Syariah

Pandangan NU pada Konflik Agraria Rakyat dengan Pemerintah

Sab, 16 September 2023 | 18:00 WIB

Pandangan NU pada Konflik Agraria Rakyat dengan Pemerintah

Lahan pertanian. (Foto ilustrasi: NU Online)

Konflik lahan di Indonesia terbilang cukup marak terjadi di Indonesia. Konflik tanah, termasuk menjadi konflik sosial yang cukup lama berkelindan, dan belum juga usai hingga saat ini. Terdapat pelbagai faktor yang membuat konflik ini terus terjadi di tengah masyarakat, antara lain perebutan kepemilikan tanah, sengketa batas tanah, dan penggusuran. 


Berdasarkan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria [KPA], konflik agraria di Indonesia masih terus terjadi dan cenderung meningkat saban tahun. Pada tahun 2022, terdapat 212 konflik agraria yang terjadi, meningkat 4 kasus dibandingkan tahun sebelumnya yang berkisar di angka 207 konflik.


Berdasarkan data yang dihimpun dari KPA, sektor perkebunan memberikan sumbangan kasus agraria yang terbanyak sekitar 99 kasus. Konflik di sektor ini umumnya terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan, terkait dengan masalah kepemilikan lahan, ganti rugi lahan, dan pelanggaran hak-hak masyarakat.


Selanjutnya, yang cukup tinggi terjadi di sektor infrastruktur, yaitu sebanyak 32 kasus. Konflik di sektor ini umumnya terjadi antara masyarakat dengan pemerintah atau perusahaan swasta, terkait dengan pembangunan proyek infrastruktur, seperti jalan tol, bendungan, dan kawasan industri.


Di sisi lain, sektor properti dan pertambangan juga cukup tinggi menyumbang konflik tanah, masing-masing sebanyak 26 dan 21 kasus. Adapun konflik di sektor properti umumnya terjadi antara masyarakat dengan pengembang perumahan, terkait dengan masalah kepemilikan lahan, ganti rugi lahan, dan pelanggaran hak-hak masyarakat.


Di dalam Kasus konflik agraria di sektor kehutanan dan pertanian/agrobisnis juga masih terjadi, masing-masing sebanyak 20 dan 4 kasus. Konflik di sektor kehutanan umumnya terjadi antara masyarakat dengan pemerintah atau perusahaan swasta, terkait dengan masalah kepemilikan lahan, penebangan hutan, dan pelanggaran hak-hak masyarakat.


Sementara itu, kasus konflik agraria di sektor fasilitas militer dan pesisir dan pulau-pulau kecil juga terjadi, masing-masing sebanyak 6 dan 4 kasus. Sejatinya, konflik agraria memiliki dampak yang luas bagi masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Dampak ekonomi dari konflik agraria dapat berupa hilangnya mata pencaharian, kerusakan infrastruktur, dan penurunan produktivitas pertanian. 


Perampasan Tanah Rakyat di Pulau Rempang

Baru-baru ini, di bulan September 2023, terjadi bentrokan antara aparat keamanan dengan masyarakat di Pulau Rempang, Batam. Bentrokan ini dipicu oleh rencana penggusuran pemukiman warga untuk pembangunan Rempang Eco City, sebuah proyek pembangunan kota ramah lingkungan.


Konflik lahan di Pulau Rempang ini tidak terlepas dari persoalan hak dan kesejahteraan masyarakat. Warga Pulau Rempang yang sebagian besar merupakan masyarakat adat, mengklaim bahwa mereka telah tinggal di Pulau Rempang sejak tahun 1834. Mereka menolak untuk digusur dari tanah kelahiran mereka.


Pemerintah, melalui Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), mengklaim bahwa lahan di Pulau Rempang adalah milik negara yang telah diberikan hak pengelolaannya kepada PT Rempang Eco City Development. Perusahaan ini berencana untuk membangun kota ramah lingkungan di Pulau Rempang dengan luas area sekitar 1.000 hektar.


Konflik lahan di Pulau Rempang ini telah menjadi perhatian publik. Banyak pihak yang mendesak pemerintah untuk menyelesaikan konflik ini secara adil dan transparan. Pemerintah perlu memperhatikan hak-hak masyarakat dan memastikan bahwa pembangunan Rempang Eco City tidak merugikan Masyarakat. 


Konflik Agraria Rakyat VS Pemerintah menurut NU

Dalam Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) yang digelar di Bandar Lampung pada 22-24 Desember 2021 lalu memutuskan bahwa hukumnya haram perampasan tanah rakyat oleh negara. Berdasarkan hasil Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah Muktamar NU, bahwa tanah yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun baik melalui proses iqtha' (redistribusi lahan) oleh pemerintah atau ihya’ (pengelolaan lahan), maka pemerintah haram mengambil tanah tersebut.


Pasalnya, perampasan tanah rakyat oleh negara merupakan tindakan yang tidak adil dan melanggar hak asasi manusia. Tanah adalah hak milik rakyat yang dijamin oleh konstitusi, dan tidak dapat dirampas secara sewenang-wenang oleh negara.


Dalam Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah Muktamar Ke-34 NU juga menegaskan bahwa perampasan tanah rakyat dapat menimbulkan konflik sosial dan instabilitas keamanan. Hal ini karena tanah merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat, terutama masyarakat petani. Dengan demikian, pemerintah tidak boleh mengambil lahan yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun baik melalui proses iqtha' oleh pemerintah maupun ihya’.


