Hukum Pekerjaan yang Bersinggungan dengan Ritual Keagamaan Nonmuslim
Rabu, 12 Februari 2025 | 11:00 WIB
Sunnatullah
Kolomnis
Assalamu’alaikum wr. wb. Selamat siang, redaktur kolomnis Bahtsul Masail NU Online. Saya ingin bertanya, bagaimana hukum upah dari pekerjaan saya, halal atau tidak. Saya bekerja di sektor rental TV dan layar besar. Saya sering dapat kerjaan pasang, dan memutar video (video joki) di acara-acara gereja, tentu di dalamnya berisi video-video yang mempertuhankan Nabi Isa, meskipun saya tidak meyakini apa yang mereka yakini, tetap saja ini membuat hati saya bimbang. Syukran. (Hamba Allah).
Jawaban
Wa’alaikumussalam wr. wb. Penanya yang budiman, semoga kita selalu dalam lindungan Allah swt. Perlu diketahui, bahwa para ulama berbeda pendapat perihal pertanyaan sebagaimana yang disampaikan. Namun sebelum membahas lebih lanjut perihal perbedaan pendapat tersebut, penulis hendak menjelaskan terlebih dahulu bahwa akad yang terjadi dalam praktik ini adalah akad ijarah atau sewa-menyewa.
Ijarah merupakan salah satu akad yang ada dalam fiqih dan hukumnya boleh-boleh saja dan sah, sepanjang syarat-syarat dan rukun yang ada di dalamnya terpenuhi. Secara sederhana, ijarah bisa diartikan sebagai kontrak untuk menyewa jasa orang atau menyewa properti dalam periode dan harga yang telah ditentukan.
Adapun definisinya secara fiqih yaitu akad atas suatu manfaat yang dikehendaki, diketahui, dapat diberikan, dan dilegalkan pemanfaatannya secara syara’, dengan imbalan yang jelas. (Zakaria al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarhi Raudhit Thalib, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], jilid II, halaman 403).
Dalam hal ini, orang yang bekerja menyediakan jasa pemasangan dan pemutaran video disebut al-ajir. Sedangkan pihak penyewa jasa (pihak gereja atau penyelenggara acar) disebut al-musta’jir. Adapun barang atau peralatan yang digunakan dalam pekerjaan, seperti TV, layar besar, sistem audiovisual, dan yang lainnya disebut al-ma’qud ‘alaih, yaitu objek dalam akad sewa (ijarah).
Kendati demikian, akad ijarah terbagi menjadi dua bagian. Ada ijarah yang diperbolehkan atau juga disebut ijarah jaizah dan hukumnya sah, yaitu akad ijarah yang semua syarat-syarat dan rukunnya terpenuhi. Ada juga ijarah yang rusak atau ijarah al-asidah, yaitu akad ijarah yang tidak memenuhi syarat dan ketentuan-ketentuannya, dan hukumnya tidak diperbolehkan.
Adapun rukun-rukun ijarah ada empat, sebagaimana yang ditulis oleh Syekh Musthafa al-Khin, Syekh Musthafa al-Bugha, Syekh Ali as-Syarbaji, yaitu:
- dua pihak yang berakad;
- shighat (lafal/ucapan akad);
- manfaat; dan
- upah. (Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Mazhabil Imam As-Syafi’i, [Damaskus, Darul Qalam: 1992], jilid VI, halaman 139).
Masing-masing rukun ijarah di atas memiliki syarat sendiri-sendiri. Misal seperti manfaat yang ada dalam akad ijarah, salah satu syaratnya harus berupa manfaat yang diperbolehkan secara syara’. Artinya manfaat tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam dan tidak mengandung unsur yang diharamkan.
Sebab itu, tidak sah dan tidak diperbolehkan menyewa sesuatu untuk tujuan maksiat. Pendapat ini sebagaimana dicatat oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaili, dalam kitabnya mengatakan:
أَنْ تَكُوْنَ الْمَنْفَعَةُ الْمَعْقُوْدُ عَلَيْهَا مُبَاحَةً شَرْعًا: كَاسْتِئْجَارِ كِتَابٍ لِلنَّظرِ وَالْقِرَاءَةِ فِيْهِ وَالنَّقْلِ مِنْهُ. لَا يَجُوْزُ الْاِسْتِئْجَارُ عَلىَ الْمَعَاصِي
Artinya, “Manfaat yang menjadi objek akad harus diperbolehkan secara syariat, seperti menyewa buku untuk dibaca, dipelajari, dan disalin isinya. Tidak diperbolehkan menyewa sesuatu untuk tujuan maksiat.” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Damaskus, Darul Fikr: tt], jilid V, halaman 468).
Lantas, bagaimana jika orang bekerja di gereja atau di tempat-tempat peribadatan nonmuslim, seperti memasang dan memutar video di acara-acara gereja, sebagaimana yang telah ditentukan? Bagaimana hukumnya?
Baca Juga
Nonmuslim Gotong Royong Bangun Masjid
Merujuk penjelasan Imam Abu Abdillah Al-Baghawi (wafat 516 H) menjelaskan, terdapat dua pendapat dalam mazhab Syafi’i ketika seorang muslim disewa untuk membangun gereja.
Pendapat Mazhab Syafi'i
Pendapat pertama mengatakan tidak diperbolehkan, karena membangun gereja dinilai sebagai perbuatan haram, sehingga jika pekerjaan tetap dilakukan, maka upahnya pun tidak berhak diterima.
Sedangkan menurut pendapat kedua, akad tersebut hukumnya sah dan upah berhak diterima, karena gereja yang dibangun dalam hal ini hanyalah dianggap bangunan tempat tinggal, sebagaimana jika seseorang menyewa pekerja untuk membangun rumah biasa. Karenanya, hukumnya boleh, termasuk ijarah yang sah, dan upah yang diperoleh juga berhak untuk diterima.
فَلَوْ اسْتَأْجَرَ مُسْلِمًا لِبِنَاءِ كَنِيْسَةٍ، فِيْهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: لاَ يَجُوْزُ لِأَنَّهُ حَرَامٌ، وَإِذَا عَمِلَ لاَ يَسْتَحِقُّ الْأُجْرَةَ. وَالثَّانِي: يَصِحُّ، وَيَسْتَحِقُّ الْأُجْرَةَ؛ لِأَنَّ الْكَنِيْسَةَ مَا هِيَ إِلاَّ بِنَاءٌ يَسْكُنُوْنَهُ كَمَا لَوْ اسْتَأْجَرَهُ لِبِنَاءِ دَارٍ
Artinya, “Jika seseorang (nonmuslim) menyewa orang Islam untuk membangun gereja, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan hal tersebut tidak diperbolehkan, karena hukumnya haram. Jika pekerjaannya tetap dilakukan, maka a tidak berhak mendapatkan upah.
Pendapat kedua mengatakan bahwa hak tersebut sah, dan ia berhak mendapatkan upah, karena gereja tidak lain hanyalah sebuah bangunan tempat mereka tinggal, sebagaimana jika seseorang menyewanya untuk membangun rumah.” (At-Tahdzib fi Fiqhil Imam As-Syafi’i, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: t.t], jilid VII, halaman 536).
Berdasarkan dua pendapat di atas, jika dikorelasikan dengan pertanyaan penyewaan jasa pemasangan dan pemutaran video di acara gereja, maka hukumnya pun memiliki dua sudut pandang.
Pertama tidak diperbolehkan, karena dianggap sebagai bentuk kontribusi terhadap hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, dan upahnya tidak sah. Namun jika mengikuti pendapat yang kedua, hukumnya diperbolehkan.
Selain dua pendapat dari kalangan ulama mazhab Syafi’iyah di atas, juga terdapat dua pendapat dalam mazhab Hanafiyah, sebagaimana dicatat oleh Syekh Zainuddin Ibnu Nujaim, salah satu ulama tersohor dalam mazhab Hanafi.
