Syariah

Hukum Short Selling dalam Investasi Saham Syariah

NU Online  ·  Ahad, 6 Oktober 2024 | 13:00 WIB

Hukum Short Selling dalam Investasi Saham Syariah

Ilustrasi short selling. Sumber: Canva/NU Online

Saham adalah salah satu jenis investasi di pasar modal yang menawarkan keuntungan lebih tinggi dibandingkan instrumen investasi lain. Namun, keuntungan yang tinggi juga diimbangi dengan risiko yang setara. Oleh karena itu, investor memerlukan analisis investasi yang bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalisir risiko.

 

Namun, dalam transaksi saham syariah, sebagaimana mengutip Nayif dalam Ahkamul 'Uqud al-Madaniyyah (Riyadh, Maktabah Al-Qanun Wal Iqtishad, 2014: 13), investor harus memahami jenis transaksi yang dilarang dalam Islam sehingga tidak menyalahi aturan dalam muamalah. 

 

Short selling sendiri adalah transaksi penjualan saham yang tidak dimiliki oleh penjual pada saat transaksi dilaksanakan. Transaksi ini dilakukan pada saat investor berspekulasi akan terjadi penurunan harga dan mendapatkan keuntungan. Pedagang menggunakan Short Selling sebagai spekulasi, dan investor atau manajer portofolio dapat menggunakannya sebagai lindung nilai terhadap risiko penurunan posisi long.


Short selling merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh investor dengan cara meminjam sekuritas dan menjualnya di pasar terbuka, kemudian berniat untuk membelinya kembali saat harga lebih rendah.

 

Tujuan dari short selling adalah untuk mendapatkan keuntungan dari penurunan harga sekuritas dan meminimalisir risiko ketika pasar saham sedang mengalami penurunan. Seperti yang dijelaskan oleh Said Ali Muhammad Abidin dalam Al-Iqtishad Al-Islami (Oman: Dar Dijlah, 2011: 20), short selling menawarkan potensi keuntungan yang besar, namun risikonya juga tinggi dan kerugian bisa meningkat dengan cepat, bahkan memicu panggilan margin.

 

Selain itu, strategi ini juga dianggap bertentangan dengan prinsip syariah. Short selling melibatkan spekulasi (maysir) dan ketidakpastian (gharar), sehingga tidak sesuai dengan prinsip jual beli dalam Islam. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni secara implisit (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997: 256-270), dalam investasi syariah, aset yang terlibat harus nyata dan tidak boleh mengandalkan keuntungan dari penurunan nilai sesuatu.

 

Berbeda halnya dengan simsarah atau reseller, di mana reseller terlibat dalam penjualan barang yang dimiliki atau sudah dipesan. Dalam hal ini, reseller membeli barang dari pemasok dan menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi. Praktik ini diperbolehkan dalam syariah asalkan memenuhi beberapa syarat, seperti barang yang dijual harus jelas, harga ditentukan sebelumnya, dan tidak ada unsur penipuan. 


Reseller bertanggung jawab atas kualitas barang yang dijual dan harus memastikan bahwa transaksi dilakukan dengan transparansi. Dalam konteks ini, reseller dapat beroperasi dengan mematuhi prinsip keadilan dan kejujuran, yang sejalan dengan prinsip jual beli dalam Islam. Prinsip tersebut juga seperti disebutkan secara general oleh Al-Mawardi dalam Al-Hawil Kabir fi Fiqhil Imam asy-Syafi'i Jilid II, (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005: 45-58).

 

Adapun terkait dengan hukum short selling, sebagaimana dalam transaksi jual beli lainnya, pada dasarnya semua kegiatan muamalah diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Keterangan ini sesuai dengan kaidah fiqih:

 

الأصل في المعاملة الاباحة حتى يدل دليل على تحريمها


Artinya, “Hukum asal dalam muamalah adalah boleh hingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”


Berdasarkan penjelasan dan dalil di atas, hal mendasar yang perlu dipahami adalah ketentuan muamalah dalam hukum Islam. Salah satu syarat sah jual beli, yaitu barang yang dijual sepenuhnya dimiliki oleh penjual, serta harga dan jenis barang harus jelas. Selain itu, Islam melarang jenis transaksi yang bersifat spekulatif karena akan menimbulkan kerugian yang lebih besar.

 

Meskipun tidak ada dalil yang secara langsung menyebutkan hukum short selling, namun prinsip-prinsip syariah tentang ketidakpastian dan spekulasi dapat dijadikan rujukan dalam kasus ini. Salah satu ayat yang menjelaskan muamalah dalam Islam adalah Qur’an surah Al-Baqarah ayat 188:


وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَلَا تَتَّخِذُوا بِهِ أَحْكَامًا إِلَى أَمْوَالِ النَّاسِ وَتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ إِلَى أَمْوَالِكُمْ


Artinya, “Dan janganlah kamu makan harta sebagian kamu kepada sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu bawa urusan itu kepada para hakim, agar kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain dengan cara yang sebagian itu diketahui.”


