Syariah

Produk Dinar, Dirham, dan Fulus di Indonesia menurut Fiqih

Sen, 5 Oktober 2020 | 16:00 WIB

Produk Dinar, Dirham, dan Fulus di Indonesia menurut Fiqih

Dinar, dirham, dan fulus di Indonesia masuk kategori perhiasan yang mubah, tidak sebagai mata uang. (Foto ilustrasi: Bukalapak)

Sebuah surat elektronik yang datang dari pembaca kanal ekonomi syariah, yang dialamatkan ke redaksi mempertanyakan mengenai beberapa aktivitas penggunaan dinar, dirham dan fulus untuk menggantikan dominasi rupiah di Indonesia. Tidak lupa, penanya juga menyertakan sejumlah link sebagai bahan peneliti untuk melakukan review.

 

Dari salah satu link yang disertakan, memang ada sebuah nama yang tidak asing lagi bagi peneliti. Nama tersebut memang dikenal getol menyuarakan gerakan “kembali kepada dinar dan dirham” sebagai alat transaksi pembayaran. Lalu, ia menciptakan sebuah produk lewat sebuah lembaga yang diberi nama Wakala, lalu produk itu dinamakannya sebagai dinar dan dirham.

 

Sebenarnya, penamaan ini adalah sah-sah saja asalkan produk itu jelas (ma’lum) dan ada kalibrasinya (miqdar). Pentingnya arti kejelasan dan kalibrasi ini adalah untuk memenuhi syarat bahwa suatu entitas tersebut diciptakan sebagai barang nilai (mutaqawwam) dan sekaligus membentuk satuan nilai/harga (qimat al-mitsly). Tanpa keterpenuhan atas keduanya, maka suatu entitas produk, tidak bisa dijualbelikan atau ditasharrufkan.

 

Selengkapnya, mari kita telusuri terlebih dahulu mengenai standar kalibrasi produk tersebut!

 

Perbandingan Kadar

Dinar (koin emas) diproduksi oleh Wakala dengan berat 4.25 gram berkadar 22 karat, yang berarti kadar kemurniannya adalah 91,74%. Sementara itu untuk dirham (koin perak) diproduksi dengan berat 2.975 gram, 24 karat dengan kadar kemurnian 99.9%.

 

Berat 4.25 Gram untuk koin emas ini, setara dengan pandangan Syekh Yusuf Qaradhawi di dalam Fiqhu al-Zakat yang menyebutkan bahwa 1 dinar adalah setara 1 mitsqal, dengan berat 4.25 gram. Adapun mengenai kadar karat, ada 2 kadar yang beredar di dunia internasional, yaitu:

  • 22 karat, antara lain sebagaimana yang ditetapkan oleh Islamic Mint Malaysia, Malaysia, dan
  • 24 karat, antara lain sebagaimana yang diakui oleh Canadians Maples.

 

PT Aneka Tambang, yang merupakan salah satu produsen dinar di Indonesia, menerbitkan dengan kadar 22 karat, yang berarti tingkat kemurnian emasnya adalah 91,7%. Secara tidak langsung, ini mengabarkan bahwa koin produksi Wakala dan Antam, memiliki derajat dan kadar kemurnian yang sama dan standar dengan ketentuan yang dilansir oleh Islamic Mint Malaysia.

 

Harga Tukar Dinar di Pasar Indonesia

Harga tukar kedua koin dinar produksi Wakala per tanggal 3 Oktober 2020, jam 22.00 WIB, penulis dapati dari laman resmi mereka, yaitu:

  • 1 koin emas dihargai Rp4.130.000
  • 1 koin perak dihargai sebesar Rp73.500, dan
  • 2 koin fulus (bahan tembaga) senilai Rp6.100, sehingga 1 fulus setara Rp3.050.

 

Berdasarkan hasil penelusuran penulis, harga di atas memang sudah masuk dalam kisaran umum harga dinar dengan kadar 91.7% dengan berat 4.25 gram. Artinya, tidak ada indikasi adanya kecurangan (ghabn) sebagaimana dulu pernah ada kasus Gold Quest yang sempat menipu masyarakat dengan menawarkan dan memasarkan produk emas yang kadarnya tidak sesuai dengan nilai tukar resmi emas.

