Syariah

Salah Kaprah Menyamakan Nasionalisme dengan ‘Ashabiyyah

Ahad, 8 Maret 2020 | 08:00 WIB

Salah Kaprah Menyamakan Nasionalisme dengan ‘Ashabiyyah

Bagi kalangan pesantren, cinta tanah air merupakan keniscayaan. (Ilustrasi: NU Online)

Cinta tanah air adalah sebuah fitrah bagi seluruh manusia. Tak ada satu pun manusia yang mampu melupakan tanah airnya. Setiap manusia akan selalu rindu kepada tempat di mana ia lahir dan tumbuh dewasa.

 

Amr bin Bahr Al-Jahidz dalam kitab Risalah al-Hanin ila al-Awthan mengatakan

 

كانت العرب إذا غزت، أو سافرت حملت معها تربة بلدها رملا وعفرا تستنشقه

 

"Bangsa Arab ketika akan berangkat berperang ataupun bepergian, ia akan selalu membawa segenggam tanah tempat kelahirannya baik berbentuk debu maupun pasirnya agar ia selalu merindukan tanah kelahirannya."

 

Rasulullah selalu merindukan tanah air tempat kelahirannya. Kerinduan akan tanah airnya pun terlukiskan dalam sabda Rasulullah ketika hijrah dari kota Makkah menuju kota Madinah.

 

قال رسول الله ما أطيبَكِ مِنْ بَلَدٍ وأحبَّكِ إليَّ ولولا أنَّ قومي أخرجوني مِنكِ ما سكنتُ غيرَكِ.

 

Rasulullah bersabda, "Tak ada kota yang lebih indah darimu (Makkah) dan tak ada kota yang lebih ku cintai darimu (Makkah), seandainya kaumku tak mengeluarkanku darimu (Makkah) niscaya aku tak akan menetap (di kota lain) selainmu (Makkah)" (HR At-Turmudzi).

 

Rasa cinta tanah air yang sangat besar di hati Rasulullah begitu menggelora meskipun beliau telah menetap di kota Madinah. Oleh karena itu, Rasulullah sering berdoa agar Allah menumbuhkan untuknya kecintaan kepada kota Madinah yang saat itu telah menjadi tanah air kedua baginya.

 

قال رسول الله اللهم حبِّبْ إلينا المدينةَ كحُبِّنا مكةَ أو أشدَّ

 

Rasulullah bersabda, "Ya Allah jadikanlah kami mencintai kota Madinah sebagaimana kami mencintai kota Makkah atau lebih darinya" (HR Bukhari).

 

Rasa cinta Rasulullah kepada tanah air pun juga dilukiskan dalam doa-doanya. Di antaranya adalah

 

عن عائشة أن النبي كان يقول للمريض بسم الله تربة أرضنا بريقة بعضنا يشفي سقيمنا بإذن ربنا

 

Diceritakan dari Aisyah, bahwasannya Rasulullah berdoa bagi orang yang sakit "Bismillah, dengan berkah tanah kami, dengan berkah air ludah sebagian dari kami, sembuhlah penyakit kami dengan izin Tuhan kami" (HR Muslim).

 

 

Seandainya, cinta tanah air adalah bagian dari fanatisme (‘ashabiyyah), apakah ungkapan kecintaan Rasulullah terhadap kampung halamannya adalah fanatisme yang dilarang Islam?

 

Bukankah setiap untaian kata yang diucapkan Rasulullah selalu mengandung kebenaran dan kebaikan?

 

Tentu kita harus memahami kembali hadits Rasulullah secara lengkap tentang larangan fanatisme (‘ashabiyyah).

 

قال النبي من خرج من الطاعة وفارق الجماعة فمات مات ميتة جاهلية، ومن قتل تحت راية عمية، يغضب لعصبة، أو يدعو إلى عصبة، أو ينصر عصبة، فقتل فقتلة جاهلية، ومن خرج على أمتي، يضرب برها وفاجرها، ولا يتحاش من مؤمنها، ولا يفي لذي عهد عهده، فليس مني ولست منه.

 

Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah maka ia mati seperti matinya orang jahiliah, barangsiapa yang mati di bawah bendera fanatisme (‘ammiyyah), marah karena fanatisme, atau ia mengajak menuju fanatisme, atau ia menolong fanatisme kemudian ia terbunuh maka ia mati dalam keadaan jahiliah, barangsiapa yang keluar dari golongan umatku, ia membunuh orang-orang baik dan buruk dari umatku, ia tak berhati-hati atas orang-orang beriman, dan ia tak memenuhi perjanjian dengan golongan yang berjanji, maka ia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongan mereka" (HR Muslim).

 

An-Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim berpendapat bahwa maksud dari "Barangsiapa yang mati di bawah bendera fanatisme (‘ammiyyah)" dalam hadits ini adalah golongan orang-orang berperang untuk membela hal yang tidak jelas arah tujuannya dan disebabkan oleh fanatisme buta terhadap hal yang salah.

 

Lebih jauh lagi, An-Nawawi menyatakan "marah karena fanatisme atau ia mengajak menuju fanatisme, atau ia menolong fanatisme" dalam hadits ini adalah sebuah fanatisme yang tidak berdasarkan akal sehat melainkan didasarkan kepada hawa nafsu dan kepentingan sesaat bagi pelaku ataupun golongannya.

 

Dalam hadits yang lain,

 

عن امرأة يقال لها فسيلة قالت سمعت أبي يقول سألت النبي يا رسول الله أمن العصبية أن يحب الرجل قومه قال لا ولكن من العصبية أن يعين الرجل قومه على الظلم.

 

Diriwayatkan dari seorang perempuan yang dijuluki dengan Fusailah, ia berkata aku mendengar ayahku berkata, aku bertanya kepada Nabi "Duhai Rasulullah, apakah seseorang laki-laki yang mencintai kaumnya termasuk perbuatan fanatisme?" Maka Rasulullah bersabda, "Tidak, tetapi sebagian dari fanatisme adalah ketika laki-laki tersebut mendukung kaumnya dalam perbuat dzalim" (HR Ibnu Majah).

 

Jelaslah, fanatisme yang dilarang dalam dua hadits ini adalah fanatisme buta yang menyebabkan pelaku berlaku zalim dan menyebabkan kerusakan. Tentu berbeda dengan nasionalisme, yang justru menjadikan seorang menjadi lebih bersemangat dalam berkhidmah kepada negaranya baik dengan harta, tenaga, maupun keahliannya.

 

Walhasil, totalisme kita dalam menjalankan perintah Allah untuk memakmurkan bumi Allah sebagaimana dalam Al-Quran, "... Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya..." (QS Hud: 61), tentu hanya dapat dilaksanakan dengan sempurna ketika kita memiliki semangat nasionalisme terhadap tanah air kita. Karena, Allah sangat mencintai suatu perbuatan yang dilakukan dengan sempurna. Sebagaimana dalam hadits,

 

قال رسول الله إن الله يحب إذا عمل أحدكم عملا أن يتقنه

 

Rasulullah bersabda "Sesungguhnya Allah cinta terhadap seorang hamba yang ketika ia mengerjakan sesuatu kemudian ia menyempurnakannya" (HR Thabrani).

 

Dan tak akan sempurna semangat berkhidmah kita terhadap tanah air sebelum kita memupuk semangat nasionalisme.

 

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir; penerima beasiswa NU pada tahun 2018.