Ayat tersebut menekankan pentingnya kejelasan dalam transaksi dan larangan terhadap praktik yang tidak adil atau merugikan orang lain. Short selling, yang mengandalkan spekulasi dan bisa merugikan pihak lain, bertentangan dengan prinsip ini. Sebagaimana umum bagi kita semua, spekulasi dimaknai sebagai unsur gharar dalam jual beli.


Dengan demikian, transaksi short selling tidak diperbolehkan dalam transaksi saham syariah di pasar modal. Hal ini berdasarkan pada ketentuan hukum dan syarat sah jual beli dalam Islam yang tidak terpenuhi dalam transaksi short selling, sebagaimana dijelaskan oleh Hossein Askari dalam Introduction to Islamic Economics: Theory and Application (Solaris South Tower: Wiley Finance Series, 2015: 25).


Konsep Short Selling dalam Saham Syari’ah

Short selling adalah penjualan surat berharga yang tidak dimaksudkan untuk diserahkan langsung oleh penjual dari portofolio keuangannya, baik karena penjual bukan pemiliknya pada awalnya atau karena ia memilikinya namun tidak bermaksud menyerahkannya pada saat itu. Pada saat penjualan, penjual dalam short selling menjual apa yang tidak dimilikinya dengan harapan harga saham tersebut akan mengalami penurunan. 

 

Penjual kemudian meminjam saham perusahaan yang diperkirakan akan mengalami penurunan dari pialang, dan saham tersebut dijadikan jaminan (hipotek) untuk memastikan pembayaran.

 

Setelah harga saham turun, penjual membeli kembali saham tersebut dengan harga lebih rendah dan mengembalikannya kepada pemilik asli. Instrumen seperti ini disebut derivatif karena nilainya diturunkan dari nilai acuan instrumen investasi lain, seperti saham dan obligasi.

 

Dalam konteks penjualan ini, perlu diketahui bahwa pembeli short seller yang berhak atas pembagian keuntungan berdasarkan sertifikat kepemilikan saham. Short seller wajib membayar pembagian tersebut kepada pialang yang meminjamkan saham tersebut. Terdapat berbagai sudut pandang mengenai peran broker dalam transaksi ini. 


Broker dapat berfungsi sebagai mediator antara kedua pihak yang bertransaksi, mendekatkan sudut pandang mereka dengan imbalan biaya tertentu. Broker tidak mewakili salah satu pihak dalam menyelesaikan kontrak, melainkan bertugas untuk membimbing pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Selain itu, broker juga mungkin berperan sebagai agen komisi.

 

Pialang dalam konteks ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan surat berharga, baik yang membuangnya dengan izin terlebih dahulu atau yang merupakan penyimpan yang diberi wewenang untuk menggunakan simpanan tersebut.

 

Namun, jika pialang adalah penyimpan yang tidak sah dan menggunakan simpanan tanpa izin pemiliknya, maka pialang tersebut serupa dengan bank yang menggunakan dana nasabah di rekening giro tanpa persetujuan mereka. 


Dana tersebut dicampur dengan uang bank, dan bank menjadi berhutang pada dana yang dititipkan padanya, sehingga penyerahan dana tersebut berubah menjadi bentuk tanggung jawab penuh, bukan lagi sebagai bentuk kepercayaan.

 

Oleh karena itu, pialang yang menyalahgunakan wewenangnya akan memperoleh keuntungan namun juga harus menanggung kerugiannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Ahmed Firas Al-Orun dalam "Krisis Ekonomi Global Kontemporer dalam Perspektif Islam" (Amerika Serikat: Institut Pemikiran Islam International, 2012: 420-421), penyerahan dana seperti ini mengubah sifat transaksi menjadi tanggung jawab hukum penuh dari pihak pialang atau bank.


Sebagai kesimpulan, peran pialang dan mekanisme transaksi dalam short selling perlu diperhatikan dengan seksama, terutama dalam konteks hukum Islam. Pialang yang menyalahgunakan wewenangnya tidak hanya melanggar etika bisnis, tetapi juga mengubah transaksi menjadi bentuk tanggung jawab penuh yang melibatkan risiko besar.

 

Dalam pandangan Islam, transaksi seperti short selling yang melibatkan spekulasi dan ketidakpastian harus dihindari untuk menjaga integritas muamalah. Oleh karena itu, memahami prinsip-prinsip dasar keuangan syariah sangat penting dalam memastikan setiap transaksi yang dilakukan sesuai dengan ajaran agama, adil bagi semua pihak, dan bebas dari unsur gharar maupun maysir. Wallahu a'lam

 

Sarah Mutiara, Mahasiswi Universitas Nahdatul Ulama Indonesia, Ekonomi Syariah