 

Alhasil, harga sebagaimanaa yang tercantum dalam situs perusahaan Wakala dalah harga terkini (real time).

 

Namun, uniknya, sejumlah marketplace, seperti Tokopedia dan Bukalapak, ternyata menawarkan koin dinar dan dirham produk Wakala dengan harga yang variatif, antara lain berada pada kisaran Rp4.200.000 sampai dengan Rp4.810.000. Dari hasil penelusuran penulis, sejauh ini terungkap bahwa harga itu merupakan harga realtime. Jadi, harganya lebih tinggi dari yang dirilis secara resmi oleh PT Aneka Tambang dan bursa emas lainnya.

 

Tinjauan Fiqih terhadap Dinar, Dirham dan Fulus sebagai Media Transaksi di Indonesia

 

Jika melihat adanya standarisasi karat, berat, dan nilai kadar yang dimiliki oleh dinar dan dirham serta fulus dari perusahaan Wakala tersebut, maka bisa disepakati bahwa ketiga produk itu kedudukannya sah sebagai barang nilai (mutaqawwam) dan memiliki nilai (qimah). Dengan kata lain, ketiga entitas itu bisa dijamin dan dipertanggungjawabkan, baik secara hukum maupun perniagaan.

 

Masalahnya kemudian adalah apakah produk itu sudah dapat diberlakukan sebagai uang dan sebagai alat transaksi pembayaran? Maka, dalam hal ini, kita perlu merujuknya ke teori terbentuknya uang.

 

Uang merupakan yang berlaku sebagai unit penyimpan kekayaan, dan alat atau wasilah alat tukar pembayaran dan ganti rugi. Sebagai alat penyimpan kekayaan, maka uang harus memiliki nilai yang dibentuk dari aset yang dijamin. Jaminan aset ini bisa berupa nilai bahan, namun bisa juga berupa nilai yang dijamin (dzimmah).

 

Uang kertas merupakan uang yang berjamin aset, oleh karenanya ia bisa dikategorikan sebagai mal maushuf fi al-dzimmah (harta utang). Jaminan itu terdiri dari simpanan cadangan emas atau terdiri dari cadangan aset lain yang diketahui besarannya.

 

Selain itu, suatu produk uang bisa disebut sebagai yang tepat guna apabila produk itu memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

 

(a) Menyatakan unit penyimpan kekayaan sehingga harus bisa disimpan

(b) Praktis dibawa

(c) Menyatakan satuan unit terbesar alat tukar dan satuan terkecil

(d) Tidak gampang rusak

(e) Mendapat penerimaan dari pemerintah dan diakui oleh umum.

 

Dari kesemua unsur di atas, hal yang tidak terpenuhi oleh dinar, dirham dan fulus produk Wakala adalah:

 

  1. Keberadaan satuan terkecil mata uang (fulus) yang masih belum standar dengan satuan terkecil rupiah di Indonesia.
  2. Jikapun terpenuhi maka tidak lazim dipergunakan sebagai alat tukar, sebab tidak dinyatakan secara resmi oleh pemerintah sebagai media tukar (uang).

 

Penting artinya memandang keberadaan legitimasi dari pemerintah ini, khususnya bila dikaitkan dengan produk keuangaan. Mengapa? Sebab, uang merupakan unit satuan yang diakui sebagai pernyataan ganti rugi. Bila Anda merusakkan barang, atau menempuh kasus hukum sehingga kemudian diputus perlunya membayar ganti rugi, maka pernyataan ganti rugi ini harus menggunakan mata uang yang paling banyak digunakan di dalam negeri. Imam Nawawi rahimahullahu ta’ala menyampaikan:

 

وتقويم المتلف يكون بغالب نقد البلد. فإن كان فيه نقدان فصاعدا، ولا غالب، عين القاضي واحدا للتقويم. ولو غلب من جنس العروض نوع، فهل ينصرف الذكر إليه عند الاطلاق؟ وجهان. أصحهما: ينصرف كالنقد – إلى أن قال – وكما ينصرف العقد إلى النقد الغالب، ينصرف في الصفات إليه أيضا‎

 

“Penetapan nilai kadar harga barang yang dirusakkan oleh seseorang adalah dengan berdasar pada nuqud (mata uang) negeri itu. Jika di negeri itu berlaku dua jenis nuqud atau lebih, sementara tidak ada satu pun darinya yang diutamakan, maka boleh bagi hakim menetapkan nilai harga barang itu berdasar salah satu nuqud yang dipergunakan. Bagaimana bila suatu ketika ada jenis ‘urudl (komoditas) yang berlaku umum sebagai alat tukar di negeri tersebut? Apakah boleh dialihkan dengan menyebut nilai komuditas itu sebagai ganti ketika memutuskan perkara? Dalam hal ini ada dua pendapat jawaban. Yang paling shahih adalah dialihkan ke komuditas dan berlaku layaknya nuqud. Sampai kemudian beliau menyampaikan: “Maka sebagaimana suatu akad ditetapkan berdasar nuqud yang berlaku di suatu negeri, maka segala sifat yang berkaitan dengan nuqud ghalib (mata uang yang berlaku) juga diserupakan dengan nuqud (emas dan perak)” (Raudlatu al-Thalibin, juz 3, h. 32 dan Majmu’ Syarah al-Muhaddzab, juz IX, h. 329).

 

 

Nah, dinar, dirham, dan fulus produksi Wakala ini hingga detik ini tidak dinyatakan secara resmi sebagai unit pembayar ganti rugi. Oleh karenanya tidak masuk sebagai standar taqwim (penetapan nilai ganti rugi).

 

Jika demikian, lantas apa kedudukan dinar, dirham, dan fulus produk Wakala tersebut dalam fiqih muamalah?

 

Seiring ketiganya bukan merupakan unit yang “diakui” sebagai standar pembayar ganti rugi, maka keberadaan tiga produk di atas, adalah sama perannya sebagai huliyyun mubah (perhiasan yang mubah). Sebagai perhiasan, maka ketiganya bisa dijualbelikan, dan perannya mengikut status hukum perhiasan.

 

Bila perhiasan itu dipakai dan digunakan oleh orang laki-laki, maka hukumnya menjadi huliyyun muharram (perhiasan yang diharamkan), yang merusakkannya tidak wajib membayar ganti rugi. Jika ketiganya dibeli dengan niat untuk disimpan atau diatasnamakan ke anak perempuannya, atau istrinya, maka hukumnya menjadi huliyyun mubah (hiasan mubah). Bagi yang merusakkannya, wajib melakukan ganti rugi.

 

Bagaimana jika dinar, dirham dan fulus sebagai media tukar?

 

Hukum menggunakan dinar, dirham, dan fulus sebagai media tukar adalah boleh, akan tetapi kedudukan dinar dan dirham menjadi berstatus barang ribawi, sehingga wajib berlaku kaidah taqabudl dan hulul. Taqabudl adalah saling serah terima di majelis akad, atau penyerahan salah satu harga atau barang di majelis akad. Sementara hulul, adalah diketahui jatuh temponya masa pelunasan.

 

Meski pertukaran menggunakan ketiganya adalah boleh, namun ketika terjadi suatu kerugian yang diakibatkan tindakan perusakan, maka dinar, dirham dan fulus tidak bisa dijadikan sebagai alat pembayar ganti rugi, melainkan harus ditukar ke rupiah terlebih dulu, khususnya bila ganti rugi itu harus dinyatakan dalam bentuk nilai.

 

Inilah berbagai risiko penggunaan dinar, dirham, dan fulus di Indonesia. Ketiganya, dalam praktiknya tidak bisa dijadikan alat tukar, melainkan sebagai perhiasan. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, S.Si., M.Ag, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur