Syariah

Pengaturan Pengeras Suara pada Rumah Ibadah Menurut Sayyid Alawi Al-Maliki

Sab, 26 Februari 2022 | 07:00 WIB

Pengaturan Pengeras Suara pada Rumah Ibadah Menurut Sayyid Alawi Al-Maliki

Pengeras suara meskipun merupakan hal baru di lingkungan umat Islam namun boleh digunakan untuk keperluan tersebut.

Surat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2022 yang mengatur penggunaan pengeras suara sebenarnya bukan hal baru di lingkungan umat Islam. Selain beberapa negara berpenduduk muslim juga mengatur, penggunaan pengeras suara ini juga menjadi perhatian para ulama.

 

Di antaranya Sayyid Alawi Al-Maliki (1328-1391 H), tokoh rujukan Ahlussunnah wal Jama’ah dunia yang tinggal di kota suci Makkah.    


Dalam Kitab Majmû’ Fatâwâ wa Rasâil, Sayyid Alawi menjawab pertanyaan tentang hukum penggunaan pengeras suara (mukabbirus shawt) atau mikrofon untuk keperluan khutbah dan shalat jamaah. Menurutnya, pengeras suara meskipun merupakan hal baru di lingkungan umat Islam namun boleh digunakan untuk keperluan tersebut.


Sayyid Alawi menyampaikan 4 argumentasi yang secara substansial dapat diringkas sebagai berikut:


Pertama, hukum asal segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Dalam hal penggunaan pengeras suara tidak ada dalil yang mengharamkannya, maka orang yang mengharamkannya harus mengajukan dalil yang dapat dipertanggungjawabkan.


Kedua, pengeras suara sudah digunakan untuk khutbah dan shalat jamaah di Makkah dan Madinah yang sering dikunjungi ulama seantero dunia, dan tidak ada satu ulama pun yang memprotes atau mengingkarinya.

 

Oleh karenanya penggunaan pengeras suara untuk keperluan tersebut menjadi hal yang dapat diterima oleh ulama Islam seluruh dunia sehingga boleh-boleh saja digunakan seiring sabda Nabi saw yang artinya: “Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu baik di sisi Allah” (HR Ahmad).


Ketiga, kaidah fiqih menyatakan al-wasâil lahâ hukmul maqâshid, atau pada setiap hal yang merupakan perantara diterapkan hukum sesuatu yang menjadi tujuannya. Bila maksud penggunaan pengeras suara adalah sesuatu yang baik seperti memperdengarkan khutbah Jumat, membaca Al-Qur’an, sebagai tanda gerakan Imam shalat sehingga makmum yang jauh di belakangnya dapat mengikuti gerakannya, maka hukum menggunakannya boleh atau dilegalkan dalam syariat. 


Keempat, penggunaan pengeras suara sebenarnya tidak menimbulkan bahaya dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat. Banyak kemaslahatannya. Namun demikian andaikan penggunaan pengeras suara ini justru menimbulkan kerusakan dan mengganggu orang lain  maka wajib dihentikan. Sayyid Alawi menegaskan:


والشرع مبني على درء المفاسد وجلب المصالح، ألا ترى أن مكبر الصوت هذا لو وقع فيه خلل وتشويش يجب إغلاقه لفوات المقصود منه


Artinya, “Syariat Islam dibangun atas dasar menolak mafsadat dan mendatangkan kemaslahatan. Ingatlah, sungguh (penggunaan) pengeras suara ini, andaikan di dalamnya terdapat kerusakan dan gangguan terhadap orang lain, maka wajib menguncinya (wajib dihentikan), karena tujuan utamanya justru terabaikan.” (Alawi al-Maliki al-Hasani, Majmû’ Fatâwâ wa Rasâil, [1413 H], halaman 174-175).


Nah, dari sini kita lihat, meskipun sebenarnya pengeras suara boleh-boleh saja digunakan asal untuk kegiatan yang positif, bukan maksiat, namun bila justru menimbulkan berbagai kerugian dan gangguan terhadap orang lain, semisal karena terlalu keras memekakan telinga, kualitas alatnya buruk, atau terlalu banyak alat pengeras yang berbunyi secara bersamaan, maka hukumnya wajib dihentikan. Sebab bagaimanapun Islam dibangun dalam prinsip yang sangat rasional dan sesuai dengan akal sehat: dar’ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbil mashâlih, menghindari kerusakan harus didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan. Menghindari penggunaan pengeras suara yang tidak beraturan sehingga mengganggu dan merugikan orang lain lebih diprioritaskan daripada menggunakannya meskipun untuk keperluan ibadah dan dan kebaikan lainnya. 


Ketegasan prinsip Sayyid Alawi dalam pengaturan penggunaan pengeras suara seperti inilah yang kemudian diikuti oleh para ulama di generasi selanjutnya. Dalam konteks ini Sayyid Zain bin Muhammad bin Husain Alydrus menegaskan:


ولا يخفى أن استخدام الميكروفون بالسماعات الداخلية وقت الخطبة أو الصلاة فيه مصلحة ولا إشكال فيه غاليا، وكلامه في ذلك. أما استخدامه بالسماعات الخارجية، ففيه مفاسد لا يخفى على العقلاء. ولذا قال المالكي: لو وقع فيه خلل وتشويش يجب إغلاقه لفوات المقصود منه


Artinya, “Tidak samar lagi, sungguh terdapat kemaslahatan dalam penggunaan mikrofon dengan speaker dalam saat khutbah Jumat atau shalat, secara umum tidak ada kemusykilan dalam hal itu, dan konteks pendapat Sayyid Alawi Al-Maliki adalah dalam penggunaan mikrofon dengan speaker dalam seperti itu. Adapun penggunaan mikrofon dengan speaker luar, maka di situ terdapat berbagai mafsadat atau kerusakan yang tidak samar lagi bagi orang-orang yang berakal sehat—lebih banyak menimbulkan gangguan kepada orang lain—. Karenanya Sayyid Alawi menyatakan: 'Andaikan di dalamnya terdapat kerusakan dan gangguan terhadap orang lain, maka wajib menguncinya, karena tujuan utamanya justru terabaikan.'” (Zain bin Muhammad bin Husain Alydrus, I’lâmul Khâsh wal ‘Âmm bi Anna Iz’âjan Nâsi bil Mikrûfûn Harâm, [Mukalla, Dârul ‘Idrûs: 1435/2014], halaman 34).


Walhasil, bagi kita yang berakal sehat, bagaimanapun penggunaan pengeras suara harus diatur, terlebih untuk pengeras suara luar. Bagaimana diatur sebaik mungkin, baik dari sisi frekuensi volumenya, maupun kualitas suaranya. Jangan sampai membuat kebisingan dan gangguan suara tidak perlu.


Tidak setiap orang yang mendengarnya adalah jamaah masjid/mushala, tidak semuanya sedang dalam kondisi sehat dan baik-baik saja. Dari sini kita juga semakin hati-hati, sebab kebaikan yang dilakukan secara serampangan justru merugikan banyak orang. Bukankah dengan demikian, Islam juga semakin indah dalam pandangan khalayak luas? Wallahu a’lam. 

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online.