Syariah

Menjaga Kesehatan Mental dengan Shalat dan Dzikir

Rab, 11 Oktober 2023 | 06:30 WIB

Menjaga Kesehatan Mental dengan Shalat dan Dzikir

Dzikir (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental sedunia. Pada tahun ini, Hari Kesehatan Mental Sedunia mengusung tema Mental Health is a Universal Human Right atau Kesehatan Mental adalah Hak Asasi Manusia Universal.


Dalam sejarahnya, Hari Kesehatan Mental ini diadakan untuk menyadarkan pentingnya kesehatan mental dan juga memiliki kesehatan mental yang baik menjadi hak setiap manusia. Cakupan dari hak tersebut adalah layanan yang dapat diakses masyarakat berkualitas baik dan masyarakat memiliki kebebasan yang mandiri dalam menjaga kesehatan mental, serta perlindungan terhadap kesehatan mental.


Kesehatan mental sendiri, mengutip situs resmi WHO, adalah Mental health is a state of mental well-being that enables people to cope with the stresses of life, realize their abilities, learn well and work well, and contribute to their community (Kesehatan mental adalah keadaan mental yang sejahtera, yang memungkinkan seseorang untuk mengatasi tekanan hidup, menyadari kemampuannya, belajar dan bekerja dengan baik, serta berkontribusi pada komunitasnya).


Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi perihal kesehatan mental memfasilitasi umatnya dengan beragam aktivitas yang dinilai ibadah dan juga yang bersifat mu’amalah namun mengandung unsur ibadah. Beberapa aktivitas ibadah yang dapat menyehatkan mental di antaranya adalah shalat dan dzikir.


Shalat selain menjadi kewajiban bagi umat Islam, ia juga menjadi penenang jiwa apabila dikerjakan secara sungguh-sungguh. Di dalam shalat seakan kita berinteraksi dengan Allah yang Maha Besar, Maha Mendengar, Maha Mengetahui dan Maha Pengampun. 


Rasulullah saw. sendiri merasa tenang ketika shalat. Salim Abu al-Ja’d menceritakan ada seseorang yang berasal dari Khuza’ah berkata, “Seandainya aku shalat, maka aku pun dapat istirahat.” Orang-orang di sekitarnya pun menganggap aneh dan remeh setelah mendengar perkataannya itu. Akhirnya ia pun berkata:


سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَا بِلَالُ أَقِمْ الصَّلَاةَ أَرِحْنَا بِهَا


Artinya, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: "Wahai Bilal, dirikanlah shalat. Dan buatlah kami istirahat dengan shalat.” (HR. Abu Dawud).


Al-‘Azhm Abadi, penulis ‘Aun al-Ma’bud syarh Sunan Abi Dawud, menjelaskan alasan orang tersebut menjadikan shalat sebagai bentuk aktivitas peristirahatan karena di dalamnya mengandung munajat kepada Allah sehingga hamba dapat berinteraksi dengan Tuhannya, atau meminta pertolongan. Dikutip dari kitab tersebut:


نستريح بأدائها من شغل القلب بها وقيل كان اشتغاله بالصلاة راحة له فإنه كان يعد غيرها من الأعمال الدنيوية تعبا


Artinya: "[dengan shalat] Ia dapat beristirahat dari sibuknya hati. Konon, shalat menjadi aktivitas rehat karena aktivitas-aktivitas lainnya dianggap sebagai aktivitas duniawi yang melelahkan.” (Al-‘Azhim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud syarh Sunan Abi Dawud, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415], jilid XIII, hal. 225).


Shalat yang khusyuk dan baik akan menjadikan mental kita sehat dan membuat kita mampu menangani dan mengelola stres. Abu Umamah pernah meriwayatkan: 


عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَغْبَطَ أَوْلِيَائِي عِنْدِي لَمُؤْمِنٌ خَفِيفُ الْحَاذِ ذُو حَظٍّ مِنْ الصَّلَاةِ أَحْسَنَ عِبَادَةَ رَبِّهِ وَأَطَاعَهُ فِي السِّرِّ وَكَانَ غَامِضًا فِي النَّاسِ لَا يُشَارُ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ وَكَانَ رِزْقُهُ كَفَافًا فَصَبَرَ عَلَى ذَلِكَ 


Artinya, “Dari Nabi saw., beliau bersabda, ‘Sesungguhnya wali-wali yang terbaik menurutku adalah orang beriman yang ringan kondisinya, memiliki nasib yang baik dari shalat, menyembah Rabbnya dengan baik, menaati-Nya saat sepi, tidak dikenali orang dan tidak ditunjuk [orang-orang] dengan jari [sebab terkenal], rejekinya pas-pasan kemudian ia bersabar atas kondisinya’.” (HR. al-Tirmidzi).


Al-Mubarakfuri menjelaskan kata ‘dzu hazzhin minash shalah” dalam hadits tersebut sebagai orang-orang yang menjadikan shalat sebagai aktivitas yang menenangkan dan mengistirahatkan jiwa. Ketika shalat ia merasa diawasi dan menyaksikan kebesaran Allah sehingga shalatnya khusyuk. (Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, t.t], jilid VII, hal. 11).


Shalat yang dilaksanakan dengan baik dan benar juga akan berpengaruh terhadap sehatnya mental karena didasari atas kesadaran pengawasan Allah dalam shalatnya. Pengawasan Allah yang disadari dalam shalat ini biasa disebut sebagai ihsan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi saw.:


فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ


Artinya, “Dia [Jibril] bertanya lagi, ‘Beritahukan kepadaku tentang ihsan’. Nabi saw. menjawab, ‘Hendaknya engkau beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Apabila kamu tidak mampu melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu’.” (HR. al-Bukhari).


Dengan kekhusyukan dalam shalat dan rasa diawasi dalam beribadah, maka kita akan selalu merasa sadar dan tidak hilang pikiran. Sebab, manusia boleh jadi merasakan sedih sebab pikirannya kembali kepada kenangan buruk atau sedih yang pernah dialaminya, atau merasa khawatir karena memikirkan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.


Aktivitas yang kedua dan dinilai ibadah serta berpengaruh kepada kesehatan mental kita adalah berdzikir kepada Allah swt. Berdzikir dan mengingat Allah dapat menenangkan hati kita. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Ra’du ayat 28:


أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ   


Artinya, “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”


Dzikir dan mengingat Allah dapat membuat hati kita menjadi tenang. Dengan ketenangan yang ada dalam jiwa, maka kita dapat mengelola stres kita dengan baik, kita tidak mudah marah, tidak memperburuk keadaan dan memperumit suatu masalah yang dihadapi. Bahkan dengan ketenangan yang bersumber dari dzikir dan mengingat Allah kita dapat berlapang dada apabila mengalami suatu kehilangan.


Allah berfirman dalam surat Al-Hijr ayat 97-99:


وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ * فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ * وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ   


Artinya, “Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS Al-Hijr: 97-99).


Sebagaimana penjelasan Syekh Wahbah al-Zuhaili mengenai ayat di atas, bahwa ketika Nabi saw. gelisah akibat cercaan dan kata-kata hina yang diucapkan orang-orang musyrik kepadanya, Allah memerintahkan Nabi saw. melaksanakan beberapa hal supaya hatinya tenang, yaitu bertasbih, memuji Allah (tahmid), banyak shalat dan bersujud hingga datang ajal menjemput. (Wahbah Al-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, [Beirut, Darul Fikr Al-Mu’ashir], juz XIV, halaman 74). 


Selain dengan shalat dan dzikir, tentunya banyak lagi aktivitas dan anjuran dalam Islam yang dapat menjadi sarana menjaga stabilitas kesehatan mental. Misalnya adalah bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan, sehingga kita menjadi hamba yang merasa cukup atas sesuatu yang kita miliki dan butuhkan, tidak gelisah atau merasa kurang karena belum memiliki apa yang kita inginkan. Wallahu a’lam


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences