Syariah

Mengonsumsi Makanan di Negara Berpenduduk Mayoritas Nonmuslim

Rabu, 4 Desember 2024 | 19:00 WIB

Mengonsumsi Makanan di Negara Berpenduduk Mayoritas Nonmuslim

Mengonsumsi makanan di negara berpenduduk mayoritas Nonmuslim (freepik).

Termasuk salah satu kewajiban umat Islam adalah mengkonsumsi makanan yang dilegalkan oleh syariat, yakni berupa makanan halal. Makanan halal tentu mudah didapatkan di negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Lain halnya dengan negara yang mayoritas penduduknya  Nonmuslim, mencari makanan halal menjadi tantangan tersendiri. 
 

Tantangan muncul karena tidak jelasnya status makanan yang ada, atau adanya dugaan serta kemungkinan makanan tersebut terkontaminasi dengan najis. Misalnya saja ketika masuk ke restoran yang menyediakan makanan halal sekaligus makanan nonhalal.
 

Merespon permasalahan ini, Jam’iyyah Perempuan Pengasuh Pesantren dan Muballigah (JP3M) mengkajinya dalam Bahtsul Masail Komisi C JP3M V di Pondok Pesantren Darussalam, Bergas, Semarang, pada 30 November 2024.
 

Kajian fokus pada persoalan utama, yaitu: 
 

"Bagaimana hukum makan di restoran yang menyediakan makanan halal dan makanan nonhalal di negara berpenduduk mayoritas nonmuslim?"
 

Bahtsul Masail JP3M V kemudian merumuskan jawaban:


"Hukum makan di restoran yang menyediakan makanan halal dan nonhalal di negara berpenduduk mayoritas nonmuslim diperinci sesuai makanan yang dikonsumsi sebagaimana berikut:

  1. Jika makanan berupa daging sembelihan, maka hukumnya haram kecuali telah mendapatkan penjelasan atau [ada] sertifikat halal dari orang yang halal penyembelihannya (orang Islam atau nonmuslim ahli kitab); dan jika tidak ada penjelasan/sertifikat halal[nya], maka hukumnya haram.
     
  2. Jika makanan bukan berupa sembelihan, seperti ikan dan sayuran, maka hukumnya halal selama tidak nyata-nyata kenajisannya."


Selain itu, Bahtsul Masail juga memberikan catatan penting sebagai bagian dari rumusan:

  1. Menurut pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’i, kotoran dan darah ikan hukumnya suci, karena melihat hukum bangkainya yang juga suci.
     
  2. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, ahli kitab dalam hal ini mencakup seluruh ahli kitab Yahudi dan Nasrani, baik yang nenek moyangnya masuk pada agama tersebut sebelum adanya perubahan ajarannya, maupun sesudahnya.
     

Untuk lebih memperjelas nalar hukum dalam keputusan tersebut kiranya perlu penulis uraikan rasionalisasinya. Hal ini berkaitan dengan status daging di negara non muslim, status orang yang dianggap sah penyembelihannya, dan status makanan yang berkemungkinan tercampur dengan najis. 
 

 

Status Daging di Negara Berpenduduk Mayoritas Nonmuslim

Status kehalalan makanan berupa daging di negara mayoritas berpenduduk nonmuslim selain Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, tentu tidak sama dengan daging di negara dengan penduduk mayoritas Muslim dan Ahli Kitab.
 

Hal ini karena kemungkinan adanya dugaan bahwa daging tersebut tidak sah penyembelihannya, karena tidak memenuhi syarat-syarat sah penyembelihan. Sehingga, meski daging berasal dari makanan yang sebenarnya halal di makan, seperti daging sapi atau kambing, namun masih memerlukan syarat khusus untuk kehalalannya.
 

