Sirah Nabawiyah

Kebijakan Migrasi dan Kesejahteraan Pekerja di Era Umar bin Abdul Aziz

Kamis, 13 Maret 2025 | 06:00 WIB

Kebijakan Migrasi dan Kesejahteraan Pekerja di Era Umar bin Abdul Aziz

Ilustrasi Umar bin Abdul Aziz. (Foto: NU Online)

Di antara lembaran sejarah Islam, Umar bin Abdul Aziz menyeruak sebagai sosok pemimpin yang adil, kompeten dan bijaksana. Hal itu tercermin dalam kebijakannya memberikan kebebasan kepada pegawai dan rakyatnya untuk bermigrasi ke luar negeri, baik demi mencari kehidupan lebih baik maupun untuk memperjuangkan agama Allah. Lebih dari itu, ia juga menjamin kesejahteraan ekonomi para pegawai yang bekerja di bawah pemerintahan.

 

Ash-Shalabi menyebutkan, Umar bin Abdul Aziz berusaha mewujudkan dan memperkuat kebebasan pribadi bagi umat Islam kala itu. Ia melihat adanya beberapa pembatasan terhadap praktik hijrah atau migrasi, atau juga yang disebut sebagai kebebasan bergerak, baik dalam bepergian maupun berpindah tempat (Ad-Daulah al-Umawiyyah: ‘Awamil al-Izdihar wa Tada’iyat al-Inhiyar, [Beirut, Darul Ma’rifah, 2008], Jilid II, hlm. 146).

 

Oleh karena itu, ia mengambil kebijakan untuk membuka pintu hijrah dan migrasi bagi siapa saja yang menginginkannya. Ia menulis dalam suratnya yang ditujukan pada para pegawainya:

 

وأما الهجرة فإنا نفتحها لمن هاجر من أعرابي فباع ماشيته في الهجرة، وانتقل من دار أعرابيته إلى دار الهجرة

 

Artinya, “Adapun hijrah (migrasi), sesungguhnya kami membukanya bagi siapa saja dari kalangan Badui yang memilih untuk bermigrasi, menjual ternaknya demi hijrah, lalu berpindah dari kehidupan Baduinya menuju negeri hijrah...” (Hayat bin Muhammad bin Jabril, Al-Atsar al-Waridah ‘an Umar bin Abdul Aziz, [Madinah, Umadatul al-Bahts al-‘Ilmi, 1423 H/2002 M], jilid I, hlm. 129).

 

Dalam suratnya kepada para pejabat dan pegawainya, ia juga menegaskan, “Hendaklah pintu hijrah dibuka bagi kaum muslimin.” (Ad-Daulah al-Umawiyyah, Jilid II, hlm. 146).

 

Kebijakan Umar bin Abdul Aziz ini mencerminkan pandangan moderat dan toleran dari seorang pemimpin. Ia tidak memaksa siapa pun untuk tetap berada di wilayah tertentu, melainkan membuka akses yang lebar melalui kebijakan bagi mereka yang ingin bermigrasi ke daerah lain.

 

Dalam pandangannya, hijrah atau bermigrasi adalah hak setiap individu untuk memperbaiki diri, atau berkontribusi bagi kebaikan umat. Umar menunjukkan bahwa kebebasan pribadi tidak bertentangan dengan kepentingan umat. Ia justru melihat hijrah atau migrasi sebagai sarana untuk memperkuat Islam, baik melalui jihad melawan musuh, maupun melalui penyebaran nilai-nilai kebaikan di berbagai penjuru dunia.

 

Dengan membiarkan rakyat bermigrasi, Umar tidak hanya membebaskan mereka dari ikatan geografis, tetapi juga mempercayakan mereka untuk menjadi pionir penyebar nilai-nilai keislaman di mana pun mereka berada.

 

Perlu diakui, bukan karena alasan ekonomi semata, namun dorongan untuk berhijrah dan bermigrasi ke negeri lain pada masa Umar bin Abdul Aziz lebih ditujukan untuk memperluas syiar Islam ke berbagai penjuru dunia. Tujuan ini mencerminkan realitas sejarah saat itu, ketika semangat dakwah dan perluasan Islam begitu membara, sehingga istilah Darul Islam dan Darul Kufr masih eksis (Sami A. Aldeeb Abu-Sahlieh, The Islamic Conception of Migration, [Swiss Institute of Comparative Law, Lausanne, 1996], vol. Xxx, no. 1, hlm. 50).

 

Selain itu, teladan pengambilan kebijakan Umar bin Abdil Aziz selama menjadi khalifah juga memastikan pegawainya terhindar dari godaan korupsi dengan menjamin ketercukupan finansial mereka. Umar melapangkan tunjangan bagi pegawainya, memberikan seratus hingga dua ratus dinar per bulan, meski ia sendiri hidup sederhana bersama keluarganya (Ad-Daulah al-Umawiyyah, Jilid II, hlm. 355).

 

Ibnu Abdul Hakam meriwayatkan: “Umar telah melepaskan dirinya dari harta fai’ (harta rampasan perang yang diperuntukkan bagi kepentingan umum), sehingga ia tidak mengambil sedikit pun darinya kecuali bagian yang memang diberikan kepada kaum Muslimin secara umum.

 

Suatu hari, Ibnu Abi Zakariya datang menemuinya dan berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, aku ingin berbicara denganmu mengenai sesuatu.’ Umar menjawab, ‘Katakanlah.’ Lalu ia berkata, ‘Aku mendengar bahwa engkau memberikan gaji kepada para pejabatmu sebesar tiga ratus dinar.’

 

Umar menjawab, ‘Benar.’

 

Ia pun bertanya, ‘Mengapa demikian?’ Umar menjawab, ‘Aku ingin mencukupi mereka agar mereka tidak tergoda untuk korupsi.’

 

Mendengar hal itu, Ibnu Abi Zakariya berkata, ‘Kalau begitu, wahai Amirul Mukminin, engkau lebih berhak mendapatkan kelapangan (gaji) seperti itu.’

 

Umar kemudian memperlihatkan lengannya dan berkata, ‘Wahai Ibnu Abi Zakariya, daging yang tumbuh dari harta fai’ ini, tidak bisa kukembalikan sedikit pun selama-lamanya,’” (Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdil Hakam, Sirah Umar bin Abdil Aziz ‘ala ma Rawahul Imam Malik wa Ashhabuh, [Beirut, ‘Alamul Kutub, 1984], jilid I, hlm. 45).

 

Ibnu Katsir juga meriwayatkan kebijakan Umar ini dengan berkata: "Umar memperluas tunjangan bagi para pejabatnya, memberikan kepada mereka seratus hingga dua ratus dinar setiap bulan. Ia berpendapat bahwa jika mereka hidup berkecukupan, mereka dapat mencurahkan perhatian penuh untuk mengurus kepentingan umat Islam.

 

Seseorang pernah berkata kepadanya, ‘Seandainya engkau membelanjakan hartamu untuk keluargamu sebagaimana engkau membelanjakannya untuk para pejabatmu?

 

Umar menjawab, ‘Aku tidak akan menahan hak yang sudah seharusnya diberikan kepada keluargaku, tetapi aku juga tidak akan memberikan kepada keluargaku hak milik orang lain.’” (Al-Bidayah wan Nihayah, [Giza, Penerbit Hijr, 1997], jilid XII, hlm. 701).

 

Kisah Umar bin Abdul Aziz mengajarkan bahwa kebebasan dan kesejahteraan bagi rakyat dan pekerja adalah dua sisi mata uang dalam kepemimpinan yang membawa kemaslahatan. Sikapnya yang zuhudnya patut diteladani oleh setiap individu di negeri kita. Wallahu a’lam.

 

Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta