Syariah

Pajak dalam Pandangan Islam: antara Kemaslahatan dan Keadilan

Senin, 25 November 2024 | 13:00 WIB

Pajak dalam Pandangan Islam: antara Kemaslahatan dan Keadilan

Pajak dalam pandangan Islam (NU Online).

Baru-baru ini, keputusan pemerintah Republik Indonesia menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
 

Berita ini membuat banyak orang yang bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya Islam memandang pajak? Apakah pajak sejalan dengan ajaran Islam, dan apa tujuan utama pemungutan pajak menurut perspektif syariat?
 

Dari Faṭimah binti Qais, Rasulullah saw bersabda:
 

إِنَّ فِي الْمَالِ حَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
 

Artinya, “Sesungguhnya pada harta terdapat kewajiban lain selain zakat.” (HR At-Tirmidzi).
 

Al-Mubarakfuri memberikan penjelasan pada hadis ini:
 

إِنَّ فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ أي كَفِكَاكِ أَسِيرٍ وَإِطْعَامِ مُضْطَرٍّ وَإِنْقَاذِ مُحْتَرَمٍ فَهَذِهِ حُقُوقٌ وَاجِبَةٌ غَيْرُهَا لَكِنَّ وُجُوبَهَا عَارِضٌ
 

Artinya, "Pada harta terdapat kewajiban selain zakat, seperti membebaskan tawanan, memberi makan orang yang dalam keadaan darurat, dan menyelamatkan orang yang dihormati adalah hak-hak yang wajib dipenuhi, tetapi kewajibannya bersifat temporer (tidak permanen)." (Tuhfatul Ahwadzi, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah], jilid III, halaman 262).
 

Hadis ini mengandung penjelasan bahwa selain zakat, ada kewajiban sosial lainnya yang harus dipenuhi oleh pemilik harta, dan kewajiban ini bersifat insidental sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
 

 

Tujuan Pemunggutan Pajak

Hasil Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama (Munas NU) 2012 menyatakan:
 

"Pada dasarnya, tidak ada kewajiban pembayaran pajak dalam syariat Islam. Namun, pembayaran pajak boleh diberlakukan bagi rakyat yang mampu demi kemaslahatan umum, apabila sumber-sumber dana nonpajak yang telah dikelola dengan benar tidak mencukupi untuk kebutuhan negara." (PBNU, Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama, [Jakarta, LTN PBNU: 2012], halaman 52-53).
 

Pandangan ini sejalan dengan pendapat Imam Al-Ghazali yang dikutip oleh Imam An-Nawawi:
 

مَالُ المَصَالِحِ لَا يَجُوزُ صَرْفُهُ إِلَّا لِمَنْ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ أَوْ هُوَ مُحْتَاجٌ عَاجِزٌ
 

Artinya, “Harta untuk kepentingan umum tidak boleh digunakan kecuali untuk orang yang memberi kemaslahatan umum atau untuk orang yang sangat membutuhkan.” (Al-Majmu’, [Beirut, Darul Minhaj: 2007], jilid IX, halaman 349).
 

Dalam hal ini, pajak dianggap sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan negara demi kemaslahatan umum, selama tidak ada cara lain yang mencukupi.
 

 

Prinsip Keadilan dalam Pajak

Syaikh Abdul Wahhab Khalaf menjelaskan prinsip keadilan dalam zakat:
 

يُرَاعَى فِي حُصُولِ إِيرَادَاتِ الدَّوْلَةِ العَدْلَ وَالمُسَاوَاةَ، بِحَيْثُ لَا يُطَالِبُ فَرْدٌ بِمَا لَا يَفْرِضُهُ القَانُونُ وَلَا يُفَرَّضُ عَلَى فَرْدٍ أَكْثَرَ مِمَّا تَحْتَمِلُهُ طَاقَتُهُ وَتَسْتَدْعِيهِ الضَّرُورَةُ
 

Artinya, "Keadilan dalam pajak harus diperhatikan, sehingga tidak ada individu yang dibebani di luar kemampuannya atau dipaksa melebihi apa yang diperlukan. Sistem pajak negara harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan publik tanpa membebani individu atau mengabaikan kepentingan pribadinya." (As-Siyasah As-Syar’iyah, [Darul Qalam: 1988], halaman 106).
 

Prinsip ini menunjukkan bahwa pajak tidak boleh membebani secara berlebihan, dan harus dikelola untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Pajak diambil dari pertumbuhan harta, bukan dari modal pokok, sehingga pemilik harta tetap bisa memenuhi kewajibannya tanpa dirugikan.
 

Selain itu, ia menegaskan:
 

أَمَّا مِقْدَارُ الواجبِ وَمَوْعِدُ أَدَائِهِ وَطَرِيقَتُهُ فَقَدْ رُوعِيَ فِيهَا أَيْضًا الاِقْتِصَادُ وَالرِّفْقُ بِذَوِي الأموالِ مِنْ غَيْرِ تَفْوِيتٍ لِحَقِّ المَصْلَحَةِ العَامَّةِ
 

Artinya, "Jumlah kewajiban, waktu pembayarannya, dan metodenya, disusun dengan mempertimbangkan keseimbangan serta kebijaksanaan terhadap pemilik harta, tanpa melalaikan hak-hak masyarakat umum." (Khalaf, 119).
 

Ini menegaskan bahwa sistem perpajakan harus dirancang untuk menyeimbangkan antara kesejahteraan individu dan kemaslahatan kolektif.

 

Islam memandang pajak sebagai instrumen yang sah untuk mendukung kemaslahatan umum, selama penggunaannya transparan, adil, dan tidak membebani rakyat secara berlebihan. Pajak berfungsi sebagai mekanisme pendukung negara untuk menutup kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dari sumber lain.
 

Karena itu, prinsip keadilan dan kemanfaatan harus menjadi landasan utama dalam pelaksanaan pajak agar mampu mewujudkan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat. Wallahu a'lam.
 

 

Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah Batuan, Sumenep.