Syariah

Tradisi Puasa Agama-agama di Dunia

Sen, 18 Maret 2024 | 13:00 WIB

Tradisi Puasa Agama-agama di Dunia

Tradisi puasa agama di dunia. (Foto: NU Online/Freepik)

“Puasa bukan hanya sebuah perintah dari Tuhan tetapi juga anugerah ilahi, sebuah rahmat, dan berkat. Allah pencipta tubuh dan jiwa mengetahui kebutuhan kita untuk berpuasa demi manfaat bagi kehidupan rohani, perkembangan, dan kehidupan yang kekal. Melalui puasa, kita mempersiapkan diri untuk menerima setiap berkat yang Allah tawarkan kepada kita.”

Paus Shenouda III dari Aleksandria
Penulis buku "Spiritualitas Puasa" (H.H Pope Shenouda III, The Spirituality of Fasting, [Kairo: Dar El Tebaa El Kawmia Press, 1997], hal. 15).

***


Praktik puasa merupakan salah satu aspek yang hidup dalam berbagai sistem kepercayaan dan tradisi keagamaan di seluruh dunia. Meskipun sering dikaitkan dengan agama Islam, puasa juga menjadi bagian dari praktik spiritual dalam agama-agama lain seperti Kristen, Hindu, Buddha, Yahudi, dan lain-lain. 


Puasa dipraktikkan, baik oleh orang awam maupun rohaniwan dalam agama-agama besar di dunia. Meskipun tujuan puasa di berbagai agama berbeda-beda, terdapat kesepakatan umum bahwa puasa merupakan persiapan diri untuk berkomunikasi dengan Tuhan (Isma’il Raji Al Faruqi, Islam: Religion, Practice, Culture & World Order, [Amerika Serikat: International Institute of Islamic Thought, t.t.], hal. 35).


Sejak zaman prasejarah, puasa telah menjadi bagian dari adat manusia di seluruh dunia dengan latar belakang tujuan yang berbeda-beda. Ada yang berpuasa untuk kesehatan, ritual, penyegaran mental, dan spiritual. 


Bagi orang Mesir kuno, puasa adalah doktrin agama mendasar. Tujuannya adalah melatih jiwa manusia untuk menahan diri, dengan mengendalikan keinginan akan makanan, minuman, dan seks dalam jangka waktu tertentu. 


Tujuan puasa pada era Helenistik Yunani Kuno (323 SM - 33 SM), adalah untuk menerima berkat, melalui ramalan dan mimpi, dengan mendekati para dewa. Bagi penduduk Peru pra-Columbus, puasa adalah salah satu persyaratan untuk pertobatan setelah seseorang telah mengakui dosa di hadapan seorang pemuka agama yang dianggap suci. 


Orang-orang Jenewa tradisional berpuasa pada hari Kamis pertama setelah hari Minggu di bulan September setiap tahun. Puasa pertama kali diamati pada bulan Oktober 1567, setelah penindasan umat Protestan dari Lyon. 


Sejak tahun 1640, praktik tersebut telah menjadi tradisi moral dan keagamaan tahunan yang mengekspresikan kerendahan hati dan solidaritas terhadap kaum fakir miskin. (Iqbal Akhtar Khan, al-Siam al-Tibbi (Medical Fasting) and al-Siam al-Diyniu (Religious Fasting): Role in Medical and Religious Practices, hal. 1). 


Adapun puasa yang dikerjakan berdasarkan ketentuan waktu biasanya menjadi ciri khas utama agama-agama besar di dunia. Tradisi ini telah dijelaskan dengan baik dalam Alkitab, Al-Quran, Mahabharata, dan Upanishad (Iqbal Akhtar Khan, al-Siam al-Tibbi (Medical Fasting) and al-Siam al-Diyniu (Religious Fasting): Role in Medical and Religious Practices, [SciMedCentral: Journal of Chronic Diseases and Management, 2023] hal. 1).


Puasa dalam Islam

Puasa merupakan salah satu rukun Islam. Muslim yang mampu berpuasa diwajibkan melaksanakannya, yaitu dengan menahan diri dari makanan, minuman, dan hubungan seksual dari fajar hingga matahari terbenam setiap hari selama bulan Ramadan (Ibnul Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005], hal. 136). 


Anak-anak, orang yang sakit, atau sedang melakukan perjalanan dan beberapa golongan diberi terbebas dari kewajiban puasa Ramadhan, Sebagian dari mereka harus menggantinya (qadha) di kemudian hari.


Mengutip Ismail Raji Al Fajri, sebelum Islam hadir, bulan Ramadhan dianggap sebagai periode yang sakral oleh masyarakat Arab. Bulan ini ditandai dengan pengecualian terhadap tindakan perang dan berburu, serta periode perdamaian yang stabil dibuktikan melalui perjalanan dan perdagangan melintasi padang pasir yang bebas dari ancaman serangan oleh pihak manapun. 


Ramadhan dipandang sebagai bulan yang mengundang refleksi spiritual bagi masyarakat Arab. Selama bulan ini, mereka secara khusus menghormati nilai-nilai moral dan melakukan refleksi tentang diri mereka sendiri. 


Masyarakat Arab pra-Islam yang memiliki moralitas tinggi akan berusaha keras selama bulan Ramadan untuk memperbaiki hubungan dengan sesama, menyelesaikan masalah yang belum terselesaikan, dan memberikan bantuan, khususnya kepada tetangga mereka (Isma’il Raji Al Faruqi, Islam: Religion, Practice, Culture & World Order, hal. 36). 


Beberapa penelitian telah menegaskan bahwa puasa dalam Islam memberikan dampak positif pada kesehatan fisik dan membantu merawat kesehatan mental. Lebih lanjut, puasa dalam Islam memiliki efek positif, seperti menghilangkan sifat serakah dan keinginan yang berlebihan (Ramona Massoud, Religious Fasting; the Purgation of Soul and Body, [Journal of Nutrition Fasting and Health, 2019], hal. 19).


‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam dalam Maqashidush Shawm memaparkan secara agamis, puasa Ramadhan memiliki banyak keutamaan di antaranya mengangkat derajat umat Islam, memperbanyak ketaatan di bulan Ramadhan, dan menjauhi perbuatan maksiat dan durhaka kepada Allah (‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam, Maqashidush Shawm, [Damaskus: Darul Fikr, 1995], hal. 10).


Puasa dalam agama Kristen

Berpuasa, menurut Alkitab, berarti secara sukarela mengurangi atau menghilangkan asupan makanan untuk waktu dan tujuan tertentu. Dalam konteks Alkitab, manusia menahan diri dari makan selama sehari penuh dan, saat lapar diberi makan dengan manna (nama suatu makanan). 


Apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Matius 6:16-18)


Dalam agama Kristen, puasa harus disertai dengan tujuan spesifik dan doa. Puasa harus diiringi pelaksanaannya dengan disiplin spiritual yang meliputi doa, pengendalian hawa nafsu, praktik kesederhanaan, mengeluarkan sedekah, hingga mengendalikan lisan dari berkata-kata yang tidak baik (Iqbal Akhtar Khan, al-Siam al-Tibbi (Medical Fasting) and al-Siam al-Diyniu (Religious Fasting), hal. 5). 


Di Gereja Inggris dan Gereja Katolik Roma, berpuasa berarti mengonsumsi makanan lebih sedikit daripada biasanya, bukan sama sekali tidak makan. Misalnya, dengan makan sehari sekali dari yang biasanya dua kali sehari, atau makan dengan porsi lebih sedikit (Ayo Sodeke-Gregson & Emily Wilks, Religious Fasting and Eating Disorders, [United Kingdom: Barnet, Enfield and Haringey Mental Health NHS Trust, t.t.], hal. 6).


Selama Pra-Paskah, umat Kristen menahan diri dari makanan tertentu dan dianjurkan memberikan sedekah kepada yang membutuhkan. Dalam beberapa tradisi Kristen, berpuasa mungkin juga berarti tidak makan sama sekali, terutama dalam konteks doa, seperti berpuasa sambil berdoa untuk kesembuhan orang sakit (Ayo Sodeke-Gregson & Emily Wilks, Religious Fasting and Eating Disorders, h. 6).


Puasa dalam tradisi Kristen adalah cara fisik untuk mengekspresikan pertobatan dan juga sebagai bentuk permohonan doa. Selain itu, puasa juga dipandang sebagai persiapan untuk sesuatu. Dalam kepercayaan Kristen, puasa merupakan cara untuk menunjukkan ketergantungan manusia pada Tuhan, sebagaimana diwujudkan dalam tradisi berpuasa sebelum perayaan besar (Ayo Sodeke-Gregson & Emily Wilks, Religious Fasting and Eating Disorders, h. 6).


Puasa dalam agama Yahudi

Puasa dalam agama Yahudi merujuk pada kegiatan tidak mengonsumsi makanan dan minuman selama periode tertentu. Hal ini dimulai pada saat matahari terbenam dan berlangsung hingga keesokan harinya. 


Puasa diyakini dapat membawa transformasi spiritual baik pada individu maupun komunitas, serta mengekspresikan rasa pertobatan dan kerinduan akan pengampunan ilahi. Dalam agama Yudaisme, terdapat enam hari puasa dalam setahun, di antaranya Yom Kippur dan Tisha B’Av (Mohammad Akram, Meaning and Significance Of Fasting In Comparative Perspective: A Study With Special Reference To Judaism, Christianity, and Islam, [ Hamdard Islamicus] 1hal. 40).


Yom Kippur adalah hari paling penting dan wajib bagi pria di atas usia 13 tahun dan wanita di atas usia 12 tahun. Tujuan dari Tisha B’Av adalah berkabung atas penghancuran Bait Suci di Yerusalem pada tahun 70 Masehi.


Puasa ini juga dilakukan oleh pengantin sebagai bagian dari tradisi pernikahan. Rosh Hashanah juga merupakan waktu penghakiman Allah dan puasa selalu diiringi oleh doa yang tunduk sebagai bentuk kerendahan hati di hadapan-Nya. (Lihat: Iqbal Akhtar Khan, al-Siam al-Tibbi (Medical Fasting) and al-Siam al-Diyniu (Religious Fasting): Role in Medical and Religious Practices, hal. 5).
 

Puasa dalam Budha

Saya tidak makan di malam hari dan dengan demikian bebas dari penyakit dan penderitaan serta menikmati kesehatan, kekuatan, dan kemudahan.” (Siddhartha Gautama)


Merujuk kepada artikel jurnal yang ditulis oleh Iqbal Akhtar Khan, agama Buddha memiliki tradisi puasa dengan cara makan yang dibatasi waktu seperti puasa intermittent. Puasa intermittent adalah pola makan yang melibatkan siklus antara periode makan dan puasa. Secara praktis, puasa seperti ini berarti membatasi waktu makan pada waktu tertentu dan tidak makan selama periode tertentu.


Misalnya, seseorang mungkin membatasi waktu makan mereka hanya pada 8 jam sehari dan berpuasa selama 16 jam. Pola ini memiliki berbagai variasi di mana jendela waktu makan semakin singkat. Puasa intermittent telah menjadi populer karena dianggap dapat membantu dalam penurunan berat badan, meningkatkan kesehatan metabolik, dan memiliki beberapa manfaat kesehatan lainnya. (Ratna Amalia Fairuz, Pengaruh Diet Puasa (Intermittent Fasting) Terhadap Penurunan Berat Badan, Perubahan Metabolik, dan Massa Otot, [Healthy Tadulako Jurnal, 2024], hal. 42).


Puasa dalam Buddhisme tidak wajib bagi siapa pun. Tradisi puasa direkomendasikan hanya untuk biksu dan biarawati, tetapi banyak pengikut Buddha yang mempraktikkannya. Puasa bagi Budha merupakan tahap awal dari disiplin untuk memperoleh kontrol diri (Iqbal Akhtar Khan, al-Siam al-Tibbi (Medical Fasting) and al-Siam al-Diyniu (Religious Fasting), hal. 1).


Buddha berpendapat bahwa berlatih kesadaran terhadap makanan maupun yang dimakan dapat menyebabkan penurunan berat badan dan kesehatan yang lebih baik. Budha menyatakan, “Ketika seseorang berpikiran sadar dan dengan demikian tahu batasan dalam makan, penyakitnya berkurang, dia menua dengan lembut, dan dia melindungi hidupnya" sebagaimana dikutip dari Sutta Nipata, salah satu teks awal dalam kanon Pali yang berisi ajaran-ajaran Buddha Gautama pasal S.I,81-2.


Puasa dalam Hindu

Puasa dalam agama Hindu relatif tidak banyak dikenal. Ajaran agama Hindu sendiri terdiri dari filosofi, tradisi, dan praktik yang kaya serta beragam. Agama Hindu telah diikuti terutama di Asia selama ribuan tahun. Hari ini, Hindu Dharma adalah agama dengan lebih dari 1 miliar penganut yang tinggal di setiap benua, dan termasuk mayoritas di tiga negara: India, Nepal, dan Mauritius (The Civil Service Hindu Connection, Hindu fasting in the workplace: An awareness guide for staff and managers, [United Kingdom: GOV.UK blogs, t.t.] hal. 3). 


Dalam agama Hindu, berpuasa bukanlah kewajiban, tetapi tindakan moral dan yang bertujuan membersihkan tubuh dan jiwa untuk pencapaian spiritual. Praktik puasa adalah pembersih diri dari dosa. 


Kata Sanskerta untuk berpuasa adalah ‘Upavasa.’ ‘Upa’ berarti “dekat” dan ‘Vasa’ berarti “tinggal”. Istilah ini berarti “duduk atau tinggal dekat (dengan Tuhan)” dan “menjaga Tuhan tetap dekat dengan hati dan pikiran” (Iqbal Akhtar Khan, al-Siam al-Tibbi (Medical Fasting) and al-Siam al-Diyniu (Religious Fasting): Role in Medical and Religious Practices, hal. 4). 


Hindu mengakui Vedas sebagai kumpulan kitab suci yang paling kuno dan berwibawa. Vedas adalah kitab suci dasar yang umum untuk semua tradisi Hindu. Kitab suci Hindu menggambarkan dasar-dasar dan praktik-praktik untuk berpuasa.


Agama Hindu mengartikan puasa sebagai tindakan moral dan spiritual di mana tujuannya adalah membersihkan tubuh dan pikiran untuk memperoleh rahmat Ilahi. Sebagian besar penganut Hindu melaksanakan berpuasa untuk beberapa tujuan. (The Civil Service Hindu Connection, Hindu fasting in the workplace: An awareness guide for staff and managers, hal. 4).


Tujuan tersebut misalnya meningkatkan kesadaran atau menjadi lebih dekat dengan Tuhan, membersihkan dan menyucikan pikiran dan tubuh, bersiap untuk merayakan hari raya atau hari suci, dan melawan kekuatan negatif selama kejadian yang dianggap berpotensi merugikan.


Menurut kitab suci, puasa membantu menciptakan harmoni dengan Tuhan dengan menetapkan hubungan yang harmonis antara tubuh dan jiwa. Tradisi ini dianggap penting bagi kesejahteraan manusia karena dapat memberi kebaikan bagi fisik maupun spiritualnya (The Civil Service Hindu Connection, Hindu fasting in the workplace: An awareness guide for staff and managers, hal. 5)


Menurut Rajnish Kashyap, Sekretaris Jenderal Dewan Hindu Britania Raya, Hinduisme adalah agama kuno yang telah dipraktikkan selama 6-7.000 tahun terakhir. Dalam kisah-kisah Padma Purana, setiap hari berkaitan dengan dewa yang berbeda-beda dan diatur oleh hukum yang berbeda.


Berlandaskan hal tersebut, umat Hindu dapat berpuasa pada hari apapun yang berkaitan dengan dewa. Sebagai contoh, hari Senin adalah hari puasa untuk Shiva, atau disebut juga 'Somvar Vrat'. Cara berpuasa juga berbeda-beda di setiap harinya. 


Hanya saja, puasa di sini tidak diatur secara ketat. Mungkin saja sebagian orang memilih untuk berpuasa pada beberapa hari tetapi tidak pada hari yang lain (Ayo Sodeke-Gregson & Emily Wilks, Religious Fasting and Eating Disorders, [United Kingdom: Barnet, Enfield and Haringey Mental Health NHS Trust, t.t.], hal. 9). 


Puasa terpenting dalam Hinduisme disebut 'Ekadashi', yang melibatkan berpuasa setiap 15 hari. Meskipun umumnya diamati oleh kebanyakan umat Hindu, sejauh mana mereka berpuasa tergantung pada preferensi individu. 


Kitab suci Hindu, seperti Vedas dan Upanishads, memberikan panduan tentang berpuasa dan prinsip-prinsip yang mendasarinya. Namun, berpuasa bukanlah kewajiban, dan setiap individu diberi kebebasan untuk menentukan praktiknya sesuai dengan kondisi fisik dan mentalnya.


Hinduisme menekankan bahwa berpuasa tidak harus menyebabkan penderitaan fisik yang berlebihan. Jika seseorang tidak mampu atau tidak disarankan untuk berpuasa, alternatif lain dapat dipilih. 


Tidak ada hukuman atau penilaian terhadap mereka yang memilih untuk tidak berpuasa, karena berpuasa seharusnya memperkuat tubuh dan pikiran, bukan menyebabkan penderitaan. Terlepas dari variasi praktik di antara komunitas Hindu, prinsip-prinsip kesehatan dan kebebasan individual tetap menjadi nilai sentral dalam berpuasa (Ayo Sodeke-Gregson & Emily Wilks, Religious Fasting and Eating Disorders, Shal. 10).


Kesimpulan

Membaca penjelasan di atas, praktik puasa dalam agama-agama di dunia mengambil peran yang sangat penting dalam mengekspresikan pengabdian dan koneksi spiritual. Meskipun ada perbedaan dalam aturan, durasi, dan tujuan di antara agama-agama tersebut, puasa sering kali menjadi medium untuk mendekatkan diri kepada Tuhan atau pemurnian spiritual. 


Dengan menahan diri dari kebutuhan fisik, para pengamal puasa berupaya memperdalam pemahaman akan nilai-nilai spiritualitas, empati terhadap sesama manusia. Dengan melakukan puasa, umat beragama berusaha untuk memperkuat hubungan mereka dengan keilahian dan memperbaiki diri secara moral dan spiritual. Wallahu a’lam


Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta