat seseorang tidak mengetahui durasi haid sebelum-sebelumnya yang pernah dialami. Waallahu a’lam bisshawab.
Ustadzah Shofiyatul Ummah, Pengajar PP Nurud-Dhalam Ganding Sumenep
Terpopuler
1
Temui Menkum, KH Ali Masykur Musa Umumkan Keabsahan JATMAN 2024-2029
2
Baca Doa Ini untuk Lepas dari Jerat Galau dan Utang
3
Cara KH Hamid Dimyathi Tremas Dorong Santri Aktif Berbahasa Arab
4
Jadwal Lengkap Perjalanan Haji 2025, Jamaah Mulai Berangkat 2 Mei
5
Apel Akbar 1000 Kader Fatayat NU DI Yogyakarta Perkuat Inklusivitas
6
Pengurus Ranting NU, Ujung Tombak Gerakan Nahdlatul Ulama
Terkini
Lihat Semua