Pandangan ini disampaikan oleh Syekh Sulaiman Al-Bujairimi:
 

وَلَوْ وَجَدَ قِطْعَةَ لَحْمٍ فِي إنَاءٍ أَوْ خِرْقَةٍ بِبَلَدٍ لَا مَجُوسَ فِيهِ فَطَاهِرَةٌ أَوْ مَرْمِيَّةً مَكْشُوفَةً فَنَجِسَةٌ لِعَدَمِ جَرَيَانِ الْعَادَةِ بِرَمْيِ اللَّحْمِ الطَّاهِرِ، أَوْ فِي إنَاءٍ أَوْ خِرْقَةٍ وَالْمَجُوسُ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَلَيْسَ الْمُسْلِمُونَ أَغْلَبَ فَكَذَلِكَ، فَإِنْ غَلَبَ الْمُسْلِمُونَ فَطَاهِرَةٌ 
 

Artinya, “Jika orang menemukan sepotong daging di dalam sebuah bejana atau dalam bungkusan di negeri yang tidak terdapat orang Majusinya, maka hukum daging tersebut adalah suci; atau ia menemukannya dalam kondisi terbuang dan terbuka, maka hukumnya najis karena secara umum adat yang berlaku di negeri seperti itu daging yang suci tidak dibiarkan terbuang.
 

Atau orang menemukan daging di dalam sebuah wadah atau sebuah bungkusan, sedangkan orang Majusi berada di antara orang muslim dan orang muslim tidak mayoritas, maka hukum dagingnya juga dianggap najis.
 

Lain halnya jika muslimnya merupakan penduduk mayoritas, maka daging yang ditemukan dihukumi suci." (Tuhfah Al-Habib, juz I, halaman 102).
 

Hukum di atas berlaku untuk semua bentuk daging yang beredar dan dijualbelikan, dengan mempertimbangkan ada atau tidak adanya indikasi kuat kehalalan daging. Artinya, hukum di atas ditetapkan karena ketidakjelasan status daging, apakah suci atau tidak, dan disembelih oleh orang yang halal sembelihannya atau tidak.
 

Sehingga jika status kehalalan daging sudah mendapat penjelasan dari orang yang sah sembelihannya atau badan sertifikasi halal, maka hukum mengonsumsinya adalah halal. 
 

Dalam kasus yang hampir sama, yaitu kasus daging impor, Syekh Ali Jumah menjelaskan:
 

وطريق معرفة ديانة الذابح بغلبة الظن، بأن يكون غالبية سكان هذه البلاد من المسلمين أو النصارى أو اليهود، ويشتهرأنهم يقومون بالذبح ولا يحرمونه ممن يتبعون دعاوى الرفق بالحيوان التي تحرم ذبحه، أو أن يكتب عليها عبارة مذبوح على الطريقة الإسلامية أمارات لنا في ترجيح كون ذبح اللحوم كان شرعيا، وقد أسلفنا كلام الإمام الرملي رحمه الله بأن إخبارهم يعد أمارة في ذلك
 

Artinya, "Cara mengetahui agama pennyembelih [dalam kasus daging impor] adalah dengan dugaan yang kuat. Yaitu bila mayoritas penduduk negara-negara pengimpor daging ini adalah orang Islam, Nasrani, atau Yahudi. Juga telah masyhur mereka melakukan penyembelihan hewan dan tidak mengharamkannya, yaitu dari orang-orang yang mengikuti paham mengasihi hewan sehingga mengharamkan penyembelihannya. 
 

Atau pada [kemasan] daging terdapat keterangan 'Disembelih dengan cara Islami', sebagai tanda bagi kaum muslimin untuk mengunggulkan dugaan bahwa penyembelihan hewan telah dilakukan secara syar'i. Telah saya sampaikan statemen Imam Ar-Ramli–rahimahullah–, bahwa informasi dari mereka dapat dianggap sebagai tanda kehalalannya." (Al-Bayan lima Yusghiluhul Adzhan, juz II, halaman 248).
 

 

Kriteria Orang yang Sah Penyembelihannya

Islam menetapkan beberapa syarat penyembelihan hewan agar hewan yang disembelih menjadi halal. Termasuk di antaranya adalah syarat orang yang menyembelih. Secara fiqih orang yang dianggap sah penyembelihannya hanyalah orang Islam dan orang Ahlul Kitab.
 

Imam Al-Ramli menjelaskan: 
 

ولو أخبر فاسق أو كتابي أنه ذكى هذه الشاة قبلناه لأنه من أهل الذكاة ولو وجدنا شاة مذبوحة ولم ندر أذبحها مسلم أو مجوسي فإن كان في البلد مجوسي لم تحل
 

“Andaikan ada orang fasik atau orang Ahli Kitab memberi tahu bahwa ia menyembelih kambing, maka pengakuannya dapat diterima, karena mereka termasuk dari Ahlud Dzakah (orang yang sah sembelihannya).
 

Jika kita menemukan kambing yang disembelih dan kita tidak tahu apakah kambing tersebut disembelih orang Islam atau Majusi, maka jika berada di negara Majusi hukum dagingnya adalah tidak halal.” (Nihayatul Muhtaj, juz I, halaman 113).
 

Melalui referensi ini menjadi jelas, hanya ada dua orang yang sah dan halal sembelihannya, yakni orang Muslim meskipun dia fasik, dan Nonmuslim Ahli Kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani.
 

Merujuk Imam Ahmad, maksud Ahli Kitab adalah setiap orang yang beragama Yahudi dan Nasrani, tanpa mempertimbangkan apakah moyangnya telah lama masuk pada agama tersebut atau tidak. Apakah moyangnya masuk setelah penyalinan dan pengubahan ajaran kitab suci mereka atau sebelumnya. 
 

'Alauddin Al-Mirdawi dari kalangan mazhab Hanbali menjelaskan:
 

كل من تدين بدين أهل الكتاب فهو منهم سواء كان أبوه أو جده قد دخل في دينهم أو لم يدخل وسواء كان دخوله بعد النسخ والتبديل أو قبل ذلك وهو المنصوص الصريح عن الإمام أحمد رحمه الله
 

Artinya, "Setiap orang yang beragama dengan agama Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, maka ia termasuk golongan mereka. Baik ayah atau kakeknya telah masuk dalam agama mereka atau belum, baik masuknya setelah penyalinan dan pengubahan kitab sucinya atau sebelumnya. Ini adalah pendapat yang manshush (disebut secara tegas) dan yang sharih (sangat jelas) dari Imam Ahmad." (Al-Inshaf, juz X, halaman 292).
 

 

Status Makanan yang Mungkin Tercampur Najis

Konteks pembahasan ini lebih fokus pada hukum makanan-makanan selain daging, yaitu ikan atau sayuran yang secara hukum asalnya halal dikonsumsi. Hanya saja kadang makanan tersebut dikhawatirkan tercampur dengan najis sebab berada di negara yang mayoritas penduduknya Nonmuslim.
 

Berkaitan dengan hal ini terdapat kaidah fiqih yang penting dijadikan acuan hukum, yaitu: 
 

قاعدة مهمة: وهي أن ما أصله الطهارة وغلب على الظن تنجسه لغلبة النجاسة في مثله فيه قولان معروفان بقولي الأصل والظاهر أو الغالب أرجحهما أنه طاهر عملا بالأصل المتيقن لأنه أضبط من الغالب المختلف بالأحوال والأزمان 
 

Artinya, “Kaidah penting: Sungguh setiap barang yang hukum asalnya suci dan ada dugaan terkena najis karena umumnya najis dalam sesamanya, maka terdapat dua pendapat yang diketahui dengan pertimbangan hukum asal dan hukum yang tampak atau hukum yang umum.
 

Pendapat yang paling kuat adalah barang tersebut adalah suci dengan mengamalkan hukum asal yang pasti diyakini, karena hal tersebut lebih tepat daripada keumuman kondisi, yang berbeda-beda sesuai waktu dan keadaan.” (Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, [Dar Ibni Hazm], halaman 83).
 

Dengan demikian, makanan yang jelas secara asal wujudnya halal, maka akan tetap berstatus halal selama tidak secara kasat mata terkena najis. Artinya, mengonsumsi makanan selain daging hewan sembelihan, seperti ikan, sayuran, atau makanan lainnya di negara mayoritas Nonmuslim hukumnya dibolehkan, selama tidak jelas-jelas terkena najis. Wallahu a’lam
 


Ustadzah Shofiyatul Ummah, Pengajar Pondok Pesantern Nurud-Dhalam, Ganding, Sumenep, dan Perumus Bahtsul Masail JP3M (Jam'iyyah Perempuan Pengasuh Pesantren dan Muballighah).