Keputusan NU ini disambut baik oleh berbagai kalangan, termasuk aktivis agraria dan masyarakat sipil. Mereka menilai bahwa keputusan ini merupakan langkah penting untuk melindungi hak-hak rakyat atas tanah.


Keputusan NU ini juga diharapkan dapat mendorong pemerintah untuk lebih transparan dan akuntabel dalam pengelolaan tanah. Pemerintah juga diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang menjadi korban perampasan tanah.


Sementara itu, menurut Imam Syamsuddin Ar Ramli dalam kitab Hasyiyah Nihayatul Muhtaj penggusuran tanah untuk kepentingan umum adalah hal yang sah, namun harus dilakukan dengan memperhatikan aspek etika. Pemerintah tidak boleh sewenang-wenang dan merugikan warga yang terkena dampak penggusuran.


Ganti rugi yang diberikan kepada warga haruslah adil dan sepadan dengan kerugian yang dialami. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa penggusuran tersebut benar-benar untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.


Pemerintah juga harus memikirkan bagaimana nasib warga pascapenggusuran tanahnya. Warga harus mendapatkan bantuan untuk memulai kehidupan baru di tempat yang baru. Ia berkata; 


وَقَعَ السُّؤَالُ عَمَّا يَقَعُ بِمِصْرِنَا كَثِيْرًا مِنَ الْمَنَادَةِ مِنْ جَانِبِ السُّلْطَنَةِ بِقَطْعِ الطُّرُقَاتِ الْقَدْرَ الْغَلاَنِيَّ هَلْ ذَالِكَ جَائِزٌ وَهَلْ هُوَ مِنَ اْلأُمُوْرِ الَّتِيْ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا مَصْلَحَةٌ لِعَامَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ فَتَجِبُ عَلَى اْلإِمَامِ ثُمَّ عَلَى مَيَاسِرِ الْمُسْلِمِيْنَ أَمْ لاَ؟ وَالْجَوَابُ: أَنَّ الظَّاهِرَ الْجَوَازُ بَلِ الْوُجُوْبُ حَيْثُ تَرَتَّبَ عَلَيْهِ مَصْلَحَةٌ. وَالظَّاهِرُ الْوُجُوْبُ عَلَى اْلإِمَامِ فَيَجِبُ صَرْفُهُ أُجْرَةَ ذَلِكَ مِنْ أَمْوَالِ بَيْتِ الْمَالِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ ذَلِكَ لِظُلْمِ مُتَوَلِّيْهِ فَعَلَى مَيَاسِرِ الْمُسْلِمِيْنَ. وَاَمَّا مَا يَقَعُ الآنَ مِنْ اِكْرَاهِ كُلِّ شَخْصٍ مِنْ سُكَّانِ الدَّكَاكِيْنَ عَلَى فِعْلِ ذَالِكَ فَهُوَ ظُلْمٌ مَحْضٌ وَمَعَ ذَالِكَ لاَ رُجُوْعَ لَهُ عَلَى مَالِكِ الدُّكَّانِ بِمَا غَرِمَهُ إِذَا كَانَ مُسْتَأْجِرًا لَهَا لأَنَّ الظَّالِمَ لَهُ الأَخْذُ مِنْهُ وَالمَظْلُوْمُ لاَيَرْجِعُ عَلَى غَيْرِ ظَالِمِهِ.,


Artinya; "Ada pertanyaan, apakah memotong ruas jalan di Mesir yang di samping gedung pemerintah diperbolehkan, guna membangun manadah [tempat azan]? Apakah itu termasuk urusan yang mendatangkan manfaat bagi umat Islam, sehingga menjadi kewajiban imam, kemudian orang-orang kaya Muslim?


Jawabannya, menurut pendapat yang tampak, boleh bahkan wajib, jika itu mendatangkan manfaat. Kewajiban itu dibebankan kepada imam, dan harus diambilkan biaya dari harta baitul mal. Jika tidak dimungkinkan karena kezhaliman penguasa, maka dibebankan pada orang-orang kaya Muslim.


Adapun apa yang terjadi saat ini, yaitu memaksa setiap pemilik toko untuk melakukannya, maka itu adalah kezaliman murni. Namun, pemilik toko tidak dapat menuntut kembali apa yang telah ia bayar kepada imam, jika ia adalah penyewa toko, karena orang yang zalim berhak mengambil darinya, dan orang yang dizalimi tidak dapat menuntut kembali dari orang yang bukan zalimnya."


Hukum Islam melarang negara merampas tanah rakyat secara sewenang-wenang. Dalam konteks Indonesia, perampasan tanah rakyat oleh negara sering terjadi dalam kasus-kasus pembangunan proyek infrastruktur dan investasi yang diberikan pada pengusaha seperti jalan tol, waduk, perkebunan, dan kawasan bisnis khusus. Seringkali, masyarakat yang tanahnya dirampas tidak mendapatkan ganti rugi yang sepadan. Hal ini jelas bertentangan dengan hukum Islam.


Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk melindungi hak-hak rakyat atas tanahnya. Pemerintah harus menjamin bahwa perampasan tanah rakyat hanya dilakukan dalam keadaan dan cara yang adil. Selain itu, pemerintah juga harus memberikan ganti rugi yang sepadan kepada masyarakat yang tanahnya dirampas.


Zainuddin Lubis, pegiat kajian tafsir, tinggal di Ciputat