Syariah

Tarif Bea Cukai Perspektif Kajian Fiqih Islam

Kam, 23 Mei 2024 | 19:00 WIB

Tarif Bea Cukai Perspektif Kajian Fiqih Islam

Tarif bea cukai dalam kajian fiqih Islam (freepik).

Belakangan ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan kembali menjadi sorotan warganet setelah viral sebuah video seorang pembeli sepatu dari luar negeri yang menyatakan bea masuk yang ditagihkan lebih mahal dari nilai pembelian barang.
 

Dilansir dari laman cnnindonesia.com, awalnya nilai CIF atau Cost, Insurance, and Freight (biaya, asuransi, dan pengangkutan) atas impor tersebut yang disampaikan jasa kirim, dalam hal ini DHL sebesar US$ 35,37 atau Rp 562.736.

Namun setelah dilakukan pemeriksaan, nilai CIF atas barang tersebut adalah US$ 553,61 atau Rp 8.807.935. Atas ketidaksesuaian tersebut, lalu dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 96 Tahun 2023 pasal 28 bagian kelima, pasal 28 ayat 3.
 

Rinciannya menjadi bea masuk dan pajak impor atas produk sepatu tersebut adalah:

  1. Bea masuk 30 persen Rp2.643.000,
  2. PPN 11 persen Rp1.259.544,
  3. PPh Impor 20 persen Rp2.290.000,
  4. Sanksi Administrasi Rp24.736.000,
     

Total tagihan keemudian mencapai Rp 30.928.544.
 

Pajak Barang dari Luar Negeri dalam Kajian Fiqih Islam 

Lantas, bagaimana ketentuan tarif menarik bea masuk atau pajak barang-barang dari luar negeri dalam pandangan Islam?
 

Untuk menjawab permasalah ini ada dua poin yang menjadi pertimbangan, yaitu tentang bea masuk dan sanksi denda.

1. Bea Masuk

Perlu kita fahami terlebih dahulu, mengapa DJBC mengurusi barang kiriman luar negeri? 
     
Sebagaimana dijelaskan pada laman beacukai.go.id, bahwa barang kiriman dari luar negeri merupakan barang impor dan terutang bea masuk. Untuk itu, Pejabat Bea Cukai perlu memastikan bahwa atas pemasukan barang kiriman tersebut telah memenuhi peraturan perundang-undangan dengan melakukan pemeriksaan pabean secara selektif dengan mempertimbangkan risiko yang melekat pada barang dan importir.
 

Selain itu, DJBC memiliki fungsi melindungi masyarakat dari beredarnya barang berbahaya dari Luar Negeri, serta fungsi melindungi industri dalam negeri dan fasilitasi perdagangan. Pengenaan Bea Masuk ini tidak sekedar terkait penerimaan negara, lebih penting lagi merupakan instrumen fiskal untuk mengendalikan barang impor dalam rangka melindungi industri dalam negeri termasuk UMKM.
 

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, fungsi bea cukai tidak hanya soal menambah pemasukan negara, melainkan juga atas pertimbangan maslahat untuk memeriksa barang dan mengendalikan impor sebagai perlindungan industri dalam negeri.
 

Dalam kajian fiqih Islam, menyikapi kebijakan pemerintah yang mengharuskan rakyatnya membayar atau mengeluarkan sejumlah hartanya miliknya, terjadi perselisihan pendapat di antara ulama. Menurut Al-Adzra’i perintah mengeluarkan harta tidak menjadi wajib saat diperintah oleh imam (dalam hal ini pemimpin negara), karena dinilai memberatkan. 
 

Sedangkan menurut Al-Isnawi, perintah imam untuk mengeluarkan harta atau sedekah dapat merubah hukumnya menjadi wajib. Dengan begitu, masyarakat yang diperintahkan menjadi terbebani kewajiban mengeluarkan hartanya. Kewajiban ini berlaku hanya untuk masyarakat yang memiliki harta lebih dari kebutuhan pokok selama sehari semalam. 
 

Dalam kitab Tuhfah disebutkan:
 

وَبَحَثَ الْإِسْنَوِيُّ أَنَّ كُلَّ مَا أَمَرَهُمْ بِهِ مِنْ نَحْوِ صَدَقَةٍ وَعِتْقٍ يَجِبُ كَالصَّوْمِ وَيَظْهَرُ أَنَّ الْوُجُوبَ إنْ سُلِّمَ فِي الْأَمْوَالِ وَإِلَّا فَالْفَرْقُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ نَحْوِ الصَّوْمِ وَاضِحٌ لِمَشَقَّتِهَا غَالِبًا عَلَى النُّفُوسِ وَمِنْ ثَمَّ خَالَفَهُ الْأَذْرَعِيُّ وَغَيْرُهُ إِنَّمَا يُخَاطَبُ بِهِ الْمُوسِرُونَ بِمَا يُوجِبُ الْعِتْقَ فِي الْكَفَّارَةِ وَبِمَا يَفْضُلُ عَنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فِي الصَّدَقَةِ 
 

Artinya, “Al-Isnawi membahas bahwa segala sesuatu yang diperintahkan imam kepada rakyatnya dari sedekah dan memerdekakan budak itu menjadi wajib seperti halnya puasa. Dan jelas kewajiban itu–jika diterima dalam harta–. Jika tidak, maka perbedaan antara mengeluarkan harta dan puasa itu sangat jelas, karena mengeluarkan harta umumnya dirasa memberatkan.
 

Karena itu Al-Adzra’i dan lainnya menentang pendapat Al-Isnawi. Kewajiban itu hanya dibebankan kepada orang-orang yang mampu memerdekakan budak dalam kafarat dan memiliki harta lebih selama satu hari satu malam dalam sedekah.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2001], juz I, halaman 385).
 

Berkaitan dengan bea cukai sebagai bagian dari perpajakan. Dalam menetapkan pajak kepada masyarakat secara menyeluruh, para pakar fiqih menjelaskan bahwa hukum dasarnya adalah tidak diperbolehkan dan dicukupkan dengan kewajiban yang sudah ada seperti zakat.
 

Namun dalam keadaan darurat seperti kondisi Indonesia saat ini, dalam kitab Mi’yarul Mu'arrab karya Abul Abbas Ahmad Al-Wansyarisi juz XI, halaman 127 dijelaskan, pemerintah boleh mengusahakan pemasukan negara lewat pungutan dari semua lapisan masyarakat dengan ketentuan:

  1. Betul-betul ada kebutuhan yang mendesak.
  2. Didistribusikan dengan adil.
  3. Didistribusikan sesuai kemaslahatan dan kebutuhan.
  4. Dibebankan kepada orang-orang yang mampu.
  5. sekira sudah tercukupi maka pemungutan itu dihentikan. 
 

2. Tentang Sanksi Denda

Kemudian poin kedua, terkait sanksi denda. Kenapa barang kiriman bisa terkena denda?
 

Pada laman beacukai.go.id disebutkan, menyampaikan pemberitahuan data barang kiriman dengan benar dan menghitung sendiri pungutan Bea Masuk dan PDRI (sistem self assessment), karena yang bersangkutan mengetahui detil jenis, jumlah, dan nilai barang yang sebenarnya.
 

Sebagai konsekuensi self assessment tersebut, maka importir akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda jika terdapat kesalahan pemberitahuan nilai pabean yang mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk. Hal ini untuk memberikan keadilan bagi importir maupun negara dan menciptakan persaingan yang sehat dengan industri dan UMKM dalam negeri.
 

Dari penjelasan tersebut, atas dasar untuk memberikan keadilan dan menciptakan persaingan yang sehat, pemerintah menetapkan kebijakan adanya kewajiban untuk menyampaikan data barang dengan benar. Jika ada kesalahan pemberitahuan nilai yang berdampak berkurangnya pembayaran bea masuk, maka pemerintah menerapkan sanksi denda atau dalam istilah fiqih disebut ta’zir bil mal.
 

Hukum menerapkan sanksi denda atau ta’zir bil mal terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, banyak yang menolak penerapan ta’zir bil mal, namun juga ada pendapat yang memperbolehkan ta’zir bil mal dan alokasinya dimasukkan ke dalam kas negara.
 

Dalam kitab Syarhu Yaqutin Nafis disebutkan:
 

وَﻫَﻞْ يَجُوْزُ اﻟﺘَّﻌْﺰِﻳْﺮُ ﺑِﺎﻟْﻐَﺮَاﻣَﺔِ اﻟْﻤَﺎﻟِﻴَّﺔِ ؟ اﻟْﻤَﺬَاﻫِﺐُ الأَرْبَعَةُ ﻻَﺗُﺠِﻴْﺰُ اﻟﺘَّﻌْﺰِﻳْﺮَ ﺑِﺎﻟﺘَّﻐْﺮِﻳْﻢِ ﻟَﻜِﻦْ ﺑَﻌْﺾُ اﻟﺘَّﺎﺑِﻌِﻴْﻦَ وَاﻟﺸَّﻴْﺦُ ﻋَﺒْﺪُ اﻟْﻘَﺎﻫِﺮِ اﻟْﻤَﻐْﺮَﺑِﻲ ﻗَﺎﻟُﻮا ﺑِﺎﻟْﺠَﻮَازِ وَﻗَﺎﻟُﻮا ﻻَ ﺗَﻌُﻮْدُ اﻟْﻐَﺮَاﻣَﺔُ إِﻟَﻰ الْمُتَضَرِّرِ ﻣِﻦَ اﻟْﺠَﺮِﻳْﻤَﺔِ وَإِﻧَّﻤَﺎ ﺗَﻌُﻮْدُ إِﻟَﻰ ﺑَﻴْﺖِ اﻟْﻤَﺎلِ وَﻗَﺎلَ أَﺧَﺮُوْنَ ﺗَﻌُﻮْدُ إِﻟَﻰ اﻟْﻤُﺘَﻀَﺮِّرِ وَاﻟْﻤُﻌْﺘَﻤَﺪُ أَﻧَّﻪُ ﻻَ ﻳَﺠُﻮْزُ
 

Artinya, “Apakah boleh mengenakan denda berupa uang? Keempat mazhab tidak memperbolehkan menetapkan sanksi dengan denda. Akan tetapi sebagian tabi’in dan Syekh Abdul Qahir Al-Maghriibi mengatakan diperbolehkan. Mereka mengatakan denda itu tidak diberikan kepada korban, melainkan kepada baitul mal. Pendapat lain mengatakan diberikan kepada korban. Sedangkan pendapat yang kuat mengatakan tidak boleh.” (Ahmad bin Umar As-Syathiri, Syarhu Yaqutin Nafis, (Riyadh, Darul Minhaj], juz III, halaman 272).

 

Simpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa adanya bea cukai dilakukan demi kemaslahatan menjaga ekonomi dalam negeri, dan adanya tagihan tinggi melebihi harga barang karena adanya pelanggaran yang mengakibatkan sanksi denda. 
 

Sedangkan untuk ketentuan tarif bea cukai dapat dirinci sebagai berikut: 

  1. Tarif tagihan atas nama bea masuk disesuaikan dengan tujuan maslahat yang ada, yakni sekira dapat menjaga industri dalam negeri, dengan tetap mempertimbangkan kemampuan pembayar. 
  2. Tarif tagihan sebagai sanksi denda ditentukan sebagimana konsep ta’zir, sekira dapat membuat jera dan tidak akan mengulangi kesalahannya. Wallahu a'lam.
     


Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum, Wonodadi, Blitar