Salah Paham Soal Amplop Kiai, Begini yang Terjadi Sebenarnya
NU Online ยท Jumat, 19 Agustus 2022 | 06:00 WIB

Masyarakat santri biasa membawakan apa saja seperti hasil kebun atau memberikan amplop bila berkunjung ke rumah kiai atau gurunya
Ahmad Muntaha AM
Penulis
Amplop kiai atau tradisi memberi bisyarah (buah tangan) kepada kiai ramai diberitakan media, seiring adanya kesalahpahaman terhadap tradisi yang telah berlangsung sejak lama di tengah masyarakat muslim Nusantara. Lebih dari itu, tradisi tersebut dianggap sebagai masalah riil berkaitan dengan korupsi yang harus diselesaikan saat ini.
โThis is the real problem that we are fixing todayโ, ini adalah problem riil yang (harus) kita perbaiki saat ini. Demikian asumsi yang muncul berkaitan dengan โamplop kiaiโ. Lalu sebenarnya bagaimana aturan mainnya?
Di tengah masyarakat muslim Nusantara istilah kiai secara umum dipahami sebagai sebutan bagi alim ulama atau cerdik pandai agama Islam. Semisal istilah kiai kampung, yaitu sosok yang dianggap paling dapat dipercaya dalam urusan agama di lingkungan kampung. Selain itu ada pula kiai pesantren, kiai panggung, dan corak kiai lainnya sebagaimana umumnya penyebutan masyarakat muslim kepada para kiai mereka.
Bila diamati dari sisi motifnya, tradisi pemberian โamplop kiaiโ ini ada bermacam-macam. Minimal ada tiga kategori utama. Yaitu, (1) pemberian karena imbal balik atas jasa ceramah, mengajar Al-Qurโan, atau keilmuan lainnya; (2) pemberian karena untuk pembangunan masjid, pesantren dan fasilitas keagamaan lainnya; (3) pemberian murni karena sebagai ekspresi kecintaan masyarakat kepada kiai, mengingat kiprahnya di tengah kehidupan masyarakat.
Pertama, pemberian amplop kiai karena imbal balik atas jasa ceramah, mengajar Al-Qurโan atau keilmuan lainnya, jelas hal ini diperbolehkan, sebab mereka tidak mendapatkan gaji dari baitul mal sebagaimana tempo dulu di masa kerajaan-kerajaan Islam. Andaikan mereka dipaksa bekarja semua, maka tidak akan ada yang mau mengajarnya.
Baca Juga
Amplop Kiai
Dalam hal ini Syekh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan:
ุฃูุชู ุงูู
ุชุฃุฎุฑูู ู
ู ุงูุนูู
ุงุก ุจุฌูุงุฒ ุฃุฎุฐ ุงูุฃุฌุฑุฉ ุนูู ุชุนููู
ุงููุฑุขู ุงููุฑูู
ูุนูู ูุธุงุฆู ุงูุฅู
ุงู
ุฉ ูุงูุฎุทุงุจุฉ ูุงูุฃุฐุงู ูุณุงุฆุฑ ุงูุทุงุนุงุช ู
ู ุตูุงุฉ ูุตูุงู
ูุญุฌ ... ููู ุงุดุชุบู ุจุงูุงูุชุณุงุจ ู
ู ุฒุฑุงุนุฉ ุฃู ุชุฌุงุฑุฉ ุฃู ุตูุงุนุฉ ูุฒู
ุถูุงุน ุงููุฑุขู ุฅูู
ุงู ุชูู ุงูุดุนุงุฆุฑ
Artinya, โUlama mutaโakhirin mengeluarkan fatwa mubah bagi seseorang untuk menerima insentif atas pengajaran Al-Quran, tugas keimaman shalat, tugas khutbah, tugas adzan, dan seluruh aktivitas keagamaan lain seperti shalat puasa, dan haji โฆ Karena bila mereka sibuk bekerja di bidang pertanian, perdagangan, atau atau perburuhan, maka syiar-syiar keagamaan akan terbengkalai.โ (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Subulul Istifadah minan Nawazil wal Fatawa wal Amalil Fiqhi fit Tathbiqatil Muโashirah, [Damaskus, Darul Maktabi: 2001 M/1421 H], cetakan pertama, halaman 23).
Kedua, pemberian โamplop kiaiโ karena menjadi sumbangan untuk pembangunan masjid, pesantren dan fasilitas keagamaan, maka lebih jelas lagi kebolehannya untuk syiar dan kemaslahatan.
Ketiga, pemberian โamplop kiaiโ karena murni sebagai ekspresi kecintaan masyarakat kepada kiai, mengingat kiprah keagamaannya di tengah kehidupan masyarakat. Pemberian seperti ini juga boleh diterima, asalkan ia memang benar-benar berkiprah dalam bidang keagamaan di tengah kehidupan masyarakat, sebagaimana dugaan pemberi. (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya โUlumiddin, [Beirut, Darul Maโrifah], juz 2, halaman 145).
Nah, ketiga macam pemberian โamplop kiaiโ ini semuanya halal dan boleh diterima. Bahkan dalam agama Islam pun, pemberian โamplop kiaiโ (dalam maksud umumya kiai adalah pribadi yang bertakwa) seperti ini dianjurkan. Meminjam statemen Imam al-Ghazali:
ููุฐุง ูุฃู ุงูุชูู ูุณุชุนูู ุจู ุนูู ุงูุชููู ูุชููู ุดุฑููุง ูู ุทุงุนุชู ุจุฅุนุงูุชู ุฅูุงู
Artinya, โAnjuran memberi harta kepada orang yang bertakwa (sebagaimana umumnya seorang kiai) ini, karena ia akan menggunakan harta pemberian itu dalam ketakwaan kepada Tuhan, sehingga orang yang memberi akan sama-sama mendapatkan pahala ketaatan karena telah menolongnya melakukan ketaatan.โ (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya โUlumiddin, [Beirut, Darul Maโrifah], juz II, halaman 145).
Walhasil, tidak ada masalah dalam tradisi pemberian โamplop kiaiโ seperti tradisi yang telah berlangsung di tengah masyarakat muslim Nusantara selama ini. Tradisi ini merupakan tradisi yang baik dan layak dilestarikan.
Pun demikian, pihak penerima dalam masa sekarang harus lebih selektif dan berhati-hati. Terlebih bila ada indikasi harta yang diberikan adalah hasil tindak kejahatan korupsi, judi, dan bisnis-bisnis haram lainnya.
Jangan sampai hanya karena menerima pemberian โamplop kiaiโ tapi justru terjerat kejahatan tindak pidana pencucian uang sebagaimana ketentuan undang-undang atau hukum positif yang berlaku sekarang. Wallรขhul mustaโรขn.
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat HUT Ke-80 RI: 3 Pilar Islami dalam Mewujudkan Indonesia Maju
2
5 Poin Maklumat PCNU Pati Jelang Aksi 13 Agustus 2025 Esok
3
Kantor Bupati Pati Dipenuhi 14 Ribu Kardus Air Mineral, Demo Tak Ditunggangi Pihak Manapun
4
Nusron Wahid Klarifikasi soal Isu Kepemilikan Tanah, Petani Desak Pemerintah Laksanakan Reforma Agraria
5
Badai Perlawanan Rakyat Pati
6
Sri Mulyani Sebut Bayar Pajak Sama Mulianya dengan Zakat dan Wakaf
Terkini
Lihat Semua