Pendapat Mazhab Hanafi
Pendapat pertama, hukumnya diperbolehkan dan tidak makruh. Namun di dalam kitab Ad-Dakhirah sebagaimana dikutip oleh Ibnu Nujaim, ketika seorang Nasrani masuk ke dalam pemandian, maka bagi pelayan di tempat tersebut boleh melayaninya apabila tidak ada unsur untuk memuliakan mereka.
Sedangkan menurut pendapat kedua, hukumnya makruh melayaninya jika dengan tujuan untuk memuliakannya. Dalam salah satu kitab karyanya disebutkan:
وَلَوْ أَجَّرَ الْمُسْلِمُ نَفْسَهُ لِذِمِّيٍّ لِيَعْمَلَ في الْكَنِيسَةِ فَلَا بَأْسَ بِهِ. وفي الذَّخِيرَةِ إذَا دخل يَهُودِيٌّ الْحَمَّامَ هل يُبَاحُ لِلْخَادِمِ الْمُسْلِمِ أَنْ يَخْدُمَهُ قال إنْ خَدَمَهُ طَمَعًا في فُلُوسِهِ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَإِنْ خَدَمَهُ تَعْظِيمًا له يُنْظَرُ إنْ فَعَلَ ذلك لِيُمِيلَ قَلْبَهُ إلَى الْإِسْلَامِ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَإِنْ فَعَلَهُ تَعْظِيمًا له كُرِهَ ذلك
Artinya, “Jika seorang muslim menyewakan dirinya seorang dzimmi (nonmuslim yang hidup dalam perlindungan Islam) untuk bekerja di gereja, maka hukumnya boleh-boleh saja. Dalam kitab ad-Dzakhirah disebutkan: Jika seorang Yahudi masuk ke pemandian, apakah diperbolehkan bagi pelayan Muslim untuk melayaninya? (Imam Al-Qarafi penulis kitab ad-Dakhirah) berkata: 'Jika ia melayaninya karena mengharapkan upahnya, maka tidak mengapa.
Namun, jika ia melayaninya dalam rangka mengagungkannya, maka perlu dilihat: Jika ia melakukannya dengan tujuan menarik hatinya kepada Islam, maka tidak masalah. Tetapi jika ia melakukannya murni karena mengagungkannya, maka hal itu hukumnya makruh'.” (Al-Bahrur Raiq Syarh Kanzid Daqaiq, [Beirut, Darul Ma’rifah: t.t], jilid VIII, halaman 231).
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Imam Ibnu Abidin, juga merupakan salah satu ulama tersohor dalam mazhab Hanafi. Dalam kitabnya ia menjelaskan bahwa bekerja di tempat peribadatan nonmuslim, atau bekerja untuk memperbaiki rumah ibadah tersebut hukumnya diperbolehkan, karena sekadar bekerja tidak termasuk dari kemaksiatan.
وَلَوْ آجَرَ نَفْسَهُ لِيَعْمَلَ فِي الْكَنِيسَةِ وَيُعَمِّرَهَا لَا بَأْسَ بِهِ لِأَنَّهُ لَا مَعْصِيَةَ فِي عَيْنِ الْعَمَلِ
Artinya, “Jika seseorang menyewakan dirinya untuk bekerja di gereja dan memperbaikinya, maka hal itu tidak mengapa, karena tidak ada kemaksiatan dalam pekerjaan itu sendiri.” (Raddul Muhtar ‘alad Durril Mukhtar Syarh Tanwiril Abshar, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: t.t], jilid XXVI, halaman 481).
Menarik untuk diulas lebih lanjut, bhwa Imam Ibnu Abidin dan mayoritas ulama mazhab Hanafiyah membolehkan pekerjaan itu tanpa makruh, bahkan menganggap tidak ada kemaksiatan dalam pekerjaan itu sendiri.
Ia memandang bahwa suatu pekerjaan atau transaksi tidak serta-merta dianggap maksiat hanya karena ada kemungkinan digunakan untuk sesuatu yang dilarang oleh syariat. Yang menentukan apakah sesuatu itu maksiat atau tidak, bukanlah pekerjaan itu sendiri, melainkan bagaimana orang yang menyewanya menggunakan hasil dari pekerjaan tersebut.
Misalnya, seorang Muslim bekerja sebagai tukang bangunan yang membangun atau merenovasi gereja. Dalam pandangan Ibnu Abidin, yang ia lakukan hanyalah menyusun batu, mencampur semen, dan mendirikan bangunan. Tentu ini tidak termasuk tindakan ibadah atau dukungan terhadap keyakinan tertentu, melainkan pekerjaan teknis biasa. Jika bangunan itu kemudian digunakan untuk beribadah oleh orang lain, maka itu adalah pilihan dan tanggung jawab mereka, bukan si pekerja.
Dari penjelasan di atas, hemat penulis, merujuk pendapat Imam Abu Abdillah Al-Baghawi bahwa hukum pekerjaan memasang dan memutar video dalam acara gereja terdapat perbedaan pendapat.
Pendapat pertama menyatakan bahwa pekerjaan tersebut tidak diperbolehkan karena dianggap sebagai bentuk kontribusi terhadap hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, atau perbuatan haram, sehingga upah yang diterima pun tidak sah. Pendapat kedua mengatakan boleh, karena pekerjaan semacam ini hanyalah teknis pemasangan pada umumnya, dan upah yang didapatkan pun juga diperbolehkan.
Sedangkan merujuk pendapat Syekh Zainuddin Ibnu Nujaim dan Ibnu Abidin, hukum pekerjaan ini diperbolehkan dan tidak makruh selama tidak bertujuan untuk memuliakan nonmuslim, seperti agar mereka tertarik pada Islam, atau karena memang bertujuan untuk mendapatkan upah dari mereka. Namun jika dengan tujuan untuk memuliakannya, maka hukumnya makruh.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyarankan penanya agar mengikuti pendapat yang membolehkan dari beberapa pendapat yang telah disebutkan, karena pekerjaan tersebut bersifat teknis dan tidak serta-merta menunjukkan sikap memuliakan nonmuslim dalam konteks ibadah mereka.
Selain itu, aspek kebermanfaatan dan kebutuhan ekonomi juga menjadi pertimbangan, selama tidak ada unsur yang bertentangan secara langsung dengan prinsip-prinsip syariat. Dengan demikian, mengikuti pendapat yang membolehkan dapat menjadi pilihan yang lebih fleksibel dan tetap dalam koridor yang dibenarkan dalam Islam.
Demikian jawaban perihal hukum bekerja di tempat yang bersinggungan dengan peribadatan agama lain. Semoga bisa dipahami dan menjadi ilmu yang bermanfaat. Kami juga menerima saran dan masukan. Terimakasih. Wallahu a'lam.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, dan alumnus Program Kepenulisan Turots Ilmiah Maroko.
Terpopuler
1
Khutbah Idul Fitri 1446 H: Kembali Suci dengan Ampunan Ilahi dan Silaturahmi
2
Niat Zakat Fitrah untuk Diri Sendiri, Istri, Anak, Keluarga, hingga Orang Lain, Dilengkapi Latin dan Terjemah
3
Habis RUU TNI Terbitlah RUU Polri, Gerakan Rakyat Diprediksi akan Makin Masif
4
Kultum Ramadhan: Mari Perbanyak Istighfar dan Memohon Ampun
5
Fatwa Larangan Buku Ahmet T. Kuru di Malaysia, Bukti Nyata Otoritarianisme Ulama-Negara?
6
Gus Dur Berhasil Perkuat Supremasi Sipil, Kini TNI/Polri Bebas di Ranah Sipil
Terkini
Lihat Semua