Ahmad Maimun Nafis
Kolomnis
Isu tentang klinik kecantikan ilegal dan abal-abal beberapa pekan lalu cukup ramai diperbincangkan. Klinik abal-abal menawarkan hasil instan dengan harga murah yang menarik banyak orang.
Namun, di balik tawaran menarik tersebut, sering kali muncul masalah serius seperti kerusakan kulit atau bahkan risiko kesehatan jangka panjang. Apa penyebab masalah ini? Bagaimana Islam memandang praktik yang lebih mementingkan keuntungan daripada keselamatan?
Peraturan agama Islam yang tertuang dalam fiqih memandang bahwa praktik semacam ini melanggar etika profesi dan dianggap sebagai dosa besar karena mengandung unsur penipuan (gharar) dan pengkhianatan amanah.
Dalam Islam, penipuan atau gharar adalah perbuatan yang sangat dikecam. Rasulullah SAW pernah bersabda:
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا
Artinya, "Siapa pun yang menipu, maka bukan termasuk dari golongan kami." (HR. Muslim)
Klinik kecantikan ilegal sering kali menarik perhatian dengan promosi yang mengklaim keahlian profesional. Namun, kenyataannya, layanan tersebut jauh dari memenuhi standar medis. Penipuan semacam ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip kejujuran yang menjadi landasan utama dalam transaksi menurut ajaran Islam.
Bahaya Penipuan dalam Profesi
Baca Juga
Kecantikan Hakiki Bersumber dari Hati
Praktik klinik kecantikan abal-abal tidak hanya merugikan individu secara materi dan kesehatan, tetapi juga melibatkan pelanggaran hak Allah dan hak manusia. Dalam kasus seperti ini, hukum Islam memandang pentingnya tindakan tegas dari pemerintah atau penguasa untuk melindungi masyarakat. Sebagaimana disebutkan oleh para ulama:
يُؤَدِّبُ الْحَاكِمُ الْمُدَلِّسَ؛ لِحَقِّ اللَّهِ وَلِحَقِّ الْعِبَادِ
Artinya, "Penguasa memiliki otoritas untuk menghukum pelaku penipuan demi menegakkan hak Allah dan hak manusia." (Kementerian Wakaf dan Urusan Keagamaan Kuwait, Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Kuwait, Darus Salasil, 1404–1427 H, Jilid XI, hlm. 127).
Klinik kecantikan abal-abal, dengan klaim palsu dan pelayanan tanpa standar medis, termasuk dalam kategori tadlis (penipuan). Tindakan semacam ini tidak hanya merugikan korban secara individu, tetapi juga menciptakan kerusakan sosial.
Maka, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menindak tegas dalang di balik klinik kecantikan abal-abal, baik dengan menghentikan izin operasional klinik tersebut, atau memberikan sanksi tertentu yang membuat jera. Langkah ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan jasa di Indonesia dan juga otoritas keahlian yang memadai dari pemberi layanan.
Buka Klinik tanpa Standarisasi dan Kompetensi yang Memadai
Mengenai hal ini, Rasulullah pernah bersabda bahwa seseorang yang tidak memiliki kemampuan dalam bidang medis namun berani melakukan pengobatan, maka harus bersiap dengan risiko atas perbuatannya. Beliau bersabda:
مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ فَهُوَ ضَامِنٌ
Artinya, “Siapa saja yang membuka praktik tabib (pengobatan/kedokteran), padahal tidak memiliki riwayat dan rekam jejak keilmuan medis, maka harus menanggung akibatnya.” (HR. Abu Dawud).
Hadits ini menjadi dasar penting untuk mengkritik praktik klinik kecantikan abal-abal. Penipu yang mengklaim keahlian tanpa melalui standarisasi sesuai ketetapan otoritas medis, dalam fiqih dikategorikan sebagai tindakan ta’addi (pelanggaran), dan jika menyebabkan kerusakan fisik atau jiwa, maka pelaku wajib menanggung ganti rugi (dhaman).
Imam Ibnur Ruslan dalam Syarh Sunan Abi Dawud Jilid XVIII (Al-Fayyum, Dar al-Falah li al-Buhuts al-Ilmiyyah wa Tahqiq al-Turats, 1437 H/2016: 57) memberi penjelasan yang detail terhadap hadits tersebut:
(مَن تَطَبَّبَ) أي: تَعاطَى عِلمَ الطِّبِّ وتَعَدَّى بِمُعالَجَةِ المَريضِ بِما يَقتُلُ غالِبًا، فَحَصَلَ مِنهُ التَّلَفُ فِي النَّفسِ أو العُضوِ (وَلَم يُعلَم مِنهُ) مَعرِفَةٌ، وَلَم يُعلَم مِنهُ (طِبٌّ) وَلَا يَكُونُ ذَا دَرَجَةٍ وُسطَى مِن مَعرِفَةِ حَقِيقَةِ الطِّبِّ وَأَنواعِهِ، وأَقسامِ أَمراضِهِ، وَيُشَخِّصُ داءَ العَلِيلِ، وَمَعرِفَةِ المُفرَداتِ وَطَبائِعِهَا (فَهُوَ ضَامِنٌ) لِمَا أَتلَفَهُ
Artinya, “(Barang siapa yang membuka praktik pengobatan), dengan mengklaim menguasai ilmu kedokteran dan melakukan pengobatan terhadap pasien dengan cara yang berpotensi malpraktik, sehingga dapat merusak jiwa atau anggota tubuh, sementara si pelaku tidak memiliki rekam jejak pernah mempelajari ilmu pengobatan/medis, orang-orang tidak mengenalnya sebagai orang yang memiliki pengetahuan kedokteran, dan tidak berada dalam taraf seorang yang memahami hakikat ilmu kedokteran: klasifikasi dan kategori penyakit, serta tidak paham cara mendiagnosis penyakit pasien dan tidak mengenali obat-obatan dan sifat-sifatnya, maka si pelaku wajib menanggung kerusakan (malpraktik) yang dilakukannya.”
Klinik abal-abal yang dikelola tanpa kompetensi dan standarisasi dari pihak yang memiliki otoritas, telah melanggar amanah dalam prinsip dasar muamalah dan transaksi dalam Islam.
Pelaku mengambil keuntungan tanpa memberikan manfaat dari jasa yang disediakannya. Dengan demikian, otomatis pendapatan mereka pun dikateogirkan sebagai harta yang dihasilkan dari jalan yang haram.
Dalam tinjauan hukum positif Indonesia, praktik klinik kecantikan abal-abal dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap beberapa ketentuan hukum. Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mencakup ketentuan yang melarang praktik klinik abal-abal. Pasal 203 ayat 3 menegaskan bahwa tenaga medis harus memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai dengan peraturan, sedangkan Pasal 441 mengatur sanksi pidana bagi individu yang memberikan layanan kesehatan tanpa izin resmi, dengan hukuman penjara hingga lima tahun atau denda maksimal Rp500 juta
Disebutkan juga dalam pasal yang dimaksud:
Setiap Orang yang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat yang bersangkutan adalah Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah memiliki STR dan/ atau SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 312 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.00O,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam tinjauan fiqih Islam, praktik klinik kecantikan abal-abal merupakan bentuk penipuan (gharar) yang mencederai prinsip kejujuran dan amanah. Pelaku yang tidak memiliki keahlian medis tetapi tetap memberikan layanan berisiko, bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan (dhaman).
Islam mengutamakan perlindungan terhadap jiwa dan menolak segala bentuk pelanggaran etika dalam profesi. Oleh karena itu, klinik tersebut tidak hanya merugikan korban, tetapi juga mengakibatkan dosa besar serta harta yang dihasilkannya otomatis haram. Wallahu a’lam.
Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah, Batuan, Sumenep.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
6
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
Terkini
Lihat Semua