Syariah

Solusi agar Ibadah Haji selalu dalam Keadaan Suci

Jum, 7 Juni 2024 | 17:00 WIB

Solusi agar Ibadah Haji selalu dalam Keadaan Suci

Ilustrasi jamaah haji. (Foto: NU Online/Faizin)

Menjaga diri agar selalu dalam keadaan suci dari hadas kecil maupun besar merupakan salah satu upaya yang sangat dianjurkan dalam Islam. Dalam keadaan suci, umat Islam akan selalu dekat kepada Tuhannya. Dalam keadaan suci pula, kaum muslimin bisa menunaikan ibadah apa saja, sesuai dengan waktu dan tempatnya. Karena itu, selalu menjaga diri agar terus suci merupakan salah satu ajaran penting dalam Islam.

 

Termasuk saat menunaikan ibadah haji, para jamaah tentu sangat ingin menunaikan rukun Islam yang kelima ini selalu dalam keadaan suci. Namun karena beberapa alasan yang tidak bisa dihindari, seperti bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram ketika tawaf, menjadi salah satu penyebab batalnya wudhu, sebagaimana pendapat mayoritas ulama mazhab Syafi’i.

 

Berkaitan dengan hal ini, dalam kesempatan kali ini penulis akan menjelaskan beberapa solusi agar wudhu para jamaah  haji yang sedang menunaikan beberapa rukun dan kewajiban-kewajiban haji tetap terjaga, dan mereka bisa menjalaninya dengan keadaan suci.

 

Menjaga Diri agar Selalu Suci

Salah satu penyebab batalnya wudhu yang paling dominan ketika mengerjakan tawaf atau rukun haji yang lain adalah bersentuhannya kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Dalam hal ini, setidaknya ada dua aspek pembahasan yang perlu diulas.

 

Pertama, orang yang disentuh (al-malmus). Dalam mazhab Syafi’i, pada hakikatnya ketika terjadi persentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, maka wudhunya batal, baik untuk orang yang disentuh maupun orang yang menyentuh. Hanya saja, terdapat salah satu pendapat dari kalangan ulama mazhab Syafi’i juga yang menyatakan bahwa yang batal hanyalah orang yang menyentuh (lâmis) saja, sedangkan orang yang disentuh tidak batal.

 

Alasan ulama yang mengatakan bahwa keduanya sama-sama batal adalah karena keduanya sama-sama merasakan kenyamanan bersentuhan antara lawan jenis. Sedangkan alasan ulama yang mengatakan bahwa yang batal hanyalah orang yang menyentuh saja, yaitu karena berpedoman pada mana yang tampak dalam ayat Al-Qur’an, yang hanya membatalkan orang yang menyentuh saja.

 

Pendapat ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli (wafat 864 H). Dalam kitabnya ia mengatakan:

 

وَالْمَلْمُوسُ كَلَامِسٍ فِي انْتِقَاضِ وُضُوئِهِ فِي الْأَظْهَرِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي لَذَّةِ اللَّمْسِ، وَالثَّانِي لَا يَنْقُضُ وُقُوفًا مَعَ ظَاهِرِ الْآيَةِ فِي اقْتِصَارِهِ عَلَى اللَّامِسِ

 

Artinya, “Orang yang disentuh itu seperti orang yang menyentuh dalam membatalkan wudhunya menurut pendapat yang lebih jelas, karena keikutsertaan keduanya dalam merasakan kenyamanan bersentuhan. Sedangkan pendapat kedua (mengatakan) tidak batal, karena mengambil cukup pada dzahir ayat, yang hanya pada orang yang menyentuh saja.” (Imam al-Mahalli, Kanzur Raghibin Syarh Minhajit Thalibih, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, tt], juz I, halaman 50).

 

Kedua, orang yang menyentuh (lâmis). Ulama kalangan mazhab Syafi’i sepakat bahwa wudhu orang yang menyentuh lawan jenis bukan mahramnya, hukumnya batal. Hanya saja, ada sebagian pendapat dalam kalangan mazhab Maliki dan ulama kalangan mazhab Hanafi, yang mengatakan bahwa wudhunya tidak batal. Pendapat ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syamsuddin Abu Bakar as-Sarkhasi (wafat 483 H), dalam kitabnya ia mengatakan:

 

وَلاَ يَجِبُ الْوُضُوْءُ مِنَ الْقبْلَةِ وَمَسِّ الْمَرْأَةِ بِشَهْوَةٍ أَوْ غَيْرِ شَهْوَةٍ وَهُوَ قَوْلُ عَلِي وَبنِ عَبَّاسٍ. وَقَالَ الشَّافِعِي يَجِبُ الْوُضُوْءُ مِنْ ذَلِكَ. وَقَالَ مَالِكٌ إِنْ كَانَ عَنْ شَهْوَةٍ يَجِبُ وَإِلاَّ فَلاَ

 

Artinya, “Tidak wajib wudhu disebabkan mencium, menyentuh wanita dengan syahwat atau tidak. Ini merupakan pendapat Ali dan Ibn Abbas. Asy-Syafi’i berkata: wajib wudhu karena hal itu. Malik berkata: Jika menimbulkan syahwat maka wajib (wudhu), jika tidak maka tidak wajib.” (Imam as-Sarkhasi, al-Mabsuth lis Sarkhasi, [Beirut: Darul Fikr, 2000], juz I, halaman 121).

 

Solusi yang Tepat

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa solusi bagi orang yang sedang menunaikan ibadah haji agar wudhunya tetap terjaga dan dirinya dalam keadaan suci adalah, pertama untuk orang yang disentuh (malmus), yaitu dengan mengikuti sebagian pendapat ulama mazhab Syafi’i, sebagaimana penjelasan di atas, yang mengatakan wudhunya tidak batal, karena yang batal hanyalah yang menyentuh saja.

 

Sedangkan untuk orang yang menyentuh, maka dengan cara mengikuti pendapat ulama kalangan mazhab Maliki dan mazhab Hanbali, yang mengatakan bahwa persentuhan lawan jenis antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak membatalkan wudhu. Solusi tersebut adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri. Dalam kitabnya ia mengatakan:

 

وَفِي الطَّوَافِ إِذَا حَصَلَ اللَّمْسُ فَلِلْمَلْمُوْسِ أَنْ يُقَلِّدَ الْقَوْلَ الْأَخَرَ مِنْ مَذْهَبِنَا الَّذِي يَقُوْلُ أَنَّهُ يَنْتَقِضُ اللاَّمِسُ دُوْنَ الْمَلْمُوْسِ، أَمَّا اللاَّمِسُ فَبِإِمْكَانِهِ أَنْ يُقَلِّدَ مَذْهَبَ الْاِمَامِ مَالِكٍ أَوْ أَبِي حَنِيْفَةَ

 

Artinya, “Dalam keadaan tawaf, jika terjadi persentuhan, maka bagi yang disentuh mengikuti pendapat lain dari mazhab kita, sungguh ia mengatakan bahwa yang batal adalah wudhu orang yang menyentuh bukan yang disentuh. Sedangkan orang yang menyentuh adalah dengan mengikuti mazhab Imam Malik atau mazhab Imam Abu Hanifah.” (Syekh Muhammad asy-Syathiri, Syarhul Yaqut an-Nafis fi Mazhabi ibn Idris, [Beirut: Darul Minhaj: 2007], halaman 79).

 

Lebih lanjut, Syekh Muhammad asy-Syathiri kembali menegaskan bahwa orang-orang yang hendak mengikuti pendapat ini, wudhunya juga harus sah menurut mazhab yang diikuti. Misal di antaranya adalah, dalam mazhab Maliki harus menggosok anggota wudhu, cepat-cepat (muwalah) dan mengusap semua kepala. Sedangkan dalam mazhab Hanafi adalah sama dengan wudhu mazhab Syafi’i pada umumnya, hanya saja harus mengusap seperempat dari kepala.

 

Kesimpulan

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jamaah  haji yang menginginkan wudhunya selalu terjaga dan dalam keadaan suci adalah sebagaimana penjelasan di atas, orang yang disentuh dengan mengikuti sebagian pendapat ulama mazhab Syafi’i yang mengatakan bahwa yang batal hanyalah orang yang menyentuh saja.

 

Sedangkan orang yang disentuh, dengan mengikuti pendapat Imam Malik yang mengatakan wudhunya tidak batal. Hanya saja dengan syarat, ia harus menggosok anggota wudhunya ketika sedang wudhu, membasuh anggota badan dengan cepat-cepat (muwalah) dan mengusap semua kepala. Atau mengikuti ulama mazhab Imam Abu Hanifah, dengan syarat ketika membasuh kepala harus membasuh seperempat kepalanya. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.