Syariah

Perempuan dan Politik dalam Kajian Al-Qur'an dan Hadits

Ahad, 28 Mei 2023 | 20:00 WIB

Perempuan dan Politik dalam Kajian Al-Qur'an dan Hadits

Perempuan dan politik dalam kajian Al-Qur'an dan Hadits. (Foto: ilustrasi/NU Online)

Kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam dunia politik menempati porsi yang sama, yaitu sama sederajat sebagai pemilih maupun yang dipilih dalam alam demokrasi seperti sekarang. Hal ini dapat dilihat dalam sumber pokok hukum Islam baik Al-Qur'an maupun hadits.


Peran Politik Perempuan dalam Kajian Al-Qur'an

Al-Qur'an memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan sebagaimana laki-laki untuk mengambil peran-peran publik seperti dalam ruang-ruang politik praktis, baik berperan di jajaran legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Hal ini masuk dalam keumuman ayat-ayat yang menyejajarkan perempuan terhadap laki-laki dalam beramal saleh. Di antaranya adalah ayat-ayat sebagai berikut:


وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ


Artinya, “Dan barangsiapa mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan  sementara ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al-Mukmin: 40).


فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ


Artinya, “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakkan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (QS Ali Imran: 195).


مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً


Artinya, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS An-Nahl: 97).


إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا


Artinya, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Ahzab: 35).


Berdasarkan keumuman empat ayat di atas, surat Al-Mukmin ayat 40, surat Ali Imran ayat 195, surat An-Nahl ayat 97, dan surat Al-Ahzab 35, para ahli fiqih Nahdlatul Ulama berijtihad bahwa dalam konteks peran-peran publik menurut prinsip-prinsip Islam, wanita diperbolehkan melakukan peran-peran tersebut dengan konsekuensi bahwa ia dapat dipandang mampu dan memiliki kapasitas untuk menduduki peran sosial dan politik tersebut.


Secara lebih jelas, para ahli fiqih Nahdlatul Ulama juga menyatakan kedudukan wanita dalam proses sistem negara-bangsa terbuka lebar, terutama perannya dalam masyarakat majemuk ini, dengan tetap mengingat bahwa kualitas, kapasitas, kapabilitas dan akseptabilitas bagaimanapun, harus menjadi ukuran, sekaligus tanpa melupakan fungsi kodrati wanita sebagai sebuah keniscayaan.


Dengan demikian merujuk ijthad para ahli fiqih NU, Al-Qur'an memberi ruang yang sama terhadap perempuan sebagaimana laki-laki untuk mengambil peran-peran publik, termasuk di antaranya dalam ruang politik praktis. (Baca, Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama tentang Masail Al-Diniyyah Al-Maudhu’iyyah pada 17-20 Nopember 1997 di Nusa Tenggara Barat).


Peran Politik Perempuan dalam Kajian Hadits

Selain mendapatkan legitimasi dari Al-Qur'an, peran politik perempuan juga mendapatkan legitimasi dari hadits Nabi Muhammad saw sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an. Di antara hadits tersebut adalah berikut:


(إنَّ النِّساءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ


Artinya, “Sesungguhnya perempuan itu laksana saudara kandung laki-laki.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).


Pada a,salnya, hadits ini awalnya berkaitan dengan kewajiban mandi jinabat bagi perempuan karena melihat (menemukan) mani setelah tidur sebagaimana laki-laki. Namun, hadits ini secara umum juga menunjukkan bahwa perempuan mempunyai hukum yang sama dengan laki-laki, kecuali pada hal-hal yang khusus berlaku padanya. Menjelaskan hal ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-'Asqalani menyatakan secara lugas:


والنساء شقائق الرجال في الأحكام الا ما خص


Artinya, “Dan para perempuan laksana saudara kandung laki-laki dalam berbagai hukum kecuali pada hal yang telah dikhususkan berlaku padanya.” (Ahmad bin Ali bin Hajar Al-'Asqallani, Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, [Beirut, Darul Ma'rifah: 1379 H], juz I, halaman 254; dan Ubaidillah bin Muhammad Al-Mubarakfuri, Mir'atul Mafatih Syarhu Misykatul Mashabih, [India, Idaratul Buhutsil 'Ilmiyah wad Da'wah wal Ifta': 1984], juz II, halaman 139).


Dalam titik inilah kemudian hadits di atas menjadi dasar atau melegitimasi peran-peran perempuan di ruang publik, termasuk di antaranya untuk berpartisipasi aktif dan ikut berkontestasi dalam politik praktis, seperti dalam pemilihan umum di Indonesia. (Tim LTN PBNU, Ahkamul Fuqaha, [Surabaya, Khalista: 2019], halaman 916).


Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami, bahwa dilihat dari sumber pokok hukum Islam, yaitu Al-Qur'an maupun hadits, dan melalui pemahaman para ulama atas keduanya, Islam memosisikan perempuan sama dan sederajat dengan laki-laki dalam perannya di dunia politik,  baik sebagai pemilih maupun yang dipilih di alam demokrasi seperti di Indonesia sekarang. Wallahu a'lam.


Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda