Mengenal Bank Syariah sebagai Lembaga Keuangan di Indonesia
Jumat, 18 Oktober 2024 | 21:00 WIB
Sarah Mutiara
Kolomnis
Bank Syariah merupakan bank yang secara operasional berbeda dengan bank konvensional. Salah satu ciri khas Bank Syariah yaitu tidak menerima atau membebani bunga kepada nasabah, akan tetapi menerima atau membebankan bagi hasil serta imbalan lain sesuai dengan akad-akad yang diperjanjikan.
Akad dan nisbah adalah dua hal yang berkaitan. Akad adalah perjanjian kontrak yang mengatur pembagian keuntungan dan kerugian dalam transaksi bisnis atau keuangan Islam, sedangkan nisbah ialah persentase tertentu yang disepakati dalam akad kerja sama sebagai perkiraan imbalan yang diterima oleh pemilik modal dari pengelola modal.
Konsep dasar Bank Syariah didasarkan pada Al-Qur’an dan hadits. Semua produk dan jasa yang ditawarkan tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw. (Ismail, Perbankan Syari’ah, [Jakarta, Kencana: 2011], halaman 23).
3 Hal tentang Bank Syariah
Kitab Mushariful Islamiyah menjelaskan 3 hal terkait bank syariah:
أولا: تعتبر المصارف الإسلامية وما في حكمها من المؤسسات المالية الإسلامية من صور ونماذج تطبيق قواعد وأسس الاقتصاد الإسلامي في مجال الصيرفة والمال، وذلك للتأكيد على أن الإسلام دين شامل ومنهج حياة، وأن شريعته صالحة لكل زمان ومكان، وهي تجمع بين الثبات والمرونة
Artinya, "Pertama: Bank syariah dan lembaga keuangan syariah sejenis merupakan contoh dan model penerapan kaidah dan landasan ekonomi Islam di bidang perbankan dan keuangan, guna menegaskan bahwa Islam adalah agama yang komprehensif dan pendekatan yang komprehensif. Kehidupan, dan hukum-Nya berlaku sepanjang masa dan tempat, serta memadukan stabilitas dan fleksibilitas."
ثانيا: تباشر المصارف الإسلامية أعمال تقديم الخدمات المصرفية، وأعمال الاستثمار والتمويل وما في حكمها، وذلك وفقا لأحكام ومبادئ الشريعة الإسلامية والفتاوى والقرارات والتوصيات الصادرة عن مجامع ومجالس وهيئات الفقه الإسلامي، وكذا الصادرة عن مؤتمرات الاقتصاد الإسلامي والمصرفية الإسلامية
Artinya, "Kedua: Bank syariah menjalankan usaha penyediaan jasa perbankan, kegiatan investasi dan pembiayaan, dan sebagainya. Keputusannya, sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip Syariah Islam, fatwa, keputusan dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh dewan, dewan dan badan yurisprudensi Islam, serta dikeluarkan oleh konferensi ekonomi Islam dan perbankan Islam."
ثالثا: تتمثل المقاصد الرئيسية للمصارف الإسلامية المساهمة في التنمية الاقتصادية والاجتماعية من خلال أنشطتها المختلفة فهي مصارف استثمارية تنموية ذات أبعاد اقتصادية واجتماعية، ولا تعتبر تاجرة في النقود أو في الديون كما هو الحال في البنوك التقليدية
Artinya, "Ketiga: Tujuan utama bank syariah adalah memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan sosial Dalam berbagai aktivitasnya, mereka merupakan bank investasi dan pembangunan yang berdimensi ekonomi dan sosial, dan tidak dianggap sebagai perdagangan Dalam bentuk uang atau utang, seperti yang terjadi di bank tradisional." (Husein Husein Shehata, Bank Syari’ah di antara Pemikiran dan Penerapan, [Kairo, Dar Ansyr lil-Jamiat: 2009], halaman 206).
Sejarah Bank Syariah
Pendirian bank syariah dimulai pada tahun 1928, ketika gerakan Islam di Mesir mulai melawan sekularisme yang didasarkan pada pemisahan agama dari kehidupan dan mengisolasinya di masjid.
Gerakan ini menunjukkan bahwa Islam adalah sistem yang komprehensif untuk semua aspek kehidupan, meliputi bidang ekonomi, manajemen, akuntansi, pemerintahan, dan politik. Salah satu buah dari gerakan Islam ini adalah berdirinya banyak unit perekonomian yang dikelola berdasarkan syariat Islam. perusahaan investasi, lembaga asuransi syariah, dana solidaritas sosial, dan sebagainya.
Bank syariah tidak muncul secara spontan atau improvisasi. Sebaliknya, hal ini didahului oleh upaya intelektual dan pengalaman praktis, yang mana banyak umat Islam menyumbangkan pemikiran dan pengalamannya.
Hal ini memerlukan kajian, analisis dan evaluasi pengalaman para ulama dan ahli, sehingga dapat dijadikan standar dan indikator dapat dirancang yang akan membantu dalam mengembangkan dan mengembangkan pengalaman ini di masa depan.
Para ahli ekonomi Islam menyatakan bahwa gagasan tentang perbankan sudah ada sejak awal Islam, ketika seorang penukar uang di suatu negara Islam diberikan surat pemberian hak untuk mengeluarkan sejumlah uang kepada penukar uang lain di negara lain. Tujuan dari proses ini adalah untuk menghindari membawa uang selama perjalanan jauh baik darat maupun laut karena takut dicuri dan hilang (Muhammad Abdullah Shahen, Peran Bank Syariah dalam Pembangunan Ekonomi, [Dār Ḥumaytharā lin Nashr: 2017], halaman 12-13).
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
Secara nasional perkembangan ekonomi Islam di Indonesia sangat diwarnai oleh perkembangan perbankan syariah yang diawali dengan berdirinya tiga BPRS di Bandung pada tahun 1991.
Untuk memperkuat keberadaan Bank Syariah, dikeluarkan juga UU No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memungkinkan penerapan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah. Saat ini eksistensi Bank Syariah semakin kuat dengan lahirnya Undang-Undang Perbankan Syariah yang mandiri, yaitu Undang-Undang No 21 tahun 2008 yang ditetapkan pada 17 Juni 2008.
Pertumbuhan Perbankan Syariah di Indonesia cukup menggembirakan. Per Desember 2008, tercatat ada lima Bank Syariah (Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Syariah Mega Indonesia, Bank Syariah BRI dan Bank Syariah Bukopin ), 27 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 131 Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
Dari jumlah ini, terdapat 951 kantor jaringan, belum termasuk jaringan kantor Office Channeling yang jumlahnya hampir mencapai 1.500 (Atho Mudzhar, Dialog Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan: Perbankan Syari’ah di Indonesia, [Jakarta, Bayt Alquran Museum Istiqlal: 2009], halaman 6-7).
Prinsip-Prinsip Bank Syari’ah
Prinsip-Prinsip Dasar Bank Syariah
- Prinsip keadilan ('adl). Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Prinsip keadilan merupakan nilai paling asasi dalam ajaran Islam. Menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman adalah tujuan dari risalah para Rasul Allah swt. (QS Al-Hadid: 25).
Keadilan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mana terdapat persamaan perlakuan di mata hukum, kesamaan hak kompensasi, hak hidup secara layak, hak menikmati pembangunan, dan tidak adanya pihak yang dirugikan serta adanya keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan.
- Takaful. Yaitu menjadikan semua orang Islam adalah saudara dan belum sempurna iman seseorang sebelum mencintai saudaranya melebihi cintanya kepada diri sendiri. Hal ini mendorong manusia untuk mewujudkan hubungan yang baik diantara individu dan masyarakat melalui konsep penjaminan oleh masyarakat atau takaful. Posisi nasabah, investor, atau penyimpan dan pengguna dana dan penghimpun dana sejajar saling bersinergi.
- Ketentraman
- Keterbukaan atau transparan, memberikan laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah dapat mengetahui.
- Universalitas, tidak membedakan suku, agama, ras dan golongan dalam masyarakat sebagai rahmatan lil’alamin.
Prinsip-Prinsip Syari’ah yang Dilarang dalam Perbankan Syari’ah
- Maisir
Ulama dan fuqaha Mendefinikan maisir (judi atau gambling) sebagai sebuah permainan yang mana satu pihak akan memperoleh keuntungan sementara pihak lainnya akan menderita kerugian.
Contoh penerapan maisir pada keuangan syariah adalah larangan untuk memberikan pembaiyaan pada bisnis yang mengandung unsur judi.
Contoh penerapan lain adalah larangan pada bank untuk menjadikan uang sebagai instrumen spekulasi dan mendapatkan keuntungan dari ketidakstabilan nilai tukar mata uang. (Windari dan Sry Lestari, Akuntansi Bank Syari’ah, [Medan, Mega Kreasi: 2021], halaman 27).
- Gharar
Gharar berasal dari bahasa Arab yang berarti resiko, tipuan, dan menjatuhkan diri atau harta ke jurang kebinasaan. Menurut istilah gharar mengandung ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian. Setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar.
Contohnya adalah gharar dalam waktu penyerahan. Gharar dalam waktu penyerahan dapat terjadi pada transaksi di Bank Syariah.
Misalnya Bank Syariah memberikan pembiayaan kepada nasabah yang mengajukan pembiayaan untuk Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR). Rumah yang dijadikan objek akad baru masih akan dibangun oleh pihak developer setelah akad ditandatangani. Sementara waktu penyerahan rumah tidak dituangkan dalam akad, apakah 1 tahun, 2 tahun atau bahkan 5 tahun yang akan datang.
Kenyataan setelah beberapa tahun pihak developer belum membangun rumah yang menjadi objek akad. Artinya, rumah belum bisa diserahterimakan. Walaupun demikian, proses pembayaran cicilan dari nasabah ke Bank Syari’ah tetap berjalan beberapa tahun ke depan.
Praktik tersebut masuk dalam kategori gharar dalam waktu penyerahan objek akad. Harusnya kapan waktu penyerahan objek akad berupa rumah harus dituangakn di dalam akad. Sehingga, bila ada pihak yang tidak bisa mengerjakan kewajibannya, bisa menuntut hal tersebut. (Hamli Syaifullah, Pengantar Perbankan Syariah, [Banyumas, Wawasan Ilmu: 2022], halaman 64).
- Riba
Makna harfiyah dari kata riba adalah pertambahan, kelebihan, pertumbuhan atau peningkatan atau hanya berorientasi pada keuntungan semata. Berbeda dengan jual beli yang merupakan suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak.
Akademi riset Islam, dalam konferensi kedua di Kairo (Mei 1965), yang mana para ulama dari 35 negara Islam memutuskan bahwa:
“Bunga atas segala jenis kewajiban adalah haram, riba pinjaman konsumen dan apa yang disebut pinjaman produktif, karena teks Al-Qur’an dan Sunnah digabungkan.”
Mereka dengan tegas melarang kedua jenis riba tersebut. Mereka juga menambahkan:
“Rekening berjangka, atau pembukaan kredit berbunga, dan semua jenis pinjaman lainnya dengan imbalan bunga, semuanya adalah transaksi riba yang diharamkan dan Bank Syariah berkomitmen terhadap hukum syariah ini, dan dinyatakan dalam dokumen mereka bahwa mereka berkomitmen untuk menerapkan ketentuan syariah Islam dalam segala hal yang berkaitan dengan aktivitasnya.”
Akad dan transaksi, dan khususnya penghapusan riba dalam segala bentuk dan namanya, baik yang tersurat, tersembunyi, atau serupa.
Keputusan syariah yang melarang bunga bank tidak dapat diubah, bahkan dengan keputusan majelis umum luar biasa yang berwenang untuk mengubah syarat dan ketentuan sistem dasar.
Bank Syariah dalam pembiayaan dan investasi tidak melakukan riba dalam segala bentuknya bukanlah satu-satunya kewajiban Bank Syariah, melainkan juga wajib untuk tidak membiayai atau berinvestasi pada aktivitas yang dilarang oleh syariah atau yang dicurigai apa yang diharamkan, karena tidak boleh diambil manfaatnya di balik apa yang diharamkan sesuai dengan kaidah syariat yang mengatakan:
“Suatu manfaat yang dilarang oleh syariat melekat pada suatu manfaat yang tidak ada artinya.”
Demikian pula, berinvestasi dan bertransaksi pada kegiatan yang tidak dilarang harus dilakukan dengan cara yang tidak dilarang.
Jadi, Bank Syariah berkomitmen untuk menjauhi cara-cara terlarang seperti monopoli, penipuan, dan menciptakan krisis. Menaikkan harga dan hal-hal lain yang diharamkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. (Ashour Abdul Gawadei Al-Hamid, Sistem Hukum Bank Syari’ah, [Kairo, Insitut Pemikiran Internasional: 1996], halaman 20).
Ustadzah Sarah Mutiara, Mahasiswi Universitas Nahdatul Ulama Indonesia, Ekonomi Syariah
Terpopuler
1
Kultum Ramadhan: Meningkatkan Kualitas Ibadah di 10 Malam Terakhir Bulan Ramadhan
2
Beasiswa BIB Dibuka 1 April 2025, Berikut Link Pendaftaran dan Persyaratannya
3
Kemenag Prediksi 1 Syawal 1446 H Jatuh pada 31 Maret 2025
4
Kiriman Kepala Babi dan Bangkai Tikus ke Tempo, Pers Hadapi Ancaman Represi dan Pembungkaman
5
NU dalam ‘Rumah Kaca’ Kolonial: Tokohnya Diawasi, Acaranya Dibubarkan Polisi
6
KH M. Zen Syukri, Murid Kinasih KH Hasyim Asy'ari Asal Palembang
Terkini
Lihat Semua